Megawati yang lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 sebenarnya mulai menemukan jalan kebahagiaan. Itu terjadi ketika Megawati menikahi Letnan Satu (Penerbang) Surindro Supjarso. Saat itu Megawati baru menginjak usia 21 tahun.
Sangat muda. Mereka menikah di rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Sabtu petang, 1 Juni 1968. Dan, setelah menikah, Megawati memilih tinggal bersama suaminya di kompleks Angkatan Udara, Madiun, Jawa Timur. Jauh dari hiruk-pikuk politik Jakarta.
Dari pernikahan ini, Megawati dikarunia dua anak laki-laki, masing-masing Mohammad Rizki Pratama dan Mohammad Prananda Prabowo. Hanya saja, bukan Megawati namanya jika tidak selalu dirundung duka. Saat mengandung Prananda, kabar duka datang menusuk jantungnya. Pesawat Skyvan yang dipiloti suaminya berikut tujuh awak penumpang dinyatakan hilang di Perairan Biak, Papua pada 22 Januari 1971 atau sehari sebelum Megawati merayakan ulang tahunnya yang ke-24. Sejak itu, Megawati harus menjadi single parent dalam usia yang sangat muda.
Sebagai anak biologis Soekarno, Megawati harus tegar dan tidak boleh terus-menerus hidup dalam kubangan duka. Setelah 18 bulan hidup menjanda, ia pun memutuskan menikah lagi. Kali ini, ia jatuh dalam pelukan seorang mantan diplomat Mesir, Hassan Gamal Ahmed Hassan. Keduanya bertemu saat sang diplomat itu datang ke kediaman Megawati untuk menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Soekarno. Kabar pernikahan kedua Megawati menyebar dengan cepat setelah muncul sebuah iklan di sebuah koran terbitan ibukota: “TELAH MENIKAH. Hassan Gamal A.H. dengan Ny. Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Juni 1972 di Sukabumi”.
Rupanya, kabar itu bagai petir bagi keluarga besar Soekarno. Sang ibu, Fatmawati, terang-terangan menolak merestui hubungan tersebut. Penjahit sang saka merah putih itu beralasan nasib suami pertama anaknya, Surindro, belum diketahui pasti nasibnya, apakah sudah meninggal atau belum, meski sudah berbulan-bulan dicari. Dengan demikian, pernikahan itu pun batal dengan sendirinya.
Kalian yang hari ini mencibir Megawati tentu bisa membayangkan bagaimana tersiksanya perasaan beliau setelah dipaksa cerai dari suami keduanya, saat usia pernikahan baru berjalan 3 bulan. Sekuat-kuatnya kalian menghadapi masalah dalam hidup, saya yakin kalian tidak bakal sekuat Megawati. Dan, kalian para wanita pasti tidak pernah memiliki pengalaman dipaksa bercerai oleh keluarga di saat usia pernikahan begitu singkat, bukan?
Itu belum seberapa. Masih ingat bagaimana penguasa Orde Baru mengacak-acak partai yang dipimpinnya, Partai Demokrasi Indonesia? Kantor partai yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diduduki oleh simpatisan sempalan partai dan preman bayaran Orde Baru. Siapa yang tidak sakit, ketika kantor partai yang sedang kita pimpin itu diduduki, dan kekuasaan kita dilucuti dengan membuat kongres tandingan. Saya tidak yakin kalian yang hari ini mencibir Megawati memiliki pengalaman sepahit yang beliau rasakan.
Kalau kalian hari ini kecewa pada Megawati, kami di Aceh sudah lebih dulu mengalaminya. Itu terjadi setelah pemilu pada Juni 1999, pemilu pertama setelah reformasi. Partai yang dipimpin Megawati, PDI Perjuangan, meraup 33 persen suara dan didapuk sebagai pemenang. Meski sudah memenangkan pemilu, jalannya ke kursi presiden masih terjal. Saat itu, presiden masih dipilih oleh MPR (dan kita semua sudah tahu bagaimana hasilnya).
Kami, rakyat Aceh, tidak pernah lupa pada pidato kemenangannya di Lenteng Agung, 29 Juli 1999. Saat itu, sambil menyeka air mata, ia mengatakan: “Untuk rakyat Aceh, jika saya dipercaya untuk memimpin negeri ini, percayalah, Cut Nyak tidak akan membiarkan setetes pun darah tumpah menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanya dalam menjanjikan Indonesia merdeka. Pada kalian, saya akan berikan cinta saya. Saya akan berikan hasil Arun-mu agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Mekkah jika dibangun dengan cinta dan tanggung jawab atas sesama warga bangsa Indonesia.”
Memang, Megawati tidak membiarkan setetes darah tumpah di bumi Aceh, melainkan banjir darah. Anggota DPR dari partai yang dipimpinnya terus menerus menabuh gendang perang dari Senayan.
Mereka terus saja mengkritik setiap kali ada upaya pembicaraan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka yang digagas Gus Dur, bahkan hingga cucu pendiri NU itu lengser. Ketika menjadi presiden, Megawati rupanya mengirim mesin perang ke Aceh di bawah payung Darurat Militer (DM) untuk menumpas GAM. Bukan setetes darah tumpah di Aceh, melainkan banjir darah. Sampai-sampai Tuhan mengirim tsunami untuk membersihkan amis darah pada 26 Desember 2004.