Hai, namaku Laras. Aku bekerja di Bandung sebagai penyiar di sebuah radio swasta. Aslinya, aku adalah perempuan jawa yang modern. Sebagian besar hidup kuhabiskan di kota yang sangat nyaman, Yogyakarta.
Sekarang, aku sedang berdiri di depan Stasiun Bandung, berfoto bersama lokomotif tua yang selalu berdiri gagah di sana. Satu jam lagi aku akan melakukan perjalanan bersama Lodaya. Ya, aku akan pulang ke Jogja. Hore!
Kepulanganku kali ini membawa banyak misi. Misi pertama, membawakan cheese roll dan cheese stick buat mama. Oh, pisang bolen keju juga. Iya, produk andalan Bandung itu, merek yang itu. Hihiii.
Lalu misi kedua. Melakukan negosiasi kerja sama dengan radio swasta di Jogja. Radioku bercita-cita memiliki siaran bersama di beberapa kota, lalu mengembangkan acara siaran-siaran kebudayaan secara bergantian. Ah, aku bersemangat sekali untuk program itu. Jadi, nanti (rencananya) juga akan ada live report acara-acara budaya dari kota-kota tersebut. Misalkan, Sekatenan di Jogja, siarannya juga akan sampai ke Bandung atau bahkan mungkin Makasar (kalau negosiasi lancar). Ahahahaaa.
Misi ketiga, bertemu dengan sahabat (-sahabatku). Ada satu orang yang utama dan harus, tapi bukan hanya dia yang akan kutemui. Aku akan membayar utang janji yang bejibun, dan mereka juga harus melakukan hal yang sama padaku. Biasalah, kalian tahu kan, kalau kita sedang jauh, pasti banyak iming-iming mereka dengan embel-embel: Makanya, pulang donk. Hahaaa.
Oke, sekarang aku sudah duduk manis di kursi nomor 1 A. Tempat favoritku adalah di dekat jendela. Sewaktu memesan tiket kereta kemarin, aku diberi tahu bahwa tempat duduk dekat jendela sudah penuh, tinggal tersisa nomor 1. Nomor yang sebenarnya dihindari oleh banyak orang. Tapi demi bersanding dengan jendela, tak apalah. Duduk di sini, artinya akan melihat keramaian orang berlalu-lalang antargerbong. Mendengar bunyi pintu terbuka-tertutup. Menikmati para petugas menjalankan kewajibannya.
Setelah cukup nyaman menata posisi, kukeluarkan handphone dari kantong. Kulihat baterainya tinggal 2 strip. Aku pun melirik stop kontak di bawah jendela, dan langsung sigap mengambil charger, lengkap dengan headset. Aihh, indah sekali hidup ini. Mari mendengarkan Perfect Time dari album Sheila on 7 yang terbaru, Berlayar. Menurutku sihh, lagu ini versi Inggris dari Waktu yang Tepat untuk Berpisah. Hihiii.
~ There is always a way for love
But sometimes not on the same road
Dreaming is the only land
Fits for you and me ~
Lagunya sedih ya. Tapi musiknya tidak sendu. Enak betul. Entah karena apa, dari awal lagu ini yang langsung terngiang-ngiang di telingaku. Kalian belum dengar? Kalian harus dengar. Ayo beli album terbaru Sheila on 7. Yang asli yaaa! [Lho, kok malah promosi. Minta royalti ah :D]
Oke, sepertinya aku mulai mengantuk. Mari pejamkan mata sejenak. Tak lupa, rapatkan dulu barang-barang berharga. Handphone boleh menancap, tapi keamanan harus tetap dijaga. Oh ya, dan satu lagi, telepon Pak Wijoyo, taksi langganan buat menjemput di stasiun. Beres, mari tidur.
***
“Assalamu’alaikuuumm..,” teriakku di depan pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam..,” mama menjawab dan membukakan pintu untukku.
Hmm, tumben sekali mama yang keluar sendiri, biasanya pembantuku yang melakukannya. Ahh, mungkin dia kangen aku. Hihihiii.
Setelah salaman dengan mama, aku pun membongkar barang-barang bawaan. Kukeluarkan oleh-oleh untuk mama. Makanan-makanan enak itu pun segera muncul dari persembunyiannya. Ditambah, sepatu karet merek terkenal, tapi edisi KW entah, yang aku beli di Gede Bage. Gudangnya barang murah di Bandung. Mama terlihat senang. Syukurlah.
Mulai pukul 9 nanti aku akan melakukan negosiasi dengan beberapa radio. Sekarang pukul 6. Rasanya cukup waktu untuk tidur sampai pukul 8. Hoaaahm. Bagaimanapun juga, tidur di perjalanan itu tak pernah cukup. Mari melempar diri ke springbed kebanggaan di kamar kesayangan! Yihaaa..
***
Fiuuuuuhhh!!! Aku menghela nafas kuat-kuat. Akhirnya selesai juga perjuangan radio hari ini. Masih ada beberapa yang harus di-follow up, dan beberapa radio tadi cukup membuat emosi negatif muncul. Tapi secara garis besar, hari ini cukup sukses. Sudahlah, malas aku membahas pekerjaan. Sekarang marilah kita membuka laptop, menulis laporan untuk kantor sembari menunggu Rudi datang ke café yang super cozy ini.
Pukul 17.05. Terlihat Rudi berjalan memasuki café. Segera ia menghampiriku dan aku menyambutnya dengan pelukan. Aaahh kangennya aku padanya. Sepertinya dia juga. Kami pun langsung berbincang seru.
Obrolan kami terjeda maghrib. Aku buru-buru mengambil waktu untuk sholat dan ingin cepat kembali dalam obrolan yang tak habis-habis dengan Rudi. Sementara Rudi? Jangan ditanyalah, ahahahaaa. Dia menungguku sembari menikmati cokelat dingin pesanannya.
***
Pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Aku dan Rudi kompak merasa lapar, dan ia mengajakku makan di Sate Klathak. Tentu saja aku mau. Seumur hidupku di Jogja, aku belum pernah ke sana. Payah sekali aku ini. Kurang gaul sepertinya.
Kami berboncengan ke Jl. Imogiri, dan sampai di sana pukul delapan. Kami langsung memesan menu andalan, Sate Klathak dan teh tubruk gula batu. Oh, plus 1 tongseng balungan untuk dimakan bersama. Kami pun makan dengan lahap. Tak bersisa.
Sembari menikmati teh panas setelah makan, Rudi membuka obrolan serius denganku. Aku sudah tak enak melihat raut wajahnya. Mendadak jantungku berdegup kencang, firasat buruk menyerang. Lalu dia pun mengeluarkan kalimat pertamanya.
“Ras, kamu pikir selama bertahun-tahun ini aku sendiri aja kan? Aku punya pacar, Ras, sejak 1,5 tahun lalu.”
Aku langsung menyahut, “Waaaahh,, kok nggak cerita-cerita sihh.. Udah lama gituuu.. Siapa? Siapa??”
Aku menyambut berita itu dengan ceria. Namun aku sendiri tak yakin, kalau hanya untuk memberitahukan bahwa dia sudah berpacar, mengapa raut wajahnya harus seserius itu, dan berbicara dengan sangat hati-hati.
Lalu Rudi mengeluarkan handphone, dan membuka-buka folder di dalamnya. Kemudian disodorkannya padaku, sembari berkata, “Ini pacarku.”
Seketika aku terdiam. Senyum ceria langsung hilang dari bibirku. Aku membisu. Mataku menatap lekat pria yang ada di layar handphone itu. Perlahan aku mengangkat wajah, menatap mata Rudi.
“Iya, Ras.”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Aku masih belum bisa berkata-kata. Sungguh, ini sama sekali bukan berita yang aku harapkan ketika aku pulang ke Jogja dengan hati berbunga-bunga.
Aku tergugu. Terdiam kaku. Dada ini rasanya seperti dipukul-pukul dengan palu.
***
Aku mengempaskan diri di kasur. Menerawang. Aku bekerja di Bandung baru 1 tahun. Artinya, Rudi sudah mulai berpacaran dengan pria itu sejak aku masih di Jogja. Bagaimana bisa aku tidak tahu?? Yahh, oke, mungkin detik-detik terakhirku memang disibukkan dengan produksi teater. Banting tulang sebagai marketing. Tapi apa iya sampai tak sempat mendengarkan ceritanya??
Setelah pengakuan Rudi tadi, aku sama sekali tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya berdiri, membayar semua yang kami makan, lalu berjalan menuju motor. Rudi pun membisu, mengantarkanku sampai rumah. Berbasa-basi sebentar dengan mama, dan buru-buru pulang. Tak ada ritual berpelukan. Aku sungguh ingin cepat meletakkan diri di tempat yang nyaman. Untuk berpikir.
~ Waktu hujan turun, di sudut gelap mataku..
Begitu derasnya, kan kucoba bertahan.. ~
(Hujan Turun – Sheila on 7)
[almaskaramina 11052011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H