Pertama, kita merujuk ke perkara nomor 42 termaksud. Misalnya, penggugat mengatakan bahwa penjelasan Pasal 223 yang berbunyi "Cukup Jelas" menurut para penggugat, sebaliknya, adalah sangat tidak jelas. Apa jawaban Hakim MK?
Hakim MK menjawab secara normatif bahwa dituliskannya frasa "Cukup jelas" dalam Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 karena pembentuk undang-undang menganggap rumusan Pasal 223 a quo sudah cukup jelas atau tidak memerlukan penjelasan lagi baik terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata maupun istilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 223 a quo. Secuil itu saja jawaban Hakim Konstitusi yang mulia ini.
Haedeuh! Pembentuk UU dapat saja menafsirkannya seperti tafsir Hakim Konstitusi ini. Atau, tentu saja adalah logis jika banyak yang menduga, termasuk penggugat a quo, bahwa pembentuk UU memang sengaja tidak memberikan penjelasan dengan tujuan menghilangkan kepastian hukum sehingga dapat ditafsirkan atau dipraktekan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu. Narasi tengiknya adalah pasal-pasal karet!
Pendapat Hakim Konstitusi sendiri, yang sebagian besar adalah Guru Besar, professor penuh, bagaimana? Persisnya seharusnya Hakim Konstitusi yang mulia ini mengajukan sanggahan dan/atau memintakan konfirmasi ke para penggugat, jika kontra, atas argumentasi para penggugat bahwa Pasal 223 ini sangat tidak jelas dan multi interpretasi sehingga dimanfaatkan oleh para Ketua Umum partai politik sebagai hak prerogatifnya untuk menetapkan pasangan calon presiden/wakil presiden. Lebih jauh lagi, karena ketidakjelasan pasal a quo, azas kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersendikan inklusivitas, transparan, dan terbuka yang merupakan marwah pasal a quo, diabaikan begitu saja.
Bersuara dong jika memiliki literasi verbal yang cukup! Bersuara dong jika argumentasi para penggugat itu, semisalnya, konsisten dengan pandangan Hakim Konstitusi, dengan memberikan eloborasi yang baik dan cukup. Bersuara dong jika tidak ingin dikatakan bahwa literasi verbal Hakim Konstitusi tidak lebih dari dari literasi verbal anak SD di Singapura!
Kedua, sekarang kita merujuk ke perkara nomor 66 tahun 2021. Ini juga merupakan Perkara UU Pemilihan Umum tahun 2017 dan persisnya uji materi Pasal 222 atas UUD 1945. Pasal a quo terkait dengan ambang batas untuk mencalonkan presiden yang didasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR lima tahun yang lalu.
Pemohon menyampaikan enam dalil kerugian konstitusional nya atas pemberlakuan Pasal a quo. Namun, dalam pertimbangan hukumnya Hakim Konstitusi hanya manyajikan tiga ringkasan dalil kerugian para pemohon termaksud tanpa ada penjelasan kenapa tiga dalil kerugian konstitusional pemohon yang lain tidak disajikan.
Sebelum ke pertimbangan hukum, perbuatan Hakim Konstitusi ini, jelas-jelas melanggar norma umum  literasi verbal yang berlaku secara universal. Hakim Konstitusi hanya manyajikan tiga dari enam dalil kerugian konstitusional pemohon tanpa memberikan penjelasan kenapa tiga dalil yang lain termaksud tidak disajikan dalam ringkasan termaksud. Alternatif lain, memang literasi verbal para Hakim Konstitusi yang mulia ini sangat rendah?
Sekarang kita melangkah ke literasi hukum para Hakim Konsitusi yang mulia ini. Kita masuk pada substansi kedudukan hukum atau legal standing para penggugat (pemohon), yang merupakan pintu masuk atau entry point ke pokok perkara (posita). Pokok perkara atau posita penggugat baru akan dibahas jika para penggugat dinyatakan memiliki legal standing.
Lihat yurisprudensi Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 yang menyatakan bahwa ada 5 (lima) syarat agar para penggugat memiliki legal standing. Kelima syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;