“Siapa?”
“Bapak juga kurang tahu”
“Lelaki atau perempuan?”
“Kedengarannya perempuan”
“Ciri-cirinya Bapak tahu?”
“Tidak, menurut warga, perempuan itu pergi mengantar seorang nenek tua yang memakai mukena putih untuk sholat maghrib di Masjid Pondok karena sudah bungkuk dan tidak kuat menyeberang jalan”.
Bapak penjual jagung bakar asal Jawa itu menahan pembicaraan sebentar karena ada pembeli. Abdullah cemas, firasatnya semakin memburuk.
“Terus Pak?”
“Menurut warga lainnya, perempuan itu juga sempat mencium kening nenek ketika sampai di tangga Masjid. Lama sekali. Tapi dia tidak ikut masuk. Lalu, tiba-tiba suasana mendadak histeris”.
Jantung Abdullah terasa hilang. Dia berteriak sekeras-kerasnya. Airmata lelaki itu meleleh tidak wajar. Menakutkan. Kedua lututnya jatuh ke tanah. Tubuhnya bak dihujani peluru. Korban tabrak lari ternyata adalah Maria. Dia sendiri yang langsung membalik wajah perempuan yang menempel erat di aspal jalan. Warga-warga lainnya tidak berani. Mereka hanya berbisik-bisik. Malam itu, Abdullah adalah manusia setengah hidup. Maksudnya ingin melamar dirumah, namun Maria telah pergi untuk selamanya. Abdullah baru tahu bahwa cinta tidak akan pernah menyadari kedalamannya sampai ada saat perpisahan. Airmata Abdullah semakin deras bagaikan hantaman banjir bandang yang menimpa Kota Manado 15 Januari 2014 silam. Ternyata, malaikat tidak hanya bermain-main di halaman pesantren, namun sudah masuk ke dalam jiwa Maria lalu membawanya ke alam pasca sejarah.
***