Hi Kompasianer. Salam sehat dan tetap semangat ya.
Kali ini Kang Mizan akan mengulik frasa literasi verbal Hakim Konstitusi. Literasi verbal itu terkait kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca. Sederhananya dapat memaknai apa yang dibaca, atau, secara lebih lentur dikatakan sebagai reading comprehension.
Mungkin Anda pernah dengar bahwa literasi verbal siswa Indonesia sangat buruk. Lebih buruk dari yang dimiliki oleh siswa di kawasan ASEAN dan jangan dibandingkan dengan literasi verbal Singapore students. Seperti membandingkan langit dan bumi.
Oops! Tunggu dulu Anda jangan tersinggung dan naik pitam. Ini nilai median literasi verbal siswa Indonesia. Keluarga dan/atau anak Anda sendiri dapat saja memiliki skor literasi verbal yang jauh lebih tinggi dari skor median tersebut. Anda sendiri bahkan tentu saja dapat memiliki literasi verbal yang jauh lebih baik dari orang-orang Singapura.
Walau pun demikian, kita harus terima kondisi secara umum yang sangat memalukan ini. Begitulah fakta yang ada dan lebih menyakitkan lagi hal ini sudah berlangsung lebih dari 20 tahun ketika skor PISA Indonesia pertama kali dinilai.
Lebih menghentak lagi, pakar Pendidikan, Indra Charismiadji, pernah menemukan research findings bahwa siswa Indonesia tambah bodoh setelah bersekolah. Lebih menyesakan dada, dalam suatu Zoom meeting, pembicara, yang juga professor bidang Pendidikan mengatakan bahwa literasi verbal yang buruk itu juga berlanjut hingga ke Pendidikan tinggi.
Rasanya pembicara ini juga mengatakan bahwa bahkan kondisi ini terus berlanjut setelah bergelar sarjana dan doktoral. Kemudian patut kita pertanyakan bagaimana jika ada guru besar, professor penuh, yang kurang atau bahkan tidak memiliki literasi verbal yang baik?
Jawabnya adalah itu mustahil terjadi. Mustahil terjadi di negara-negara OECD loh maksudnya. Termasuk juga, menurut dugaan penulis, mustahil terjadi di Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah mungkin ada, bahkan sering, ditemukan professor Indonesia dengan literasi verbal yang buruk? Jawaban penulis, ada kemungkinan itu terjadi sebab bisnis proses pengangkatan dan pengukuhan guru besar di Indonesia tidak begitu transparans dan banyak mengandung muatan non-akademis.
Sekarang, sesuai dengan judul artikel ini, bagaimana pendapat Kang Mizan tentang literasi verbal Hakim Konstitusi? Apakah buruk, baik, atau sangat baik? Maaf Yang Mulia Hakim Konstitusi, jawaban Kang Mizan, penulis, adalah buruk! Ini penulis simpulkan berdasarkan pengalaman beracara di MK dengan nomor perkara 42/PUU-XX/2022, dan, berdasarkan rujukan beberapa putusan MK terkait uji materi UU Pemilihan Umum. Penjelasanya adalah seperti dibawah ini.