Iran merupakan negara yang berada di wilayah Timur Tengah di sekitar Asia Barat Daya. Negara ini juga dikenal dengan sebutan Persia oleh orang-orang Barat setidaknya hingga pertengahan abad ke-20. Semenjak kekuasaan Iran diambil alih oleh Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini pada tahun 1979, Khomenei membentuk pemerintahan sementara.
Tak lama setelah itu, Khomenei mengadakan voting untuk membentuk sebuah Republik Islam. Dari hasil pemungutan suara tersebut, sekitar lebih dari 98% rakyat Iran menyetujui pembentukan sistem negara ini. Sistem pemerintahan baru negara ini pada akhirnya dibentuk dan konstitusinya pun juga dibuat oleh pemerintahan yang baru.
Pada artikel ini, penulis akan berfokus pada kebijakan pertahanan yang telah tertuang pada konstitusi negara Iran ini. Untuk kebijakan pertahanan dari negara ini berada pada Bab IX bagian ketiga di dalam Konstitusi Republik Islam Iran dan berjumlah 9 pasal, tepatnya dimulai dari Pasal 143 sampai dengan Pasal 151.
Dari pasal-pasal tersebut menyangkut beberapa hal mengenai pertahanan militer, kewajiban yang harus dilakukan oleh bagian dari pertahanan negara, tanggung jawab yang akan diemban oleh para tentara untuk negara, larangan-larangan pada sektor pertahanan, dan masih banyak lagi. Adapun bunyi dari pasal-pasal itu adalah sebagai berikut.
Pasal 143
Tentara Republik Islam Iran bertanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan dan integritas wilayah wilayah negara, serta ketertiban Republik Islam.
Pasal 144
Tentara Republik Islam Iran harus menjadi Tentara Islam, yaitu berkomitmen untuk ideologi Islam dan Rakyat, dan harus merekrut orang-orang yang memiliki keyakinan pada tujuan Revolusi Islam dan mengabdikan diri untuk mewujudkannya.
Pasal 145
Tidak ada orang asing yang akan diterima menjadi tentara atau pasukan keamanan negara.
Pasal 146
Pendirian segala jenis pangkalan militer asing di Iran, bahkan untuk tujuan damai, dilarang.
Pasal 147
Dalam masa damai, pemerintah harus mendayagunakan personel dan peralatan teknis Angkatan Darat dalam operasi bantuan, dan untuk tujuan pendidikan dan produktif, dan Jihad Konstruksi, dengan tetap memperhatikan kriteria keadilan Islam dan memastikan bahwa pemanfaatan tersebut tidak membahayakan kesiapan tempur tentara.
Pasal 148
Segala bentuk penggunaan pribadi senjata militer, peralatan, dan sarana lain, serta mengambil keuntungan dari personel Angkatan Darat sebagai pelayan pribadi dan sopir atau dalam kapasitas yang sama, dilarang.
Pasal 149
Promosi pangkat militer dan penarikan mereka dilakukan sesuai dengan hukum.
Pasal 150
Korps Pengawal Revolusi Islam, yang diorganisir pada masa-masa awal kejayaan Revolusi, harus dipertahankan agar dapat melanjutkan perannya mengawal Revolusi dan pencapaiannya. Ruang lingkup tugas Korps ini, dan bidang tanggung jawabnya, dalam kaitannya dengan tugas dan bidang tanggung jawab angkatan bersenjata lainnya, harus ditentukan dengan undang-undang, dengan penekanan pada kerja sama persaudaraan dan kerukunan di antara mereka.
Pasal 151
Sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang mulia:
“(Bersiaplah melawan mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak ketahui, tetapi Allah mengetahuinya. [8:60])”
pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan program pelatihan militer, dengan fasilitas yang diperlukan untuk semua warganya, sesuai dengan kriteria Islam, dan sedemikian rupa, sehingga semua warga negara akan selalu dapat terlibat dalam pertahanan bersenjata Republik Islam Iran. Kepemilikan senjata bagaimanapun, membutuhkan pemberian izin oleh otoritas yang berwenang.
Dari isi-isi pada pasal di atas, pasal-pasal yang ada negara Iran ini bisa dikatakan cenderung merujuk pada nilai-nilai Islam dan juga cukup sistematis dari segi pertahanan dan keamanannya, walau isi pasal-pasal yang ada di dalamnya cukup ringkas dan tidak rumit.
Pada 3 Januari 2020, Amerika Serikat telah melancarkan serangan udara ke wilayah Irak, tepatnya pada kawasan Bandara Internasional Baghdad, Irak. Adapun tujuan dari serangan tersebut adalah untuk membunuh Jenderal Tertinggi Iran, yakni Qasem Soleimani dan dua pemimpin milisi Iran, yakni Hashed Al Shaabi dan Abu Mahdi Al Muhandis.
Berdasarkan lansiran CNN, para presiden Amerika Serikat yang sebelumnya mensinyalir bahwa serangan ini adalah tindakan yang provokatif. Pembunuhan Jenderal Soleimani ini dijadikan sebagai alasan Amerika Serikat untuk mencegah serangan dari Iran terhadap mereka untuk masa yang akan datang.
Dan pada 17 Januari 2020, Pemimpin Agung Republik Islam Iran, yakni Ayatullah Sayyid Ali Khamenei mengisi khotbah sholat Jumat di ibu kota Iran, Teheran. Biasanya, pemimpin tertinggi Iran akan menjadi pembicara dalam sholat Jumat jika sedang berada pada posisi atau kondisi politik yang sensitif atau ada suatu krisis baik di internal maupun eksternal negara. Pada saat menjadi khotib sholat Jumat itulah, Ali Khamenei menyatakan sikap dan juga mengeluarkan kebijakan untuk masa depan negaranya.
Hal ini dilakukan karena peristiwa sosial dan politik yang dialami dua bulan terakhir pada saat itu, seperti protes kenaikan harga bensin dan juga pasca pembunuhan Jenderal Soleimani oleh Amerika Serikat sudah menjadikan Iran berada dalam posisi yang sangatlah kritis, baik di internal maupun eksternal Iran.
Adapun hal utama yang dibahas oleh Ali Khamenei dalam khotbahnya adalah kebijakan luar negerinya, di mana kebijakannya menekankan, “tidak ada perang, tidak ada negosiasi” dengan Amerika Serikat. Hal ini dapat diartikan bahwasannya pemimpin tertinggi Iran tersebut menyerukan perlawanan kepada Amerika Serikat.
Ini bukan hanya sekedar seruan belaka, justru seruan dari Khamenei telah mendapatkan dukungan dari jutaan rakyat Iran di wilayah kota yang berbeda setelah melihat prosesi pemakaman Jenderal Soleimani dan dari sini telah terlihat bahwa rakyat Iran geram atas apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat kepada salah satu orang terbaik di negaranya.
Dari kebijakan yang telah diserukan oleh Khamenei, dapat dikaitkan dengan salah satu pasal yang ada pada Bab IX Bagian Ketiga, tepatnya pada Pasal 151. Pada pasal tersebut berisikan mengenai seruan perlawanan, yang merujuk pada surat ke-8 di dalam Al-Qur’an, yakni Surat Al-Anfal ayat ke-60.
Pada ayat surat itu disebutkan bahwa perlu menyiapkan segala kekuatan untuk menghadapi musuh Allah dengan pasukan berkuda (kekuatan militer yang memadai) hingga dapat menggentarkan musuh-musuh yang ingin menyerang.
Musuh yang dimaksud pada kasus atau konflik kali ini adalah Amerika Serikat, di mana dengan adanya kebijakan “tidak ada perang, tidak ada negosiasi” yang telah dikeluarkan oleh Pemimpin Agung Iran ini, maka setiap elemen yang ada di dalam Republik Islam Iran akan bersiap untuk menghadapi Amerika Serikat dengan segenap kekuatan yang dimiliki oleh mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H