Akupun masih berdiri di tempatku, di belakang papahku, aku masih tidak percaya, Vano masih mengingat betul alamat rumahku.
"Haura... Ini Vano, apakah kamu tidak rindu padanya, kemarilah..." Panggil papa ku dengan semangat dan membuatku hampir terkena serangan jantung
Akupun menghampiri papah ku, dan mendekati Vano, dia tersenyum kepadaku, dan aku mengalihkan pandanganku, bukan karena aku membencinya, tapi rasa rindu ini yang membuat aku selalu menangis jika melihat mata itu, ingin rasanya aku menghambur kepelukannya, memeluknya yang lama, aku ingin marah kepadanya karena dia telah membuat aku hampir kehilangan semangat hidup, aku ingin bercerita kepadanya, sesakit apa aku menahan rindu, tapi yang aku bisa lakukan hanya diam, dan akhirnya suara mamahpunĀ
Memecah keheningan.
"Ehh ayo masuk, masa tamu ganteng gini cuma di depan pintu" celetuk mamah
"Iya ayo masuk nak Vano" lanjut papahku
"Iya Om Tante, gimana Vano mau masuk kalau Haura nutupin jalan Vani untuk masuk rumah" celetuknya dengan senyum jail khasnya
Oohh Tuhan, kenapa dia masih serese itu.
"Ohh yauda tuh jalan" jawabku sedikit sinis, karena kesal juga dia sudah berani-beraninya bercanda, sedangkan aku masih ingin menangis karena masih tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi, huft ternyata kamu benar-benar masih Vano yang dulu.
Ā
Kami pun duduk di ruang tamu bersama-sama, dan papah pun mulai banyak tanya kepadanya, mengapa ia pergi tanpa berpamitan, sepertinya pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Vano ludes di borong oleh papah, seakan papah tau isi kepalaku.