Beberapa waktu yang lalu viral orang kaya terima bantuan sosial (Bansos) Bang Anies. Atas kejadian ini, jawaban Gubernur DKI Jakarta ini, yang terkenal sangat piawai dalam berdebat, memang sangat mempesona. Ah itu kesalahan yang kecil dan dapat diabaikan, celetuknya. Yang gitu-gitu, hanya 1,6 persen dari 1,6 juta orang, 98,4 persen betul.
Namun, Â selang satu hari muncul beberapa sanggahan yang mengkerdilkan jawaban alumnus Northern Illinois University, USA, Â ini. Tidak tanggung-tanggung yang menyanggah jawaban Bang Anies ini yang juga alumnus Meryland College Park USA adalah Muhadjir Effendi, Menko PMK dan Sri Muljani Indrawati (SMI), Menteri Keuangan.
Pembagian Beban Bansos Pusat DaerahÂ
Bu SMI menyatakan Bang Anies (Pemda DKI jakarta) tidak ada uang memberikan Bansos kepada 1,1 juta orang miskin terdampak Covid-19 di wilayah DKI Jakarta.Â
Dengan demikian, kesepakatan semula bahwa Bansos untuk 2,5 juta orang ditanggung oleh pemerintah pusat dan 1,1 juta orang penduduk miskin dan rawan miskin di DKI Jakarta ditanggung oleh Pemda DKI Jakarta tidak dapat dipenuhi. Dengan kata lain, 1,1 juta orang itu juga akan menjadi beban pemerintah pusat.
Sedangkan Pak Muhadjir mengatakan bahwa selain ada tumpang tindih penerima Bansos, Anies melanggar kesepakatan awal tentang pembagian beban antara Pemda DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Maksudnya kesepakatan 1,1 dan 2,5 juta seperti tersebut diatas.
Ketidakjelasan Data Penerima Bansos
Tambah ribet lagi, jika ditelusuri lebih jauh. Misalnya, kesepakatan awal antara Pemda DKI Jakarta dengan Kementerian Sosial (pemerintah pusat) sebetulnya bukan 1,1 dan 2,5 juta orang itu tetapi disepakati bahwa pusat hanya akan memberikan Bansos kepada 947.126 KK. Jumlah KK ini adalah mereka yang bukan penerima PKH (dan mungkin juga bukan penerima BPNT).Â
Bertambah ruwet lagi ketika kemudian DKI mengusulkan 2 juta dan kemudian naik lagi menjadi 2,5 juta orang (bukan KK ini loh) untuk diberikan Bansos oleh pemerintah pusat (Kementerian Sosial). Mungkin ini yang dikatakan oleh Menkeu SMI bahwa Bang Anies sudah tidak ada uang untuk memberikan Bansos pada orang miskin terdampak Covid-19 di DKI Jakarta, sehingga mengajukan permohonan bantuan kepada Presiden Jokowi.Â
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)Â
Sumber utama dari sangkarut Bansos DKI Jakarta tersebut adalah pola pikir seperti biasanya atau business as usual. Pola pikir baik pejabat Pemda Jakarta maupun pejabat Kementerian Sosial sangat dipengaruhi oleh rujukan ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Basis data ini adalah hasil Susenas yang dilakukan oleh BPS yang terakhir dilakukan pada tahun 2018. Data ini kemudian diperbaiki setiap tahun berdasarkan usulan dari RT/RW di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam kondisi seperti biasa, sebagian besar data itu masih konsisten. Data ini kemudian mulai tidak konsisten lagi seiring dengan mulai merosotnya ekonomi Indonesia sebagai imbas dari perang dagang USA - China. Banyak perusahaan, pengusaha, dan pekerja yang mulai mengalami penurunan pendapatan. Kemudian, banyak pekerja mulai kena PHK dan dirumahkan di penghujung tahun 2019 dan bertambah banyak di awal tahun 2020.
Kondisi ekonomi Indonesia kemudian menjadi porak poranda ketika Covid-19 dengan sangat cepat berjangkit di Indonesia yang kemudian diikuti oleh kebijakan semi lockdown dengan nama resmi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sekolah dan perguruan tinggi ditutup, pegawai hampir seluruhnya bekerja di rumah, mall/super market dan tempat wisata ditutup, hotel dan restoran serta warung-warung kuliner tutup, pabrik-pabrik dan kegiatan perdagangan juga merosot tajam.Â
Ribuan perusahaan dan UMKM terancam bangkrut dan sebagian besar sudah mem-PHK dan me-rumahkan para pekerja mereka. Data Kementerian Tenaga Kerja per 20 April 2020 memperlihatkan bahwa terdapat 2.084.593 pekerja yang kena PHK atau terpaksa dirumahkan. Angka ini jelas akan bertambah terus dan menurut intuisi penulis sudah tembus tiga juta orang hingga 8 Mei 2020.
Total pekerja di provinsi Jawa barat Jabar yang kehilangan pekerjaan akibat di-PHK dan dirumahkan per 5 Mei 2020 mencapai 75.113 orang. Di provinsi Jawa Timur hingga 11 April 2020 terdapat 20.036 pekerja yang dirumahkan dan 3.315 orang kena PHK. Â Selain itu, di Jatim juga, terdapat 4.302 pekerja migran Indonesia (PMI) yang terdampak pandemi Corona ini seperti PHK dan gagal berangkat. Di wilayah DKI Jakarta, laporan terkini atas para pekerja yang kena PHK dan dirumahkan berjumlah 323.224 orang.
Kesemua mereka itu adalah sebagian dari orang-orang yang tidak masuk dalam daftar DTKS
Buka Data Simpanan Bank Pekerja
Kasus Bansos di DKI Jakarta yang menggelitik termasuk kasus-kasus orang kaya menerima Bansos dan penerima Bansos dari Pemda juga merupakan orang yang sama sebagai penerima Bansos dari Kemensos serta banyak orang yang berhak tetapi tidak menerima Bansos. Selain itu, sangat mungkin juga orang yang sama tersebut juga menerima Bansos yang berasal dari swadaya masyarakat.Â
Kasus-kasus tersebut bukan saja terjadi di wilayah DKI Jakarta. Penulis yakin itu terjadi di banyak dan bahkan mungkin hampir, jika tidak seluruh, wilayah Indonesia.Â
Kasus tersebut bersumber dari pola normal penetapan para penerima Bansos berbasis DTKS. DTKS ini sangat tidak cocok di tengah kondisi virus Corona saat ini. Alternatif yang diusulkan adalah merujuk ke data simpanan bank para pekerja.
Para pekerja yang memiliki deposito berjangka tentu saja harus dikeluarkan dari daftar penerima Bansos. NIlai deposito berjangka ini biasanya minimal Rp100 juta dan jika memiliki deposito berjangka biasanya saldo tabungan bank juga cukup tinggi.
Saldo tabungan banyak orang yang kena PHK atau dirumahkan jelas jeblok. Sebagian, sangat mungkin tinggal beberapa juta rupiah saja dan tidak akan mencukupi untuk biaya hidup hingga beberapa bulan ke depan apalagi hingga akhir tahun. Orang-orang inilah yang harus masuk jaring Bantuan Sosial Corona 2020. Kemudian, baru bisa diadakan pembagian distribusi beban antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Sektor Informal dan UMKM
Untuk kasus DKI Jakarta, diatas sudah diuraikan bahwa Pemda DKI Jakarta menargetkan pemberian Bansos pada 3,6 juta orang penduduk DKI Jakarta. Dari jumlah ini, kelihatannya sebanyak 323.224 orang. yang kena PKH atau dirumahkan. Selebihnya, 3,3 juta orang adalah orang-orang yang terdampak virus Corona yang beasal dari sektor informal dan UMKM. Mereka ini juga bukan sebagai penerima PKH dan BPNT.Â
Jika uang Pemda DKI Jakarta dan/atau pusat mencukupi dapat diambil jalan pintas. Masukan saja semua mereka itu pada daftar  penerima Bansos Corona 2020. Namun, Data 3,3 juta orang ini lebih rawan lagi. Mereka tidak termasuk dalam PKH dan BPNT yang berarti mereka tidak terdaftar dalam DTKS. Tidak tertutup kemungkinan masih lebih banyak lagi orang yang lebih memerlukan Bansos dibandingkan dengan sebagian orang-orang dalam daftar 3,3 juta tersebut.
Untuk itu, langkah digital yang dapat dilakukan adalah kembali melakukan matching dan screening data simpanan bank daftar 3,3 juta orang tersebut. Pasti sebagian akan memenuhi kriteria penerima Bansos dan sebagian lagi tidak memenuhi.
Selain itu, mantra simpanan bank ini dapat juga digunakan bagi pemohon diluar daftar 3,3 juta orang termaksud.
Permintaan Bansos Ridwan Kamil
Lain Jawa Timur, lain DKI Jakarta, yang dengan permohonan Bansos dalam jumlah kurang dari lima juta orang, maka Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengajukan permohonan yang tidak tanggung-tanggung. Â Kang Emil, sapaan akrab Gubernur Jabar ini mengajukan permohonan untuk 38 juta warga miskin Jawa Barat.Â
Biasanya kesepakatan yang diambil antara pusat dan daerah adalah hanya sebatas ketersediaan anggaran pemerintah pusat. Misal, pusat hanya mengatakan siap untuk dua juta orang yang sangat jauh dengan permohonan 38 juta itu. Kesepakatan akhirnya biasanya naik sedikit dari angka dua juta orang itu misalnya menjadi 2,5 juta orang.
Dalam kondisi normal, nasib 35,5 juta orang yang lain itu dibiarkan begitu saja. Mereka dibiarkan mencari jalan sendiri untuk bertahan hidup.
Seharusnya tidak demikian. Orang-orang tersebut masih dapat dibagi dalam beberapa grup seperti grup sudah tidak mampu lagi untuk membeli sembako dalam waktu satu bulan ke depan, grup dua bulan ke depan, dan seterusnya. Grup pertama sesegera mungkin harus dicarikan jalan agar mereka menerima bantuan sembako atau BLT yang dapat menunjang kehidupan mereka dalam beberapa bulan ke depan. Begitu seterusnya untuk grup-grup yang lain.
Namun, DTKS jelas tidak mungkin digunakan untuk membuat grup-grup tersebut. Grup-grup ini hanya mungkin dapat dibentuk berdasarkan analisis data simpanan bank dari 35,5 juta orang Jawa Barat tersebut.Â
Dengan kata lain, grup-grup tersebut hanya dapat dibentuk secara efisien dengan pola matching dan screening secara digital data simpanan bank 3,5 juta Urang Kang Emil termaksud. Secara umum, teknik digital matching dan screening simpanan bank para pemohonan Bantuan Sosial pemerintah dapat diterapkan secara nasional.
Rekening Bank di Indonesia
Menurut laporan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) total simpanan masyarakat pada bank umum per November 2019 mencapai Rp 6.042 triliun dengan  301,59 juta rekening. Ini merupakan rekening giro, deposito berjangka, dan tabungan.Â
Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa berarti secara rerata setiap penduduk Indonesia memiliki lebih dari satu rekening bank. Lebih jauh lagi jumlah penduduk dengan umur 0 - 14 tahun (belum produktif) adalah 70 juta jiwa, yang berarti jumlah penduduk produktif dan lanjut usia adalah 200 juta jiwa.
Dengan demikian, rerata jumlah simpanan bank penduduk produktif dan lansia Indonesia 1,5. Dengan kata lain, setiap penduduk kelompok ini memiliki 1,5 rekening bank.
Secara lebih umum lagi, data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar orang dewasa di Indonesia sudah memiliki simpanan bank. Konsekuensi nya, sebagian besar, jika tidak hampir seluruhnya, para pemohon bantuan sosial sudah memiliki rekening bank.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H