Mohon tunggu...
Alma Tiara
Alma Tiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

ia tertarik untuk belajar menulis sastra dengan merangkai kata dan diksi sebagai luapan emosi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berpulang atau Berpisah

11 Mei 2023   09:29 Diperbarui: 11 Mei 2023   09:47 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Inginku hapus kabut yang luruh di wajahmu.

Sampai tak tersisa kembang bermekaran.

Sampai berpulang  burung pengembara.

 

Hanya waktu yang mampu mengerti, betapa berat perpisahan ini. Semoga cerita ini menjadi kenangan indah nanti.

Rasa janggal masih menghantui pikiranku, meski gadis mungil pemberi rasa sudah lupa akan hal itu. Aku tak bisa membunuh rasa itu, sebab rasa itu abadi. Kini Aku memilih memaksa rasa untuk tinggal lalu kujadikan mimpi di jalan kota ini, dan suatu saat akan kujemput bersama pemberi rasa.

Lampu jalan dan pantulan sinar lampu kendaran yang berlalu lalang menambah pemandangan malam ini.  Jalanan kota tampak cukup padat. Hampir satu jam Aku menggenggam  dan mengegas stang motor bangian kanan  sepeda motorku tanpa tenaga. "Din, kok, enggak nyampe-nyampe?" jauh banget tempatnya?" mungkin itu protes dari Bily, nama sepeda motor kesayanganku kalau dia bisa bicara.

Saat kendaraan bernyanyi dengan merdu di tengah hujan, di bibir jalan  segerombolan anak berdendang dengan keras. Berdendang menawarkan payung untuk di sewakan kepada pembeli yang usai  makan di warung yang berplang Sate Uda Abas. Tiba-tiba Aku melontarkan senyuman, walau anak-anak itu tak menyadarinya.Aku tak tahu rasanya tersenyum tanpa alasan, sebelum Aku bertemu dengan mereka.Pikirku tak ada anak nakal, hanya ada lingkungan yang buruk, pelatihan yang buruk, pemikiran yang buruk dan contoh yang buruk.Dan mereka bukanlah contoh yang buruk.

Aku kembali bertatapan dengan  Bily, motor kesayangku. Cukup panjang, amat panjang sebelum akhirnya Aku menganggukkan standar motorku ke aspal jalan, untuk kuistirahatkan. Badanku masih tak bertenaga saat ini, Aku memilih untuk memandang Bily sambil minum segelas thai tea rasa greentea dari teras kedai thai tea langgananku yang berada di seberang jalan warung Sate Uda Abas. Kedai yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah Aru.Aku menatap Bily yang tercogok lemah dengan body yang sudah basah kuyup.Kami saling tatap dalam diam. Lama sekali.

Sampai akhirnya Aku mengalihkan pandangan ke seberang jalan sana. Kulihat ada perempuan cantik duduk sendirian di kursi kayu panjang.Tampak perempuan itu mengernyit dan mulut mengerut seperti ikatan balon.Perasaanku tak bisa kusimpulkan.Apakah ini perasaan sedih, binggung atau kesal?Aku tak tahu pasti.Entah mengapa, saat Aku melihat wajahnya yang mungil tanpa polesan itu.Aku seperti melihat wajah Ayu lagi.

***

Suara mendadak hening, yang terdengar hanya suara kipas angin.Kini mereka benar-benar memerhatikan Ayu.Kini mereka benar-benar mendengarkan.Mata mereka menatap kesatu tujuan.Mata-mata itu bagai lampu suar yang menyorot ke satu tujuan, seusai Ayu mengatakan "Diam bubar kalian semua". Aku tahu, Ayu hanya butuh sendiri dan terlabih tak butuh pertanyaan seperti ini:

"Mama udah datang, sayang?"

"Mama udah di kabari?"

"Mama mana?"

"Mana?"

Aku mengusap-ngusap punggung Ayu berusaha bisa membaca pikirannya.Kini Ayu dan Aku sama-sama bertatapan.Ayu berusaha sebisa mungkin menyembunyikan genangan air matanya yang sudah hampir tumpah, tapi Aku mengetahuinya.Sontak Ayu masuk ke dalam kamar tidurnya, pandanganku terus mengikuti Ayu sampai ke daun pintu kamarnya. Aku menikmati pemandangan langka ini dengan duduk bersila di karpet berbulu sapi yang ada di depan ruang TV rumah alm. Bambang Supardi, Papa Ayu.

45 menit lalu, saat gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Saat kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka.Saat rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan.Kehidupan mendadak menyerupai kematian. Aku tak tahu dengan cara apa Papa Ayu pergi. Tidak ada adegan melambaikan tangan.Tak ada adegan cium tangan.Tak ada adegan berjalan keluar pintu.Tak ada adengan apapun kecuali Papa Ayu sudah tidak ada.

Beberapa menit usai menikmati keheningan itu, akhirnya Aku

Kembali membaca surah Yassin yang kugenggam sedari tadi. Saat Aku memasukin ayat terakhir dari surah itu, ibu separu baya menyambutku dengan sebuah rangkulan dan terdengar...

            "Nak, mana Mama?" Tanya ibu itu.

Oh... tidak, batinku. "Pertanyaan apa ini" protesku dalam hati.

Aku duduk terpaku. Ada apa semua ini? Kenapa semua terlalu rumit untuk diterima? Aku mencoba memahami apa yang baru saja kudengar.

"Maaf, saya ke toilet sebentar. Permisi," kataku lalu berjalan cepat menuju toilet.

Semakin kuberjalan mendekat, semakin bisa Aku merasakan  perasaan Ayu saat itu. Aku tahu pertanyaan yang baru  kuterima itu berlabu ke orang yang salah. Aku menyatukan kedua telapak tenganku dan kutempelkan ke ujung bibirku, berharap mereka mengerti saat situasi seperti ini.Pertanyaan itu bukan menjadi pilihan untuk dipertanyakan.Iya, hidup adalah pilihan, pikirku.Dan sekarang Ayu memilih, untuk tidak menerima pertanyaan itu saat ini.

Mereka tak perlu memahami alasan di balik pilihan Ayu.Pergi ataupun ditinggalkan Ayu sudah ikhlas menerimanya.Aku tak pernah tahu jika yang lebih menyakitkan bukan menghadapi kematian melainkan menghadapi kehidupan.Kenyataan menjadi lebih sulit untuk diterima nalar.

Entah sudah berapa lama Aku berdiam di depan cermin toilet rumah ini. Aku pandangi tatapan wajah yang tak bisa kudeskripsikan itu, lalu berusaha untuk menghindari tatapanya. Padangan yang ada di depanku, menuntun ingatanku kembali sepuluh tahun lalu  saat usiaku tigabelas, saat Aku dan Ayu belum bertemu, dan belum menjadi sahabat seperti sekarang.  Hari itu saudaraku menceritakan samar-samar tentang keberadaan Ibu.Ibu bak rabai ditelan bumi.

Ada yang bilang masih sendiri. Ada yang bilang ia menikah lagi. Aku tak peduli.Aku masih menganggap itu pilihan terbodoh yang pernah mereka lakukan.Kuterangi mata yang sering menerangi langkahku dengan air mengalir dari wasstafel toilet itu.Aku kembali menatap cermin yang ada dihadapanku, berusaha menenangkan diri, berusaha menerima dan berusaha mengenal situasi baru ini.Tidak ada gunanya lagi aku menyesalin keputusan mereka dan tak ada gunanya lagi Ayu membenci pertanyaan itu, pikirku.

Aku saat ini tak bisa mengubah situasi, tetapi saat inilah Aku ditantang untuk merubah diri sendiri.Diri ini tak berubah dengan waktu, lantas berubah oleh pilihan.Aku selalu diberi pilihan oleh-Nya.Saat ini Aku memilih membiarkan perasaan itu tetap terpendam di hati.Atau suatu saat Aku menyatakan perasaan ini kepada seseorang yang membuatku jatuh hati.

Bersama rintik hujan dan segelas thai tea yang berada di genggaman tangan kananku. Aku memandangi gadis diseberang itu untuk kesekian kalinya dengan helaan napas panjang.Tiba-tiba dari belakang punggungku terdengar cukup keras dan cukup jelas untuk membuyarkan pandangan dan lamunanku.

" kamu kenapa?"

"..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun