Setelah tiga hari di Yogyakarta, akhirnya seorang kawan memberi saran agar Aku pergi ke Candi Borobudur. "Kasihan banget, Fik. Sudah ke Jogja tapi tidak ke Borobudur," katanya.Â
Menurutnya, meski komplek candi Buddha itu berada di Kabupaten Magelang, tapi orang-orang mengenalnya sebagai salah satu destinasi wisata yang ada di Yogyakarta. Dan, ketika aku ke Borobudur petugas cewek di sana mengira aku bukan WNI. Kok, bisa?
Aku sempat melihat di papan informasi di kawasan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Di sana ada keterangan tentang destinasi wisata di Yogyakarta, dan salah satunya adalah Candi Borobudur. Secara geografis, keberadaan salah satu dari tujuh keajaiban dunia itu memang berada di Provinsi Jawa Tengah, tapi letaknya di kabupaten yang berbatasan langsung dengan provinsi DIY.
Setelah mendapatkan informasi terkait rute terdekat ke Borobudur, Aku pun mulai menyusun rencana. Mulai dari check-out dari homestay tempat Aku menginap, perkiraan durasi waktu ke sana dan jenis transportasi yang bakal Aku gunakan. Soalnya, semua pakaian kotor sudah Aku titipkan di penginapan buat berjaga-jaga jika pukul 12.00 Aku belum tiba di Yogyakarta, sesuai dengan batas waktu check-out. Aku sudah tidak berencana menambah masa tinggal di Yogyakarta.
Rupanya, semua rencana yang sudah disusun itu berantakan. Aku baru keluar dari homestay pukul 09.12 dan memilih sarapan di tempat biasa. Setelah sarapan, Aku memesan gojek ke Terminal Jombor. Menurut informasi, ada dua layanan bus yang melewati rute Jogja-Borobudur. Rupanya, menurut beberapa orang yang Aku temui di sana, kedua bus itu tidak berangkat. Alhasil, aku naik bus rute Jogja-Magelang.
Rute bus tersebut tidak langsung ke Borobudur, hanya melewati perempatan menuju Borobudur. Sang kernet bus berjanji akan menurunkan Aku di persimpangan jalan menuju candi, Persimpangan Blondo. Dan ia menepati janjinya. Bahkan dia memberi informasi yang cukup berharga terkait angkutan dan rute jalan. Katanya, dari simpang Blondo, Aku harus naik angkutan berwarna biru-merah yang ada tulisan Borobudur.Â
Angkutan itu berhenti di terminal Borobudur. "Dari terminal, kamu hanya perlu berjalan kaki sekitar lima menit untuk tiba di candi," katanya. Dia tidak menyarankanku untuk menggunakan jasa ojek. "Dekat ke candi."Â
Dibayar Ongkos Angkutan oleh Biksu asal Thailand
Oh ya, sebelum melanjutkan cerita perjalanan ke Borobudur, aku mau jelaskan bahwa di bus yang aku tumpangi sebelumnya terdapat satu penumpang lagi yang juga hendak berkunjung ke Candi Borobudur. Hal ini aku ketahui saat kernet menjelaskan tentang rute dan cara aku mencapai candi. "Itu (biksu) juga mau ke Borobudur," katanya, dan kemudian berlalu. Aku tidak tahu apakah dia termasuk dari rombongan biksu Thudong asal Thailand yang berjalan kaki ke Candi Borobudur.
Aku sempat panik ketika bus yang aku tumpangi melewati persimpangan menuju ke candi. Kernet yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk seperti mengerti kegelisahanku dan bilang bahwa kami akan diturunkan di persimpangan satu lagi. "Nanti bus berhenti di Simpang Blondo," jelasnya. "Bus nggak boleh berhenti di sana." Ia menunjuk ke persimpangan yang telah lewat sebelumnya.
Benar saja, sebelum tiba lampu merah Simpang Blondo, bus berhenti. Kernet bilang kami sudah sampai. Dan untuk menuju Candi Borobudur kami masih harus naik angkutan "berwarna biru-merah yang ada tulisan Borobudur." Aku dan biksu asal Thailand berjalan kaki sekitar 100 meter dari pemberhentian bus tadi, menunggu angkutan seperti dijelaskan kernet tadi.
Kami melihat sebuah angkutan dengan ciri-ciri tersebut dan langsung menaikinya. Hanya ada dua penumpang, seorang anak berseragam SMK dan ibu pembawa bakul. Aku naik duluan diikuti biksu. Kami bilang ke supir bahwa kami mau ke Borobudur, dan dia bilang angkutan itu menuju Candi Borobudur. "Angkutan ini hanya sampai terminal," kata supir. "Tapi kalau mau diantar ke candi, bisa juga. Rp40 ribu untuk berdua."Â
Supir itu jelas mengira aku dan biksu teman satu perjalanan, meski sebenarnya baru berjumpa tadi selepas turun dari bus. Sebenarnya, harga tersebut tidaklah mahal. Ongkos angkutan sampai terminal adalah Rp10.000 seperti dibilang oleh kernet bus. "Nanti pas ke candi jalan kaki saja, dekat kok."
Aku kemudian berdiskusi dengan biksu. Aku bilang padanya bahwa angkutan ini mau mengantar ke candi, tapi kita harus membayar Rp40.000. Biksu itu menolak. Katanya, dia akan turun di terminal saja. Aku kemudian bilang ke supir bahwa kami akan turun di terminal dan dia seperti sedikit kecewa.Â
Saat tiba di terminal, kami pun turun. Aku turun duluan dan langsung ke depan untuk membayar. Rupanya, biksu yang turun belakangan sudah duluan membayar sebelum dia turun. "Sudah dibayar oleh temanmu," kata supir ketika aku menyodorkan uang Rp20.000. Aku pun bilang "thank you" ke biksu dan kami pun berpisah jalan. Dia ke warung makan yang berada di seberang terminal, sementara aku menuju warung dekat persimpangan menuju candi. Sebelumnya aku sempat membeli satu botol air mineral.
"Kalau ke candi ke arah mana ya," tanya aku berbasa-basi. "Dari simpang ambil kiri mas," katanya. "Tidak jauh kok, bisa jalan kaki."
Sempat "Tidak Diakui" Orang Indonesia
Setelah berjalan kaki sekitar 15 menit, akhirnya aku tiba di kawasan Candi Borobudur. Di ruas jalan menuju tempat pembelian tiket, ada seorang petugas sedang menjelaskan tentang Candi Borobudur kepada seorang anak kecil yang ditemani bapak dan ibunya.
Petugas itu menjelaskan sedikit tentang candi dan destinasi wisata apa saja yang ada di komplek candi termasuk tiket masuk. Aku pun turut menyimak untuk mendapatkan gambaran berapa jumlah uang yang harus kita keluarkan demi masuk ke komplek candi. Katanya, untuk masuk ke halaman candi, tiket masuk hanya Rp50.000, tapi kalau mau naik ke puncak harganya Rp120.000. "Itu untuk warga lokal (WNI). Kalau untuk orang asing lain lagi, sekitar 560.000-an" katanya.
Setelah mendapatkan penjelasan kecil dari petugas, aku bergegas masuk ke gedung tempat pembelian tiket sembari mengisi daya ponsel. Hal ini aku lakukan untuk berjaga-jaga, agar nantinya saat berada di puncak ponsel-ku tidak lowbat. Saat itu, aku sempat memikirkan apakah sebaiknya aku membeli tiket masuk untuk pekarangan saja atau sampai ke puncak. "Wah, rugi ke Candi Borobudur kalau tidak naik ke atas," gumamku dalam hati.
Akhirnya, aku masuk ke tempat pembelian tiket khusus ke puncak. Aku langsung menuju konter penjualan tiket, dan petugas di sana meminta nomor antrian. Aku bilang belum ambil nomor antrian. "Kuota untuk jam saat ini sudah habis," kata petugas. Dia meminta agar aku menunggu petugas jaga tempat ambil antrian.
Kemudian aku duduk di kursi sofa tempat para tamu menunggu antrian. Seorang petugas cewek yang bertugas di tempat ambil nomor antrian menghampiriku dan bertanya apakah aku sudah punya nomor antrian, yang langsung aku jawab belum. Aku tanya berapa harga tiket, dan dia malah tanya, "bapak dari negara mana?"
"Aku orang Indonesia." Dia tidak percaya.Â
"Dari logat dan wajah, bapak mirip orang Malaysia," katanya.
"Duh, baru kali ini aku dianggap bukan orang Indonesia." Dia tetap tidak percaya. Dia malah memintaku menunjukkan kartu identitas. Awalnya, aku agak keberatan. Tapi dia butuh kepastian. Aku pun membuka tas kecil dan mengambil KTP. Aku perlihatkan padanya. Barulah dia percaya bahwa aku WNI.
Aku pun diarahkan untuk segera membeli tiket karena ada kelompok yang masih kekurangan anggota.Â
Bergabung dengan Kelompok Orang Asing
Karena sempat tidak diakui orang Indonesia, aku pun memilih bergabung dengan kelompok wisatawan asing berjumlah lima orang. Ada dari Rusia, Perancis dan Amerika, dan aku dari Aceh. Aku memilih bergabung dengan kelompok orang asing ini karena mereka sudah siap-siap berangkat.
"Tapi nanti guide-nya menjelaskan dalam bahasa Inggris," kata petugas. Aku hanya mengangguk. Dan yang menjadi tour guide kami adalah Mas Yudi, yang cukup lihat menjelaskan tentang sejarah dan hal-hal lain yang berhubungan dengan candi. Dia pun sempat menyinggung Angkor Wat Temple yang disebutnya sebagai komplek candi terbesar di dunia.
Setelah puas berkeliling, merekam dan take photo, serta mendengar penjelasan dari Mas Yudi, kami pun kembali. Di pintu, bule asal Perancis sempat bilang bahwa tiket masuk ke candi termasuk mahal. "It's very expensive," katanya. Aku pun mengiyakan. Tapi aku sempat bilang padanya bahwa tiket masuk ke Angkor Wat juga lumayan mahal. Saat aku ke Angkor Wat pada Januari 2018, harga tiket masuk untuk orang asing adalah $37. Itu setara dengan Rp560.000. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H