“Pabrik dompet?” Tanya pak Kiyai. “Yang rumah kosong itu?”
“Iya pak Kiyai.”
Pak Kiyai menatapku. Tatapannya tidak bisa terbaca maksudnya apa. Tapi aku menyimpulkan itu adalah eksperesi terjekut.
“itu kok bisa bangkrut pak Kiyai? Padahal dompetnya bagus.”
“Pemiliknya sudah meninggal dunia, bunuh diri.”
“Innalillahi, kok bisa paj Kiyai?”
“Iya. Waktu itu si pemilik pabrik hendak ditangkap polisi karena telah membunuh kekasihnya dan mengulitinya untuk dijadikan dompet. Polisi menduga si pemilik pabrik terkena gangguan jiwa. Karena takut dan frustasi, si pemilik pabrik malah menggorok lehernya sendiri.”
Aku mengeluarkan dompet dalam saku. Memegangnya dengan gemetar.
“Jadi dompet ini dari kulit kekasihnya?”
Pak Kiyai tidak menjawab. Hanya melihat dompet itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H