Mohon tunggu...
Al Muh
Al Muh Mohon Tunggu... -

Penulis best seller di dunia lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dompet Kulitmu

18 Oktober 2016   00:05 Diperbarui: 18 Oktober 2016   00:12 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu suka dompetnya?” Tanya seorang perempuan dengan nada halus. Wajahnya pucat, bibirnya memutih seperti dehidrasi akut. Meskipun pucat dan tak berenergi, perempuan ini terlihat cantik. Tapi siapa perempuan ini, aku bahkan tak pernah melihatnya dalam hidupku.

“Suka sekali.” Ku jawab. “Tapi aku masih ragu apakah ini dompet kulit asli?”

“Itu asli. Kalau kau tidak percaya, kau boleh menyayatnya, dompet itu akan berdarah.” Jawab si perempuan. Saat aku akan menyayat dompet itu, aku terbangun. Ternyata itu hanya mimpi.

Siapa perempuan itu?

Akhir-akhir ini dia sering datang ke dalam mimpiku, menanyakan tentang dompet yang ku beli beberapa hari yang lalu. Perempuan itu juga bilang, jagalah dompet itu baik-baik. Aneh, tentu saja aku akan menjaga dompetku dengan baik tanpa perlu dia terus-terusan menyuruhku.

Aku membeli dompet itu di sebuah pusat perbelanjaan. Dompetnya memang bagus, sangat elegan. Bahan kulitnya halus dan kuat. Terbukti saat dilakukan tes dengan dibakar, dompet itu tidak meleleh. Hanya tercium bau khas kulit terbakar. Harganya pun tidak terlalu mahal, sangat pantas untuk sebuah dompet dengan kualitas seperti ini.

Mimpi itu terus berlanjut. Aku mencoba tak menghiraukannya, meski sebetulnya aku lelah bermimpi bertemu dia.

“Jagalah dompet itu, dompet itu adalah diriku.” Kata si perempuan.

*

Beberapa hari berikutnya aku memutuskan kembali ke toko penjual dompet itu lagi, membeli dompet yang sama untuk adik ku yang akan ulang tahun. Sampai di toko, ternyata dompetku itu stok terakhir. Kata si pemilik toko, pabriknya sudah lama tak mengirim stok dompet itu lagi.

Wah sayang sekali, gumamku.

“Bapak tahu lokasi pabriknya dimana?” Tanyaku kepada si pemilik toko.

“Tunggu sebentar, saya cari dulu alamatnya.” Jawab si pemilik toko. Dia membuka buku alamat.

Tak lama si pemilik toko sudah mendapatkan alamat pabrik itu. Jalan Brajamusti, No.71 Desa Sulamjero, Garut. Tapi tak ada nomor telpon yang bisa dihubungi. Aku mencari data merk dompet ini di internet, hasilnya nihil. Sepertinya belum ada yang memasarkan di dunia maya.

Wanita itu selalu hadir ke dalam mimpiku. Lagi-lagi untuk menanyakan dompet. Aku jadi penasaran, apa mungkin ini adalah dompet bekas seorang wanita yang di rampok lalu dibunuh.

Seminggu kemudian, aku memutuskan untuk mengunjungi pabrik itu. Berbekal alamat yang diberikan oleh si pemilik toko. Aku berangkat dengan bus antar kota. Setalah sampai terminal Garut, aku melanjutkan perjalanan ke desa Sulamrejo dengan ojek sepeda motor. Cukup jauh ternyata, butuh waktu beberapa jam untuk sampai ke desa Sulamrejo. Tapi pemandangan di sepanjang jalan menuju kesana sangat indah. Jadi tidak membosankan.

Begitu sampai di alamat itu, ternyata itu bukan pabrik. Tapi hanya rumah kosong. Mungkin dompet ini memang dibuat oleh home industry, pikirku. Mungkin sekarang mereka telah bangkrut dan rumah ini terbengkalai.

Sayang sekali.

Sebelum pulang, aku memutuskan untuk melaksanakan solat magrib di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumah itu. Udara sangat dingin di sini, apa lagi saat sudah tak ada sinar matahari seperti ini. Usai solat, aku langsung mengenakan jaket tebal yang aku bawa dalam tas. Aku sudah memperhitungkan mengenai udara di Garut. Ojek yang mengantarkanku tadi, izin pulang lebih dulu, dia tidak bisa menemaniku sampai selesai karena ada urusan lain. Katanya, ada banyak tukang ojek di desa ini yang bisa mengantarku kembali ke terminal. Hari semakin malam, tapi aku tak menemukan satu ojek pun yang lewat. Kampung ini sepi sekali. Beruntungnya aku bertemu pak Kiyai, beliau memperbolehkan aku menginap di pesantrennya.

“Kampung ini sepi sekali ya pak Kiyai?”

“Ya, namanya juga kampung dek. Oh ya, nak Ali ini sebenernya tujuannya mau kemana? Kok sendirian saja?” Tanya pak Kiyai.

“Saya tadinya mau ke pabrik pembuatan dompet kulit pak Kiyai. Beberapa minggu lalu saya beli dompetnya, bagus. Jadi saya bermaksud beli lagi. Ya, sekalian jalan-jalan.”

“Pabrik dompet?” Tanya pak Kiyai. “Yang rumah kosong itu?”

“Iya pak Kiyai.”

Pak Kiyai menatapku. Tatapannya tidak bisa terbaca maksudnya apa. Tapi aku menyimpulkan itu adalah eksperesi terjekut.

“itu kok bisa bangkrut  pak Kiyai? Padahal dompetnya bagus.”

“Pemiliknya sudah meninggal dunia, bunuh diri.”

“Innalillahi, kok bisa paj Kiyai?”

“Iya. Waktu itu si pemilik pabrik hendak ditangkap polisi karena telah membunuh kekasihnya dan mengulitinya untuk dijadikan dompet. Polisi menduga si pemilik pabrik terkena gangguan jiwa. Karena takut dan frustasi, si pemilik pabrik malah menggorok lehernya sendiri.”

Aku mengeluarkan dompet dalam saku. Memegangnya dengan gemetar.

“Jadi dompet ini dari kulit kekasihnya?”

Pak Kiyai tidak menjawab. Hanya melihat dompet itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun