Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mohon Maaf Yang Mulia, Ini Empat Perbuatan Tercela Hakim Konstitusi

24 Juli 2022   12:04 Diperbarui: 25 Juli 2022   14:56 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Sekretariat Kabinet

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini frasa luhur yang tayang dihalaman depan setiap putusan Mahkamah Konstitusi. Tersirat Mahkamah Konstitusi berikrar akan mengadili perkara konsitusi melebihi dari tugas resmi yang tertulis, termasuk mempertanggungjawabkanya dengan norma-norma etika yang kita junjung tinggi bersama.

Dalam perspektif yang lebih luas, para Hakim Konstitusi yang mulia termaksud perlu semaksimal mungkin menggali nilai-nilai keadilan, persamaan, demokrasi yang pelaksanaanya didasarkan atas asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Inti dari azas ini dalam prakteknya cukup tiga yaitu inklusif, transparan, dan terbuka.

Tujuannya, in casu UU Pemilu, adalah meningkatkan perbaikan di bidang politik khususnya Pemilihan Presiden, sebagaimana tertuang dalam UU 42/2008," juncto UU No. 7/2017. Lebih persisnya adalah perbaikan pada domain peraturan perundang-undangan pemilihan presiden/wakil presiden.

Namun, sangat ironis. Sangat menyasakkan dada. Lain ikrar lain perbuatan!

Ahmad Yani, Ketum Partai Masyumi, mengatakan bahwa Hakim Konstitusi mengingkari hak rakyat yang tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945 (FusllatNews). Lebih galak dan serem lagi, Effendi Gazali, Pakar Komunikasi Politik UI,  mengatakan Hakim Konstitusi sontoloyo. Rocky Gerung, aktivist Pro Demokrasi, memplesetkan singkatan MK menjadi Mahkamah Kedunguan dan Yusril, Ketum Partai PBB,  mengatakan bahwa Hakim Konstitusi adalah anteknya Oligarki. Klik disini.

Kesemua itu sebetulnya sarkastik pencomohoan martabat Hakim Konstitusi. Amblas harga diri, dignity, Hakim Konstitusi, jika kesemua hal tersebut benar adanya dan Hakim Konstitusi memiliki self-sense of dignity.

Diatasnya, tuduhan Hakim Konstitusi adalah anteknya Oligark merupakan tuduhan yang super serius. Kenapa? Oligark itu adalah orang yang sangat sangat kaya yang menggunakan kekayaanya dalam dunia politik termasuk pengendalian pemilihan umum. Oligark berkepentingan agar pemilihan umum berpihak pada mereka sedemikain rupa sehingga mayoritas, jika tidak hampir seluruh pejabat terpilih dalam pemilihan umum adalah orang-orang oligark dan/atau oligark itu sendiri.

Tujuan oligark, menurut Prof Winters, hanyalah semata-mata mempertahankan kekayaan nya. Dengan demikian, patut diduga para oligark itu tidak memiliki sense of nationalism apalagi sense of heroism. Tentu ini kurang lebih setara dengan narasi "Indonesia lenyap sebelum tahun 2030", bukan lah urusan para oligark itu.

Oiligark hanya peduli dengan kekayaannya. Sepanjang kekayaanya itu tidak terganggu, bagi oligark itu adalah hal yang sama, terlepas apakah NKRI tetap utuh, menjadi negara federal, atau, yang lebih tragis lagi pecah berderai menjadi benyak negara di  kawasan Pasifik Selatan.

Saya Panca Sila. NKRI harga mati. Oligark musuh bersama kita. Oligarchs our public enemies.

Hayu lawan oligarki.

Di sisi lain, kita berharap Para Hakim Konstitusi tidak mempolisikan tokoh-tokoh nasional diatas. Kritikan super tajam itu jangan disetarakan dengan ujaran kebencian, penghinaan dan pencemaran nama baik. Ini sesuai dengan pandangan Prof Mahfud MD, yang sekarang menjabat sebagai Menko Polhukum Kabinet Jakowi-Ma'ruf Amin. Menurut Beliau esensi demokrasi adalah sanggahan dan klarifikasi jika pejabat publik, termasuk Hakim Konstitusi, mendapat kritikan setajam apapun kritik itu. Klik disini. 

Adalah making senses jika Para Hakim Konstitusi itu mengindahkan pandangan bernas Prof Mahfud MD diatas. Mereka beliau itu perlu memberikan sanggahan dan/atau klarifikasi atas pernyataan para tokoh nasional tersebut diatas. Klarifikasi dan/atau sanggahan termaksud sangat dibutuhkan karena ini terkait erart dengan elemen moral dan etika.

Apa jadinya negara ini jika terpateri dalam di hati warga negara bahwa Hakim Konstitusi adalah orang-orang yang tidak bermoral dan tidak beretika! Narasi 2030  itu tinggal selangkah lagi!

Sambil menunggu terketuknya sanubari Para Hakim Konsitusi yang mulia, berikut ini penulis sajikan empat perbuatan Hakim Konstitusi yang tercela. Ini analisis penulis loh dan logis jika ada bahkan mungkin banyak tidak sepaham dengan penulis termasuk Para Hakim Konstitusi Yang Mulia.

Tulisan ini bersumber dari pengalaman penulis sebagai penggugat pertama (ada tiga orang lagi kakek dan nenek penggugat yang lain) pada perkara konstitusi yang terdaftar dengan no. 42/2022, nomor register lengkap adalah 42/PUU-XX/2020. Ada dua pasal yang kami gugat yaitu Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu tahun 2017.

Selain itu, tulisan ini juga digali dari berbagai putusan MK terkait pengujian UU Pemilihan Umum (UU tahun 2008 dan UU tahun 2017); lebih dari 30 permohonan pengujian UU Pemilihan Umum terutama yang terkait dengan ambang batas pencalonan presiden dan model Pemilu Serentak/Terpisah.

Dua dari empat perbuatan Hakim Konstitusi yang tercela sudah kami tulis pada tulisan terdahulu yang tayang dengan judul "Mohon Maaf Yang Mulia, Ini DUA Perbuatan Hakim Konstitusi Yang Tercela." Keduanya akan penulis ringkas pada tulisan ini. Dua perbuatan tercela yang lain, kami sajikan secara utuh pada tulisan ini.

Please, enjoy it! 

1. Pilih-pilih Dalil Hukum Penggugat yang akan dibahas

Dalam pertimbangan hukumnya, Para Hakim Konstitusi (Mahkamah Konstitusi) hanya meringkas sebagian dalil kerugian konstitusional para pemohon, dan, adrenalin kami meningkat ketika mengetahui bahwa hanya satu saja yang dibahas oleh Para Hakim Konstitusi ini.

Lebih menggeramkan lagi, Hakim MK menolak legal standing (kedudukan hukum) para penggugat dengan merujuk ke penolakan legal standing yang tertuang dalam putusan perkara tahun 2020 yang terdaftar dengan nomor: 74/PUU-XVIII/2020. Dalil hukum legal standing kerugian konstitusional para penggugat pada perkara ini jauh berbeda dengan dalil hukum legal standing kerugian konstitusional pada perkara no: 42/PUU-XX/2022 tersebut diatas.

Ini perkara 42/2022 atau perkara 74/2020 Hakim Konstitusi Yang Mulia?

2. Salah Kaprah Bertindak sebagai Wakil Pemerintah 

Hakim Konstitusi sering mengambil alih fungsi pemerintah, persisnya, pembentuk UU (pemerintah dan DPR), dalam mengadili perkara konstitusional. Ini kesalahan yang sangat fatal dan tidak dapat ditolerir mengingat pengadilan itu mengadili dua pihak yang berseteru. Pihak pertama adalah penggugat dan pihak kedua adalah tergugat.

Tergugat adalah pembentuk undang-undang yaitu pemerintah dan DPR. Hakim Konstitusi bukan pemerintah dan bukan juga DPR. Hakim Konstitusi selain wajib menghadirkan pihak tergugat (pemerintah dan DPR) juga harus imparsial walaupun Yang Mulia termaksud diangkat oleh pemerintah dan DPR (plus Mahkamah Agung). Juga, walaupun memang sebetulnya Bisnis Proses pengangkatan Hakim Konstitusi sangat sangat perlu kita review kembali.

3. Sangat rendahnya dorongan untuk menemukan keadilan

Dalam hal mindset Hakim Konstitusi adalah menggali untuk menemukan keadilan, maka mereka Beliau itu seharusnya mengenyampingkan hal-hal sepele administratif. Trivial things should be foregone.  

Dalil hukum penggugat dapat saja ada kesalahan penulisan semacam  typo dan frasa petitum sedikit kurang tegas.  Hakim Konstitusi dapat saja mengabaikan kesalahan penulisan itu dan/atau kekurangan tegas termaksud.  Atau, mereka Beliau itu dapat memintahkan klarifikasi ke para pemohon.

Adalah tidak elok, atau, sedikit sarkastis, mohon maf, untuk mengatakan bahwa adalah tercela jika tindakan Hakim Konsitusi ujug-ujug menyatakan dalil hukum dan petitum para pemohon kabur atau tidak jelas dan oleh karena itu tidak dilakukan pembahasan sema sekali baik terkait legal standing apalagi dalil-dalil inkonsitusionalitas pasal yang diuji.

Lebih lengkap lihat Putusan Perkara No. 42/PUU-XX/2022. Fokus baca pada pengujian Pasal 223 UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum.

4. Terbentuknya tendensi rekayasa dissenting opinions, manipulasi pendapat hukum berbeda.

Dalam banyak putusan peradilan Mahkamah Konstitusi sering kita temui ada dua orang Hakim Konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapat. Keduanya adalah Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Ada juga satu dua perkara Hakim Konstitusi yang lain melakukan hal yang serupa.

Ini dapat dilihat dari jejak digital dissenting opinions atas legal standing para pemohon penguji UU Pemilu, mulai dari perkara No. 53/2017, misalnya, hingga perkara No. 74/2020 yang secara keseluruhan sudah terdaftar lebih dari 30 perkara. Hakim Konstitusi termaksud  pada setiap perkara yang terkait menyatakan bahwa para pemohon perseorangan memiliki legal standing. Namun, mengingat enam atau tujuh Hakim Konstitusi yang lain menyatakaN para pemohon tidak memiliki legal standing, maka permohonan itu ditolak dan dalil-dalil hukum dan/atau penjelasan pengujian inkonsitusionalitas pasal (-pasal) yang diuji oleh  para pemohon tidak diperiksa.

Terkesan dengan adanya dissenting opinions ini, Mahkamah Konstitusi mencoba meyakinkan publik bahwa Hakim Konstitusi betul-betul melakukan pekerjaan mereka Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, MK ingin mengatakan bahwa Hakim Konstitusi benar-benar mandiri, independen, berintegritas, dan tidak tunduk pada kepentingan pribadi masing-masing apalagi kepentingan dari Pemerintah, Mahkamah Agung, dan DPR serta pihak-pihak lain seperti Oligark.

Pertanyaanya sekarang adalah apakah praktek dissenting opinions itu berhasil? Jawaban sementara adalah tidak. Jawaban ini bersumber dari temuan penulisan pada putusan-putusan MK akhir-akhir ini yang tidak lagi membuat pernyataan dissenting opinions.  Selain itu, pernyataan sarkastik Ahmad Yani Dkk diatas mengindikasikan bahwa akal-akalan dissenting opinions ini tidak membuat mereka itu menghargai Hakim Konstitusi.

Secara heuristik, jika betul pertimbangan Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat merupakan pandangan genuine, tulus dan murni, dan bukan hanya sebagai pemanis putusan-putusan  termaksud, maka adalah sangat logis jika mereka melakukan penggalian yang sungguh-sungguh dan mendalam untuk mencari kebenaran dan keadilan terkait ada tidaknya legal standing dari pemohon perseorangan termaksud.

Mahkamah Konstitusi memiliki kapasitas yang sangat besar untuk mengadakan kegiatan seperti Seminar Nasional Legal Standing termaksud. Kita memiliki Pakar Hukum Tata Negara yang sangat besar. Kita juga memiliki Pakar Hukum yang jauh lebih besar dan kita juga memiliki Pakar Kebijakan Publik, Pakar Komunikasi Politik, dan Pakar Politik yang sangat besar. Kesemua mereka itu, yang jumlahnya ribuan orang, dapat diundang dengan mudah untuk berpartisipasi.

Ironisnya, penulis belum menemukan, jika ada, upaya-upaya seperti termaksud, dan/atau upaya-upaya lain yang sekolam, dari Para Hakim yang berbeda  pendapat termaksud.

Dalam nuansa yang lebih jauh, penulis menghimbau bukan saja kepada Hakim Konstitusi tetapi kepada siapa saja yang memiliki keberanian untuk terus berbicara tentang UU Pemilihan Umum tahun 2017.

Hayu bersuaralah. Speak Up Indonesia. Saya Panca Sila. NKRI Harga Mati!

Yes We Can.... Bersama kita bisa.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun