“Kini, bagiku Masjid bukan lagi sebagai tempat mencari pahala melainkan tempat mengantar nyawa”.
“Maksudmu? Jangan membuat aku bingung”
“Coba lihat apa yang terjadi di Tolikara, Papua sana. Bagaimana perasaanmu melihat penyerangan itu? Aku takut Maria. Takut akan kematianku menjadi penghalang untuk menikahimu.”
Maria menatap Abdullah. Rambutnya berkibar-kibar ditiup angin. Sebelum merespon, dia merapikan terlebih dahulu sisa-sisa rambut yang masih menghalangi pandangan matanya. Lantas berkata dengan nada parau.
“Ya, aku tahu penyerangan yang mengoyak-ngoyak jiwa itu, Abdullah. Airmataku pun jatuh hingga titik terendah meski kita memiliki iman yang berbeda. Sebab, tidak ada agama yang mengajarkan dendam. Manusialah yang miskin perasaan.
“Itu saja?”
“Tidak, kamu mesti tahu, aku sendiri pernah merasa takut ke Gereja pasca dibakarnya rumah ibadah umat kami di Aceh Singkil sana. Tapi lihat, apakah aku mengikuti pola pikirmu? Jodoh, rezeki, dan maut adalah urusan Tuhan. Tidak ada yang perlu dirisaukan apabila kita benar-benar beriman. Aku temukan itu dalam agamamu. Lantas mengapa kamu ragu?”
Abdullah tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-anggukan kepala di hadapan Maria. Idealismenya tergusur lalu retak. Mereka sama-sama diam, sementara langit sore mulai gelap. Tiba-tiba, suara adzan maghrib dari Masjid Awwabin Kampung Kodo hinggap ditelinga. Jaraknya berdekatan dan bisa disusuri lewat lorong samping Gereja Sentrum.
“Pergilah sembahyang. Jangan jadikan kekerasan agama sebagai topeng kemalasan dunia. Dan jika nanti aku temukan kamu menjadi muslim sepenuh waktu. Aku akan mengikuti agamamu”.
Abdullah tersenyum tipis, tapi wajahnya masih kemerah-merahan. Mereka berdua berpisah arah. Abdullah terus mengawasi langkah kaki Maria yang telah berada di penghujung pagar Gereja. Maria semakin menjauh lalu tak lagi tersentuh.