Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

GERDEMA, Belajar dari Malinau

1 Desember 2014   06:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku Revolusi dari Desa

Judul Buku          : Revolusi Dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya kepada Rakyat

ISBN                      : 978-602-02-5099-1

Pengarang          : Dr. Yansen TP., M.Si

Editor                    : Doddy Mawardi

Penerbit              : PT Elex Media Komputindo

Cetakan               : I, Tahun 2014

Harga                    : Rp. 54,800

Tebal Buku          : xxviii + 180 Halaman

Bupati Kabupaten Malinau, Dr Yansen Tipa Padan, M.Si gelisah. Dia tak habis pikir bagaimana mungkin pemerintah yang telah bekerja keras untuk memerangi kemiskinan, namun kerja keras itu tetap saja melahirkan kemiskinan secara terstruktur dan tidak pernah berubah dari keadaan sebelumnya. Why poor people stay poor? Kenapa orang miskin tetap miskin? Saya yakin ini bukan pertanyaan dalam debat filosofis, melainkan bentuk kegelisahan beliau melihat realita yang ada.

[caption id="" align="alignleft" width="600" caption="buku Revolusi dari Desa"][/caption]

Dr Yansen, misalnya, mengutip data dari BPS per Januari 2014, yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai lebih dari 25 juta orang. Menurutnya, angka tersebut memang menurun, tapi sangat lambat. Bahkan, katanya, di sejumlah daerah, jumlah orang miskin malah tidak berkurang. (hal 6). Itulah beberapa hal penting yang dikupas oleh Bupati Malinau ke-2 ini dalam bukunya Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat.

Kondisi tersebut memaksa Dr Yansen secara serius mencari penyebab kenapa masalah kemiskinan belum juga teratasi, sekali pun sistem terus berganti, aturan hukum dibuat dan pemerintahan berganti. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar untuk segera keluar dari kemelut kemiskinan, karena memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Melalui buku Revolusi dari Desa, Dr Yansen mengulas secara cerdas dan kritis kenapa Indonesia belum mampu mengatasi masalah kemiskinan. Menurutnya, karena banyak kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Banyak kebijakan pemerintah, katanya, keliru dan tidak masuk akal, terutama dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Bahkan, beberapa di antaranya tidak perlu dan tidak jelas, sebab sangat jauh dari esensi persoalan yang dihadapi. (hal 5)

Buku Revolusi dari Desa berisi 6 bagian (BAB). Buku yang berasal dari studi doktoralnya tersebut secara sistematis membahas persoalan pembangunan di Indonesia dengan menawarkan solusi. Dr Yansen tidak sekadar bicara tentang ketimpangan pembangunan di desa, melainkan menawarkan solusi yang dibutuhkan terutama untuk mengurangi kemiskinan dan mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri.

Dalam bagian pendahuluan (BAB I), Yansen menggugat konsep pembangunan yang selama ini diterapkan di Indonesia. Menurutnya, konsep pembangunan yang ada selama ini kurang tepat karena selalu menempatkan masyarakat di pihak yang lemah. Model dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak mampu menyentuh aspek dasar. Bahkan, katanya, model tersebut terbukti tidak mampu mengakomodasi berbagai kekuatan yang ada di masyarakat. Beberapa langkah yang ditempuh pemerintah, misalnya, lebih sering terkesan sebagai langkah politis. Apalagi, pemerintah lebih memilih menjalankan tindakan preventif persuasif namun temporer dengan tujuan menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat. Yansen mencontohkan soal memperbesar subsidi. (hal 4).

Memperbaiki kondisi tersebut, Yansen menawarkan sesuatu yang inovatif dan kreatif dengan cara mengubah konsep pembangunan. Secara perlahan-lahan dia mulai mengganti paradigma pembangunan yang selama ini dianut yaitu growth paradigm (paradigma pertumbuhan) dan generalization paradigm (paradigma pemerataan). Kedua paradigma ini terbukti gagal, karena belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Dengan posisinya sebagai Bupati di Kabupaten Malinau, memulai revolusi di daerahnya sendiri dengan menawarkan paradigma baru pembangunan yang berpusat pada sumber daya manusia (people centered development paradigm) yang beriringan dengan konsep pembangunan partisipatif (partisipative approach) (hal 10). Yansen tak berbicara dari menara gading dan berdasarkan teori semata. Apa yang dilakukannya benar-benar berdasarkan pengalamannya selama menjadi Camat, Sekretaris Daerah hingga memimpin Kabupaten Malinau. Dia pun memperkenalkan konsep ‘Gerakan Desa Membangun’ atau GERDEMA.

Rupanya konsep tersebut lahir dari perenungan panjang dan mendalam selama menjadi birokrat. Dia tergoda menjawab pertanyaan: Mengapa elite-elite lokal dan birokrasi pemerintahan daerah yang selama ini telah bekerja keras belum membuahkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat desa di Kabupaten Malinau? Rupanya, jawabannya sangat sederhana: perlunya pelibatan masyarakat dalam pembangunan. (hal 12). Kuncinya hanya mempercayakan pembangunan secara penuh kepada masyarakat desa.

Di bagian kedua, Yansen mengupas tentang teknik merancang konsep pembangunan. Keberhasilan Program GERDEMA yang memiliki motto Revolusi dari Desa, Percaya sepenuhnya kepada Rakyat, karena memiliki visi, misi, pilar pembangunan dan komitmen yang jelas dalam membangunan desa. Ada empat pilar pembangunan yang dilakukan, yaitu pembangunan infrastruktur daerah, membangun sumber daya manusia, membangun ekonomi daerah melalui sektor ekonomi kerakyatan, dan membangun sektor kepemerintahan.

Pilar pembangunan tersebut kemudian diperkuat dengan komitmen sungguh-sungguh untuk menjalankan GERDEMA melalui: mewujudkan Malinau sebagai Kabupaten Parawisata. Yansen cukup yakin dengan menghidupkan sektor parawisata akan menggairahkan sektor lain terutama ekonomi. Kesuksesan Malinau di bidang pariwisata dapat dilihat dari komitmennya untuk mencanangkan kabupaten konservasi. Hasilnya, Malinau menjadi salah satu konservasi terbesar di Indonesia dan salah satu paru-paru dunia. Kini Malinau dijuluki sebagai Heart of Borneo. (hal 36)

Komitmen lainnya yaitu Membangun Sektor Pertanian melalui Revitalisai dan mewujudkan RSUD sebagai Rumah Sakit Rujukan. Pada rencana pembangunan Malinau, RSUD ini akan menjadi Rumah Sakit Wisata (Hospital Tourism)

Di bagian ketiga, Yansen mengupas tentang Program GERDEMA, Sebuah Revolusi dari Desa. Yansen percaya bahwa dua pendekatan dalam pembangunan, yaitu top-down (sebagai perencanaan teknokratik, dari atas ke bawah) dan bottom-up (perencanaan partisipatif, dari bawah ke atas) dapat diterapkan secara bersama-sama. Menurutnya, jika kedua pendekatan tersebut diterapkan secara terpadu dalam pembangunan desa, maka desa akan cepat maju dan sejahtera. Tapi, revolusi konsep pembangunan desa harus dimulai dari gerakan yang ada di desa itu sendiri. (hal 42).

Melalui BAB ini kita jadi tahu secara detail tentang konsep Gerakan Desa Membangun dan bagaimana revolusi dari desa dimulai. Konsep GERDEMA hadir untuk mengoreksi pola perencanaan pembangunan yang masih berasal dari atas. Karenanya, GERDEMA dianggap sebagai inovasi karena belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintahan mana pun. Pada tahun 2013, konsep GERDEMA di Malinau termasuk dalam penerima penghargaan Innovative Government Award dari Kementerian Dalam Negeri.

Namun, Prof Dr Sadu Wasistiono, M.Si, menganggap konsep GERDEMA Yansen tak sepenuhnya gagasan baru, tetapi merupakan upaya reaktualisasi konsep. Sebab, katanya, pada masa lalu sudah ada konsep pembangunan komunitas. (hal XIII). Bahkan, model pembangunan yang dijalankan oleh Program Nasional Mandiri Perdesaan (PNPM) juga tak jauh berbeda dengan konsep GERDEMA.

Sementara di bagian keempat, Yansen membahas kepemimpinan dalam gerdema. Di bagian kelima mengenai profil desa dan hubungan antar lembaga, serta di bagian keenam tentang rekam jejak sebelum dan sesudah GERDEMA. Yansen membahasnya secara sistematis dan runut.

Kenapa Belajar dari Malinau?

Ada beberapa alasan kenapa kita harus belajar dari keberhasilan program Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) ke Malinau. Pertama, Malinau berhasil mewujudkan sarana komunikasi Vsat yang dibangun di seluruh kantor camat perbatasan, pedalaman, dan terpencil se-Malinau dengan fungsi: telepon, facsimile, email, internet, dan teleconference tahun 2012. Kedua, Desa di Malinau memiliki kendaraan operasional sebagai alat pendukung dari program GERDEMA. Pengadaan mobil operasional tersebut melalui APBDes tahun 2013. Ketiga, Malinau sukses membangun aparatur pemerintahan yang transparan, misalnya Kepala Desa harus membuat dokumen LKPJ Kades kepada Ketua BPD sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintah desa. Bahkan di Desa Malinau Hilir Kecamatan Malinau Kota tahun 2014 sukses menyelenggarakan Rapat Paripurna Desa

Pentingnya Revolusi dari Desa direplikasi

Pun begitu, kita patut memberi apreasiasi positif atas keberhasilan Dr Yansen menerapkan konsep GERDEMA di Malinau. Saya pikir, konsep Gerdema, sebagai sebuah praktik yang baik, perlu direplikasi untuk desa-desa lain di Indonesia. Ini penting dilakukan agar kita tidak gamang ketika implementasi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa mulai berjalan pada 2015, apalagi melibatkan dana yang cukup besar antara Rp800 juta-Rp1,2 miliar per desa. Kita tidak ingin UU Desa jalan di tempat, karena aparatus desa tak memiliki konsep yang jelas bagaimana mewujudkan desa mandiri. Untuk itulah, kita perlu belajar dari Malinau, bagaimana melakukan revolusi dari desa, sebagai sebuah taruhan untuk mewujudkan desa yang mandiri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun