Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Donald Trump Melecehkan Profesor Ekonomi Amerika Serikat

28 Februari 2020   21:53 Diperbarui: 29 Februari 2020   12:11 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rezim Proteksionisme Ekonomi Donald Trump

Umumnya kita mendengar bahwa akhir pekan lalu Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan penghapusan fasilitas tarif bea masuk rendah bagi beberapa negara berkembang. Kebijakan ini akan bermuara pada tarif bea masuk impor yang lebih tinggi, jika tidak sangat tinggi, atas baran-barang ekspor dari 25 negara itu ke Amerika Serikat  dalam waktu dekat ini. Jelas sekali bahwa kebijakan ini merupakan perluasan dari kebijakan tarif bea masuk super tinggi untuk barang-barang impor dari Cina, yang diterapkan sejak Trump mulai berkuasa di tahun 2017

Ada 25 negara yang masuk dalam daftar kebijakan Trump ini yang tersebar mulai dari benua Afrika, Eropa, Amerika dan Asia. Indonesia termasuk negara Asia yang berada dalam daftar 25 negara tersebut. Ke 25 negara-negara berkembang di luar China tersebut yang berpoetnsi terdampak tarif bea masuk impor Amerika Serikat yang lebih tinggi adalah: Albania, Argentina, Armenia, Brasil, Bulgaria, Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Indonesia, Kazakhstan, Republik Kirgistan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam. 

Tarif bea masuk tinggi dianggap dosa negara yang sangat besar. Ini menurut teori ekonomi yang sudah diyakini kebenarannya sejak Adam Smith. 

Teori Perdagangan Bebas (Free Trade Theory)

Teori ekonomi mengatakan bahwa tarif bea masuk merugikan negara itu sendiri. Barang-barang dalam negeri akan lebih mahal, pertumbuhan ekonomi akan melambat, pengangguran meningkat, dan upah buruh akan tertekan. Lebih jauh lagi teori mengatakan bahwa virus tarif bea masuk tinggi akan dengan cepat di transmisikan ke berbagai negara lain di dunia ini. Resesi ekonomi dunia tinggal selangkah lagi. 

Begitu mindset yang diajarkan oleh para Profesor Ekonomi di negara yang presidennya sekarang yang dulunya adalah pengusaha hotel dan kasino papan atas Amerika Serikat, Donald Trump. Mindset ini juga ditularkan ke para profesor ekonomi di seluruh dunia termasuk profesor ekonomi Indonesia. Anda mungkin masih ingat dengan narasi Mafia Berkeley,dan mafia Chicago serta Mafia Boston. Quote tarif untuk negara  shohib terdekat Israel ini adalah:

Tariffs Raise Prices and Reduce Economic Growth

Historical evidence shows that tariffs raise prices and reduce available quantities of goods and services for U.S. businesses and consumers, which results in lower income, reduced employment, and lower economic output

Keberanian Trump Menghantam Main Streams Teori Ekonomi

Keberanian Trump, yang lulusan School of Business dan bukan School of Economics seperti Bu Menteri Sri Mulyani Indrawati,  yang tahun 2018 di perintah oleh pengadilan di sana  untuk membayar denda dalam jumlah yang besar karena melakukan hubungan seks berbayar secara ilegal, untuk menghantam mindset tersebut patut diacungkan dua jempol. Pengenaan tarif bea masuk tinggi ke Tiongkok bukan saja membatalkan teori-teori ekonomi tersebut tetapi membuat ekonomi negara burger McDonald ini menjadi tambah stabil dan kuat.

Trump dengan congkak mengatakan bahwa ekonomi mereka membuat kepo banyak negara. Dia mengatakan bahwa pencapaian ini mungkin yang terbesar dalam sejarah negara yang saat ini sudah melegalkan ganja bukan saja untuk kepentingan medis tetapi juga untuk bersenang-senang. 

Bukti Keberhasilan Ekonomi Trump

Namun, kesombongan Trump tersebut cukup beralasan. Sombong tetapi berhasil tidak ada salahnya ya yaw. Lihat perkembangan tiga agregat ekonomi Amerika Serikat dibawah ini, yaitu: (i) pertumbuhan PDB; (ii) pergerakan Indeks harga Saham Gabungan, Dow Jones, dan (iii) upah buruh.

Kita mulai dari agregat pertama, kemudian kedua, dan terakhir yang ketiga. Bagian berikutnya adalah antisipasi atas kebijakan Trump untuk barang-barang impor asal Indonesia.

Pertumbuhan PDB

Pertumbuhan ekonomi USA robust di tahun 2019 pada tingkat 2,3 persen.  Selain itu, rerata pertumbuhan PDB empat tahun pertama Trump jauh lebih tinggi dari yang berhasil dicapai empat tahun pertama oleh rezim Obama, yang masih mengharamkan tarif bea masuk impor tinggi.

sumber: BBC.com
sumber: BBC.com
Bullish nya Dow Jones Index 

Lihat juga Indeks Dow Jones dibawah ini. Indeks ini membumbung tinggi sejak awal pemerintahan American First ini hingga Februari 2020 ini. Indeks ini tidak pernah berada di posisi yang sama lebih-lebih lebih rendah dari yang pernah dicapai oleh rezim Obama.

Sumber: BBC.com
Sumber: BBC.com
Terus Meningkatnya Kenaikan Upah Buruh

Tarif rerata upah buruh dibawah rezim Trump yang akan melaju kembali dalam kontestasi Pilpres Amerika Serikat November 2020 nanti terus membaik. Kenaikan upah buruh rerata di Amerika Serikat itu pada Januari 2020 mencapai 3,12 persen yang bahkan sebelumnya pernah mencapai 3,5 persen. Keberhasilan ini tidak pernah dicapai oleh rezim presiden Amerika Serikat sebelumnya, Barack Obama.

sumber: BBC.com
sumber: BBC.com
Implikasi untuk Indonesia

Kebijakan Trump untuk memperluas pengenaan tarif bea masuk yang tinggi tersebut mencakup untuk lebih memperkecil defisit neraca perdagangan mereka yang pada posisi Nov 2019 masih bertengger dengan nilai defisit sebesar US$43 miliar. Walaupun demikian, ini merupakan tingkat  US Trade Deficit terendah sejak pertengahan 2016. 

Untuk Indonesia sendiri, menurut Biro Pusat Statistik (BPS) kondisi neraca perdagangan Indonesia dan AS 2019 masih menguntungkan Indonesia. Indonesia masih mengalami surplus sebesar US$ 8,9 miliar di tahun 2019. 

Intuisi penulis mengatakan surplus perdagangan tersebut masih tetap berlanjut karena komponen ekspor Indonesia sebagian besar merupakan produk primer (primary products). Ini mencakup seperti karet, kopi, lada,kopra, minyak dan gas, serta hasil tambang seperti batu bara, tembaga dan emas.

Barang-barang ini tidak mungkin dikenakan tarif bea masuk tinggi oleh Amerika Serikat. Barang-barang ini dibutuhkan untuk produksi barang-barang industri mereka dan oleh karena itu bukan merupakan pesaing produksi dalam negeri mereka.

Indonesia Sebaiknya Keluar dari WTO

Sebagian pertimbangan keikutsertaan Indonesia pada organisasi dagang dunia ini adalah mendapatkan fasilitas tarif bea masuk murah untuk barang-barang ekspor Indonesia ke negara-negara maju termasuk ke Amerika Serikat. Sekarang fasilitas itu hampir pasti akan dihapus. 

Dengan demikian WTO sudah tidak bermanfaat lagi bagi Indonesia. Lebih miris lagi, beberapa komoditas pertanian indonesia seperti kelapa sawit (minyak kelapa sawit) di boikot dan/atau dikenakan tarif bea masuk super tinggi di negara-negara Eropa.

WTO sekarang bukan lagi aset bagi Indonesia tetapi sudah menjadi beban. Indonesia perlu membayar membership fees ke WTO dalam jumlah ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Indonesia juga masih perlu mengeluarkan uang dalam jumlah miliaran rupiah setiap bulan untuk membayar gaji dan remunerasi staf-staf perwakilan Indonesia di sana dan berbagai kegiatan dengan WTO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun