Suara mendadak hening, yang terdengar hanya suara kipas angin.Kini mereka benar-benar memerhatikan Ayu.Kini mereka benar-benar mendengarkan.Mata mereka menatap kesatu tujuan.Mata-mata itu bagai lampu suar yang menyorot ke satu tujuan, seusai Ayu mengatakan "Diam bubar kalian semua". Aku tahu, Ayu hanya butuh sendiri dan terlabih tak butuh pertanyaan seperti ini:
"Mama udah datang, sayang?"
"Mama udah di kabari?"
"Mama mana?"
"Mana?"
Aku mengusap-ngusap punggung Ayu berusaha bisa membaca pikirannya.Kini Ayu dan Aku sama-sama bertatapan.Ayu berusaha sebisa mungkin menyembunyikan genangan air matanya yang sudah hampir tumpah, tapi Aku mengetahuinya.Sontak Ayu masuk ke dalam kamar tidurnya, pandanganku terus mengikuti Ayu sampai ke daun pintu kamarnya. Aku menikmati pemandangan langka ini dengan duduk bersila di karpet berbulu sapi yang ada di depan ruang TV rumah alm. Bambang Supardi, Papa Ayu.
45 menit lalu, saat gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Saat kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka.Saat rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan.Kehidupan mendadak menyerupai kematian. Aku tak tahu dengan cara apa Papa Ayu pergi. Tidak ada adegan melambaikan tangan.Tak ada adegan cium tangan.Tak ada adegan berjalan keluar pintu.Tak ada adengan apapun kecuali Papa Ayu sudah tidak ada.
Beberapa menit usai menikmati keheningan itu, akhirnya Aku
Kembali membaca surah Yassin yang kugenggam sedari tadi. Saat Aku memasukin ayat terakhir dari surah itu, ibu separu baya menyambutku dengan sebuah rangkulan dan terdengar...
      "Nak, mana Mama?" Tanya ibu itu.
Oh... tidak, batinku. "Pertanyaan apa ini" protesku dalam hati.