Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ajari Kami Cara Mencintai Megawati Soekarnoputri

21 Maret 2022   20:19 Diperbarui: 22 Maret 2022   16:55 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri. Photo: Kompas.com

Saya tahu, kalian (dan kita semua) pasti geram mendengar omongan Megawati soal minyak goreng tempo hari. Dalam webinar 'Mencegah Stunting untuk Generasi Emas' pada Kamis (17/3) lalu, janda Taufiq Kiemas itu bilang, "Saya tuh sampai ngelus dada, bukan urusan masalah enggak ada atau mahalnya minyak goreng. Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya?" 

Ayo, siapa yang tidak tersinggung, bukan? Itu seperti mencela ibu-ibu kita, seolah-olah mereka tidak punya kerjaan selain sekadar goreng-menggoreng.

Jika boleh jujur, saya tidak ikut-ikutan marah, sih. Bahkan di media sosial pun, saya tidak berkomentar apa-apa, padahal ungkapan itu adalah sasaran tembak yang sangat empuk. Tapi, saya memilih berdiam diri. Bukan apa-apa, saya tahu siapa saya dan risiko apa yang bakal kita terima andai berani menyerang ibunda Puan Maharani, itu. Sekadar informasi, media online tempat saya bekerja dulu pernah kena serangan DDos gegara memuat tulisan Dandhy Dwi Laksono, "Suu Kyi dan Megawati." Situs kami sempat down berhari-hari akibat serangan itu.

Kalian yang mencibir dan mem-bully ibu Megawati gara-gara minyak goreng, itu seharusnya sadar. Tidak pernah mudah menjadi seorang perempuan seperti Megawati. 

Coba sejenak saja kalian menjadi Megawati atau setidaknya membayangkan jadi anak seorang proklamator, yang sejak kecil sudah bermain petak umpet di dalam istana, maka kalian bisa memaklumi kenapa Megawati mengucapkan kalimat 'indah' seperti itu. Kalau kita ada di posisi Megawati, mungkin kita juga akan bilang demikian.

Sebagai anak presiden yang tinggal di istana, semua urusan keluarga presiden sudah diurus oleh protokoler urusan rumah tangga. Mulai dari pemilihan menu makanan, jadwal jalan-jalan sore, atau kapan lampu di kamar dimatikan, itu sudah diatur. Jadi, tidak usah kalian membayangkan bahwa Megawati sejak kecil sudah akrab dengan minyak goreng yang gunanya untuk menggoreng. Untuk mencuci piring sehabis makan nasi, mungkin saja beliau tidak pernah lakukan.

Pengalaman hidup Megawati, tentu saja, lebih berwarna dibanding kita. Kalian tahu, ketika beliau sedang senang-senangnya tinggal di istana, eh kekuasaan bapaknya dilucuti, dan kemudian harus keluar dari istana. Padahal, putra sang fajar, itu pernah didaulat sebagai presiden seumur hidup. 

Bisa kalian bayangkan betapa tersiksanya menjadi pesakitan. Segala privilese yang dulu melekat sudah tidak ada lagi. Kehidupan keluarganya dipantau dan diintai. Megawati yang kala itu berumur belasan tahun, ikut merasakan dampaknya.

Jika sebelum September 1965, bapaknya adalah orang paling berkuasa di Indonesia, maka setelah peristiwa Gerakan 30 September, ia adalah seorang tertuduh dan pesakitan. Segala gerak-geriknya dalam pantauan. 

Soeharto yang saat itu mengambil alih kuasa ingin tahu Soekarno melakukan apa dan bertemu siapa. Bahkan dalam urusan makanan pun, pemimpin Orde Baru, itu harus tahu dan diberitahu. Dan, Megawati yang masih kecil turut merasakan drama pengucilan itu. Ia masih belasan tahun, loh!

Megawati yang lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 sebenarnya mulai menemukan jalan kebahagiaan. Itu terjadi ketika Megawati menikahi Letnan Satu (Penerbang) Surindro Supjarso. Saat itu Megawati baru menginjak usia 21 tahun. 

Sangat muda. Mereka menikah di rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Sabtu petang, 1 Juni 1968. Dan, setelah menikah, Megawati memilih tinggal bersama suaminya di kompleks Angkatan Udara, Madiun, Jawa Timur. Jauh dari hiruk-pikuk politik Jakarta.

Dari pernikahan ini, Megawati dikarunia dua anak laki-laki, masing-masing Mohammad Rizki Pratama dan Mohammad Prananda Prabowo. Hanya saja, bukan Megawati namanya jika tidak selalu dirundung duka. Saat mengandung Prananda, kabar duka datang menusuk jantungnya. Pesawat Skyvan yang dipiloti suaminya berikut tujuh awak penumpang dinyatakan hilang di Perairan Biak, Papua pada 22 Januari 1971 atau sehari sebelum Megawati merayakan ulang tahunnya yang ke-24. Sejak itu, Megawati harus menjadi single parent dalam usia yang sangat muda.

Sebagai anak biologis Soekarno, Megawati harus tegar dan tidak boleh terus-menerus hidup dalam kubangan duka. Setelah 18 bulan hidup menjanda, ia pun memutuskan menikah lagi. Kali ini, ia jatuh dalam pelukan seorang mantan diplomat Mesir, Hassan Gamal Ahmed Hassan. Keduanya bertemu saat sang diplomat itu datang ke kediaman Megawati untuk menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Soekarno. Kabar pernikahan kedua Megawati menyebar dengan cepat setelah muncul sebuah iklan di sebuah koran terbitan ibukota: “TELAH MENIKAH. Hassan Gamal A.H. dengan Ny. Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Juni 1972 di Sukabumi”. 

Rupanya, kabar itu bagai petir bagi keluarga besar Soekarno. Sang ibu, Fatmawati, terang-terangan menolak merestui hubungan tersebut. Penjahit sang saka merah putih itu beralasan nasib suami pertama anaknya, Surindro, belum diketahui pasti nasibnya, apakah sudah meninggal atau belum, meski sudah berbulan-bulan dicari. Dengan demikian, pernikahan itu pun batal dengan sendirinya.

Kalian yang hari ini mencibir Megawati tentu bisa membayangkan bagaimana tersiksanya perasaan beliau setelah dipaksa cerai dari suami keduanya, saat usia pernikahan baru berjalan 3 bulan. Sekuat-kuatnya kalian menghadapi masalah dalam hidup, saya yakin kalian tidak bakal sekuat Megawati. Dan, kalian para wanita pasti tidak pernah memiliki pengalaman dipaksa bercerai oleh keluarga di saat usia pernikahan begitu singkat, bukan?

Itu belum seberapa. Masih ingat bagaimana penguasa Orde Baru mengacak-acak partai yang dipimpinnya, Partai Demokrasi Indonesia? Kantor partai yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diduduki oleh simpatisan sempalan partai dan preman bayaran Orde Baru. Siapa yang tidak sakit, ketika kantor partai yang sedang kita pimpin itu diduduki, dan kekuasaan kita dilucuti dengan membuat kongres tandingan. Saya tidak yakin kalian yang hari ini mencibir Megawati memiliki pengalaman sepahit yang beliau rasakan.

Kalau kalian hari ini kecewa pada Megawati, kami di Aceh sudah lebih dulu mengalaminya. Itu terjadi setelah pemilu pada Juni 1999, pemilu pertama setelah reformasi. Partai yang dipimpin Megawati, PDI Perjuangan, meraup 33 persen suara dan didapuk sebagai pemenang. Meski sudah memenangkan pemilu, jalannya ke kursi presiden masih terjal. Saat itu, presiden masih dipilih oleh MPR (dan kita semua sudah tahu bagaimana hasilnya).

Kami, rakyat Aceh, tidak pernah lupa pada pidato kemenangannya di Lenteng Agung, 29 Juli 1999. Saat itu, sambil menyeka air mata, ia mengatakan: “Untuk rakyat Aceh, jika saya dipercaya untuk memimpin negeri ini, percayalah, Cut Nyak tidak akan membiarkan setetes pun darah tumpah menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanya dalam menjanjikan Indonesia merdeka. Pada kalian, saya akan berikan cinta saya. Saya akan berikan hasil Arun-mu agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Mekkah jika dibangun dengan cinta dan tanggung jawab atas sesama warga bangsa Indonesia.”

Memang, Megawati tidak membiarkan setetes darah tumpah di bumi Aceh, melainkan banjir darah. Anggota DPR dari partai yang dipimpinnya terus menerus menabuh gendang perang dari Senayan. 

Mereka terus saja mengkritik setiap kali ada upaya pembicaraan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka yang digagas Gus Dur, bahkan hingga cucu pendiri NU itu lengser. Ketika menjadi presiden, Megawati rupanya mengirim mesin perang ke Aceh di bawah payung Darurat Militer (DM) untuk menumpas GAM. Bukan setetes darah tumpah di Aceh, melainkan banjir darah. Sampai-sampai Tuhan mengirim tsunami untuk membersihkan amis darah pada 26 Desember 2004.

Begitulah Megawati, wanita paling tegar di Indonesia, yang sudah mengalami pahit manis kehidupan. Pamornya tidak pernah menyusut sekali pun pernah dua kali dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, pada Pilpres 2004 dan 2009. Malah, kini SBY yang kehilangan pamor. 

Megawati kemudian menginsyafi takdirnya bahwa dirinya hanya boleh menjadi presiden selama tiga tahun setengah saja, ketika pada Pilpres 2012 ia memilih mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDIP. Padahal, jika ia ngotot, bisa saja dirinya kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden, toh tidak ada kader PDIP yang akan mencercanya. 

Ia seakan tahu diri. Ia memilih menikmati menjadi 'penasehat' presiden yang bahkan berani menyebut presiden sebagai petugas partai. Dan, ia sama sekali tidak merasa bersalah dengan mengatakan hal itu, termasuk kini ketika meremehkan para wanita Indonesia yang hanya tahu menggoreng. [] 

Disclaimer: Judul tulisan ini terinspirasi dari tulisan Pengeran Siahaan "Ajari Kami Cara Membenci Jurgen Klopp" di Detiksport.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun