“(Bersiaplah melawan mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak ketahui, tetapi Allah mengetahuinya. [8:60])”
pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan program pelatihan militer, dengan fasilitas yang diperlukan untuk semua warganya, sesuai dengan kriteria Islam, dan sedemikian rupa, sehingga semua warga negara akan selalu dapat terlibat dalam pertahanan bersenjata Republik Islam Iran. Kepemilikan senjata bagaimanapun, membutuhkan pemberian izin oleh otoritas yang berwenang.
Dari isi-isi pada pasal di atas, pasal-pasal yang ada negara Iran ini bisa dikatakan cenderung merujuk pada nilai-nilai Islam dan juga cukup sistematis dari segi pertahanan dan keamanannya, walau isi pasal-pasal yang ada di dalamnya cukup ringkas dan tidak rumit.
Pada 3 Januari 2020, Amerika Serikat telah melancarkan serangan udara ke wilayah Irak, tepatnya pada kawasan Bandara Internasional Baghdad, Irak. Adapun tujuan dari serangan tersebut adalah untuk membunuh Jenderal Tertinggi Iran, yakni Qasem Soleimani dan dua pemimpin milisi Iran, yakni Hashed Al Shaabi dan Abu Mahdi Al Muhandis.
Berdasarkan lansiran CNN, para presiden Amerika Serikat yang sebelumnya mensinyalir bahwa serangan ini adalah tindakan yang provokatif. Pembunuhan Jenderal Soleimani ini dijadikan sebagai alasan Amerika Serikat untuk mencegah serangan dari Iran terhadap mereka untuk masa yang akan datang.
Dan pada 17 Januari 2020, Pemimpin Agung Republik Islam Iran, yakni Ayatullah Sayyid Ali Khamenei mengisi khotbah sholat Jumat di ibu kota Iran, Teheran. Biasanya, pemimpin tertinggi Iran akan menjadi pembicara dalam sholat Jumat jika sedang berada pada posisi atau kondisi politik yang sensitif atau ada suatu krisis baik di internal maupun eksternal negara. Pada saat menjadi khotib sholat Jumat itulah, Ali Khamenei menyatakan sikap dan juga mengeluarkan kebijakan untuk masa depan negaranya.
Hal ini dilakukan karena peristiwa sosial dan politik yang dialami dua bulan terakhir pada saat itu, seperti protes kenaikan harga bensin dan juga pasca pembunuhan Jenderal Soleimani oleh Amerika Serikat sudah menjadikan Iran berada dalam posisi yang sangatlah kritis, baik di internal maupun eksternal Iran.
Adapun hal utama yang dibahas oleh Ali Khamenei dalam khotbahnya adalah kebijakan luar negerinya, di mana kebijakannya menekankan, “tidak ada perang, tidak ada negosiasi” dengan Amerika Serikat. Hal ini dapat diartikan bahwasannya pemimpin tertinggi Iran tersebut menyerukan perlawanan kepada Amerika Serikat.
Ini bukan hanya sekedar seruan belaka, justru seruan dari Khamenei telah mendapatkan dukungan dari jutaan rakyat Iran di wilayah kota yang berbeda setelah melihat prosesi pemakaman Jenderal Soleimani dan dari sini telah terlihat bahwa rakyat Iran geram atas apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat kepada salah satu orang terbaik di negaranya.
Dari kebijakan yang telah diserukan oleh Khamenei, dapat dikaitkan dengan salah satu pasal yang ada pada Bab IX Bagian Ketiga, tepatnya pada Pasal 151. Pada pasal tersebut berisikan mengenai seruan perlawanan, yang merujuk pada surat ke-8 di dalam Al-Qur’an, yakni Surat Al-Anfal ayat ke-60.
Pada ayat surat itu disebutkan bahwa perlu menyiapkan segala kekuatan untuk menghadapi musuh Allah dengan pasukan berkuda (kekuatan militer yang memadai) hingga dapat menggentarkan musuh-musuh yang ingin menyerang.