Tiba-tiba nyawa siang di Kota Torang Samua Basudara itu menghembuskan nafas terakhir. Dia sudah mati. Tapi, tidak ada satu pun manusia yang menangisi. Sedangkan tiga puluh menit kemudian, atau lebih tepatnya pukul 16:00 WITA, sang sore telah hidup kembali lalu memberikan keteduhan bagi para pejalan kaki di depan Gereja Sentrum. Gereja tua yang berdiri sejak tahun 1677 ini menjadi rumah ibadah umat Kristen Protestan. Mereka sangat khusyuk merapalkan doa-doa kudus, menginginkan warga Kotanya hidup berdampingan dalam perbedaan. Gereja Sentrum terletak di Jalan Sarapung Kota Manado. Pohon-pohon rindang berjejer rapi melindungi taman Gereja dari panasnya terik matahari. Sesekali, angin sore begitu kasar bahkan kejam menerpa dedaunannya hingga jatuh tak berdaya mencium tanah. Walau demikian, para jemaat Gereja meyakini bahwa daun yang jatuh tak akan pernah membenci angin. Orang beriman tidak mungkin berbuat kekerasan.
Maria duduk pada sebuah bangku panjang berwarna hitam. Sandarannya sudah lapuk. Bangku itu memang tidaklah terlalu bagus jika dibandingkan dengan bangku-bangku lain di lobby Hotel Sintesa Peninsula, jaraknya kira-kira 500 meter dari Gereja. Tapi, Maria tidak punya pilihan lain. Dia selalu merasa tenang ketika berdekatan dengan rumah Tuhan. Kulitnya berwarna kuning langsat, matanya sedikit sipit, rambutnya hitam terurai sampai batas bahu. Kaos putih berlengan pendek, rok hitam panjang bermotif bunga, dan kalung salib emas di leher semakin mempertegas bahwa dia benar-benar terlahir di Minahasa dan kecantikannya menjadi kebanggaan dalam masyarakat, keluarga, terutama Sang Ayah yang seorang Pendeta.
“Abdullah, kita sudah hampir lima tahun menjalin hubungan pacaran. Hatiku telah tertambat pada dirimu. Sungguh. Tapi, entah mengapa cinta ini justru berakhir gelisah dan diam-diam mulai beranakpinak menjadi tanda tanya”. Ucap Maria
“Maksudmu apa? Tolong jelaskan kepadaku Maria”.
“Apakah kamu tidak merasa semakin jauh?”
“Aku tidak pernah menjauh atau menyakitimu. Karena, setelah Ibu tiada kamu adalah segalanya.”
“Selama ini, aku perhatikan kamu jarang sekali sholat di Masjid. Sesekali iya, itu pun hanya Jum’at saja. Kamu terlalu sibuk dengan pemuda-pemuda pencinta alam itu”
“Itu karena kami peduli dengan alam. Banyak paru-paru membusuk karena asap kebakaran hutan. Lalu dimanakah peran Tuhan?”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan. Sifat kebinatangan manusialah yang membuat kerusakan”
“Aku tidak melakukan itu”
“Apa? Pembohong. Dua minggu lalu, aku melihatmu meneguk minuman keras di jalur pendakian pertama Gunung Klabat bersama teman-teman lelaki tanpa rasa berdosa. Namun, aku enggan menegur. Ingin muntah rasanya.