Mohon tunggu...
Allysha Della Agustina
Allysha Della Agustina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Konflik dan Solusi Terkait Permasalahan Muslim Minoritas Ahmadiyah di Indonesia

14 Juli 2024   23:19 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : The New York Times (Pinterest) 

Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keberagaman, baik itu budaya, suku, ras maupun agama. Keberagaman ini menjadi ciri khas dan kekayaan bangsa Indonesia. Meskipun memiliki agama yang beragam, hanya ada enam agama yang diakui di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Di Indonesia, banyak ragam paham keislaman, baik yang dipengaruhi oleh ideologi, pemahaman terhadap fiqih, penafsiran al-qur'an dan hadist, perbedaan madzhab, tokoh-tokoh pelajar atau ilmuan yang belajar di luar negeri dan membawa paham agamanya masuk ke Indonesia, maupun bentuk manhaj atau paham agama yang lain. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya berbagai ormas Islam yang memiliki paham agama yang berbeda. Setiap ormas merujuk pada sumber yang sama, yakni al-qur'an dan hadist, namun cara menafsirkannya berbeda-beda, dimana penafsiran atau pemahaman tersebut menyebabkan perbedaan dalam melakukan beberapa praktik keagamaan setiap ormas.

Konflik dan isu kekerasan terkait agama terbilang sering terjadi di Indonesia, salah satunya yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, seperti turunnya fatwa MUI dan SKB tiga mentri yang menyatakan bahwa ajaran ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Fatwa MUI tersebut dianggap sakral dan menjadi sebuah kebenaran, sehingga mengubah pola pikir atau perspektif dan perilaku masyarakat terhadap jemaat Ahmadiyyah. Pada akhirnya, jemaat Ahmadiyyah mengalami tindakan diskriminasi dan cenderung diasingkan di lingkungan masyarakat. Tulisan ini akan membahas beberapa konflik dan isu terkait jemat Ahmadiyah di Indonesia, serta solusi dan sikap masyarakat yang mungkin seharusnya diambil dalam konflik tersebut. 

Mengenal Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India, pada akhir abad ke-19. Mirza Ghulam Ahmad mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi dan Mesias yang dijanjikan dalam Islam. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 dan berkembang melalui dakwah serta aktivitas keagamaan. Ahmadiyah di Indonesia terdiri dari Jamaah Muslim Ahmadiyah dan Gerakan Ahmadiyah Lahore. Jamaah Muslim Ahmadiyah di Indonesia dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan Gerakan Ahmadiyah Lahore dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Jamaah Muslim Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 dan Gerakan Ahmadiyah Lahore pada tahun 1924. Kedua organisasi tersebut resmi berdiri di Indonesia dan berbadan hukum.

Sejarah Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia dimulai pada tahun 1925, pada masa penjajahan Belanda di kepulauan Indonesia, kurang lebih dua dekade sebelum Revolusi Indonesia. Namun, kontak dengan orang-orang Indonesia dan Muslim Ahmadi di India dimulai beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 1922, untuk melanjutkan studi agamanya, tiga santri Indonesia, Abubakar bin Oejoep, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan, berencana untuk melakukan perjalanan ke lembaga-lembaga Islam di Mesir, namun guru mereka menyarankan mereka untuk melakukan perjalanan ke India, yang menurut mereka semakin menjadi pusat pemikiran Islam.

Selain itu, pada bulan Oktober 1920, Khwaja Kamal-ud-Din, pemimpin kelompok sempalan Gerakan Ahmadiyah Lahore melakukan tur ke Asia Tenggara di mana ia berhasil berhasil mendapatkan kepercayaan di antara beberapa Muslim Indonesia. Ketiga santri tersebut memutuskan untuk berbaiat di tangan Khalifah Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad dan memilih untuk melanjutkan studi mereka di Qadian. Atas undangan, 23 santri lainnya dari Pesantren Sumatera Thawalib, tiba di Qadian untuk melanjutkan studi Islam dan setelah mempelajari ajaran Ahmadiyah, mereka juga masuk ke gerakan Ahmadiyah.

Pada tahun 1924, khalifah melakukan tur ke Timur Tengah dan Eropa. Mengetahui hal ini, sejumlah santri Indonesia, ketika masih belajar di Qadian, menginginkan agar khalifah mereka juga mengunjungi Timur, khususnya kepulauan Indonesia. Khalifah, meyakinkan mereka bahwa dia sendiri tidak akan dapat mengunjungi Indonesia tetapi akan segera mengirim perwakilan ke wilayah tersebut. Pada tahun 1925, di bawah arahan khalifah, Rahmat Ali, seorang misionaris gerakan Ahmadiyah tiba di Tapaktuan, Aceh, provinsi utara Pulau Sumatera. Hal ini merupakan awal mula perkembangan Ahmadiyyah di Indonesia.

 Ahmadiyyah memiliki kepercayaan bahwa adanya nabi baru setelah nabi Muhammad SAW, cara mereka menafsirkan istilah "khataman nabiyyin" berbeda dengan penafsiran yang biasa dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim di Indonesia, khususnya ahlusunnah waljama'ah. Ahmadiyyah mempercayai bahwa nabi Isa telah wafat, dan Imam Mahdi telah datang, yaitu dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yang disebabkan oleh perdebatan internal dalam memahami ajaran-ajaran Mirza Gulam Ahmad dan klaim tentang kenabian baru. Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadian (yang kemudian menjadi JAI) dan Ahmadiyah Lahore (yang kemudian menjadi GAI), perpecahan terjadi ketika pemilihan khalifah Ahmadiyah ke dua Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad pada tahun 1914.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), berkembang di beberapa daerah di Jawa Barat, khususnya Bogor dan Sukabumi, di Jawa Tengah dan Timur, seperti Solo, Yogyakarta dan Surabaya, serta beberapa daerah di Sumatra, terutama Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Pada tahun 1928, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) mulai didirikan di Yogyakarta oleh para anggota yang lebih condong kepada paham Ahmadiyah Lahore. Pendiri utama GAI di Indonesia adalah R. Muhammad Ali. Seiring berjalannya waktu, GAI mulai berkembang, terutama di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.  

Ada sedikit perbedaan dalam keyakinan antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). JAI mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang diutus oleh Allah untuk memperbaharui ajaran Islam dan membawa wahyu baru, meskipun mereka tetap menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang membawa syariat. Berbeda dengan JAI, GAI menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) dan bukan nabi. Mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus untuk memperbaharui dan memperbaiki ajaran Islam, tetapi tidak membawa wahyu baru dan tidak menambah kenabian setelah Nabi Muhammad. Perbedaan keyakinn ini, berpengaruh terhadap pandangan dan prilaku masyarakat terhadap masing-masing golongan Ahmadiyah.

Konflik dan Isu Kekerasan yang Dialami Ahmadiyyah

Mungkin kita sudah banyak mendengar konflik dan isu kekerasan terhadap kaum minoritas. Konflik dan isu kekerasan terhadap kaum minoritas  merupakan masalah yang kompleks dan berlarut-larut, melibatkan berbagai kelompok minoritas yang berbeda, baik dari segi agama, etnis, maupun orientasi seksual. Di indonesia sendiri, Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait tindakan deskriminasi ras dan etnik sepanjang tahun 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada tahun 2016. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus tersebut juga jarang terselesaikan dengan baik.

Salah satu contoh kasus deskriminasi adalah yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Kasus-kasus yang dialami oleh Ahmadiyah disebabkan oleh beberapa faktor, contohnya seperti adanya dugaan bahwa ajaran Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Hal ini memicu ketegangan dan intoleransi diantara masyarakat. Adanya dorongan dari kelompok-kelompok tertentu yang menolak keberadaan Ahmadiyah sebagai bagian dari komunitas Muslim di Indonesia juga menjadi penyebab konflik tersebut semakin berlarut-larut. Ditambah lagi, fatwa yang dikeluarkan MUI tentang ahmadiyah adalah ajaran yang sesat dan keluarnya SKB tiga menteri yang memerintahkan Ahmadiyah untuk hentikan kegiatan semakin membuat buruk pandangan masyarakat terhadap jemaat Ahmadiyah.

Ahmadiyah pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1925 di Tapaktuan. Kemudian menyebar ke Sumatera Barat pada tahun 1926, tepatnya di Padang, lalu ke Solok dan wilayah lainnya di Sumatera Barat. Aliran Ahmadiyah yang berkembang di Padang adalah Ahmadiyah Qadian atau JAI. Awal perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Ahmadiyah terjadi sekitar tahun 1935 sampai 1943. Ahmadiyah dibilang aliran yang sesat, anggota yang terdapat didalam komunitas tersebut dilempari batu, ternaknya dicuri hingga ada yang dibunuh. Ahmadiyah kembali mendapat pertentangan dengan adanya putusan MUI pada tahun 2005 yang mengatakan bahwa barang siapa yang mengikuti Ahmadiyah berarti sesat. Pada tahun 2008, masyarakat minta walikota Padang untuk menutup seluruh kegiatan Ahmadiyah. Seolah mendukung putusan MUI, tahun 2011, Gubernur Sumatra Barat membuat peraturan dengan melarang seluruh kegiatan yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah.

Jemaat Ahmadiyah yang ada di Padang cenderung diam dalam merespon tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan masyarakat disekitarnya. Mereka tidak membalas kekerasan tersebut, namun melakukan perlawanan secara diam- diam. Jemaat Ahmadiyah lebih memilih bertahan untuk mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat yang menentangnya. Perlawanan yang dilakukan seperti, tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang mempererat hubungan sesama anggota, melakukan dakwah dengan penayangan TV melalui MTA (Muslim Televission Ahmadiyah) dan mereka melakukan penyebaran ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menulis buku dan majalah.

Kasus yang sama juga dialami oleh jemaat Ahmadiyah yang ada di Surabaya dan Lombok. Sama seperti di Padang, aliran Ahmadiyah yang berkembang di dua daerah tersebut adalah aliran Ahmadiyah Qadian (JAI), yang menganggap bahwa Mirza Ghulam adalah nabi. Di Surabaya sendiri pernah beberapa kali terjadi demo ke Masjid An-Nur yang merupakan pusat Ahmadiyah di Surabaya. Akibatnya, papan nama masjid dan papan nama bertuliskan Jamaah Ahmadiyah dilepas yang semula ada di di Jalan Baliwerti Surabaya. Tidak hanya itu, aktivitas dakwah merekapun terhambat dan bahkan  beberapa aktivitas mereka vakum karena adanya fatwa NU dan Pergub Jawa Timur Tahun 2011.

Jemaat Ahmadiyah di Lombok lebih memprihatinkan lagi jika dibandingkan dengan Jamaat Ahmadiyah Surabaya. Jemaat Ahmadiyah yang terletak di Desa Gegerung kecamatan Lombok Barat NTB diusir dari kampung halaman mereka. Setelah mengungsi di Asrama Transito Mataram, mereka tidak dapat melakukan aktivitas sebagaimana warga negara lain. Sebut saja hak sipil mereka, seperti hak catatan sipil terhadap anak-anak mereka yang baru lahir tidak dengan mudah diberikan. Dengan berbagai alasan, pemerintah Lombok Barat sebagai daerah asal mereka sebelum di usir, dan pemerintah Kota Mataram sebagai tempat mereka mengungsi saling tuding mengenai catatan kependudukan dan cartatan sipil warga Jamaat Ahmadiyah. Kekerasan lain yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Lombok ialah tidak adanya jaminan keamanan dari pihak kepolisian jika mereka kembali ke rumah mereka di Desa Gegerung Kecamatan Lombok Barat NTB. Kejadian tahun 2010 misalnya, setelah mereka mengungsi empat tahun, mereka mencoba untuk kembali ke rumah mereka, namun hal ini ditolak oleh masyarakat setempat untuk kembali tinggal di rumah yang mereka miliki.

Selain contoh-contoh yang tertulis di atas, tentu saja masih banyak kasus diskriminatif hingga kekerasan yang di alami oleh jemaat Ahmadiyah. Hal tersebut mununjukan bahwa kekerasan terhadap kaum minoritas khususnya jemaat Ahmadiyah telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan tersebut tentu tidak terlepas dari rangkaian peristiwa penolakan terhadap mereka yang berujung pada pengusiran, hingga pembunuhan. Kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah merupakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Jemaat Ahmadiyah dalam beberapa kasus tidak pernah melakukan perlawanan secara langsung dalam bentuk perlawanan fisik dengan orang yang menyerang dan mengusir mereka, seperti yang terjadi di Padang, Surabaya dan Lombok, NTB. Yang mereka lakukan hanya bertahan dan tetap pada keyakinan, meskipun mereka mendapat tekanan dalam artian tindakan diskriminatif hingga kekerasan oleh berbagai pihak masyarakat.

 

Kesimpulan

Jemaat Ahmadiyah sejak awal masuknya di Indonesia sebenarnya sudah mengalami tindakan diskriminatif. Kasus-kasusnya dimulai sekitar tahun 1935. Banyak faktor yang menyebabkan konflik-konflik yang dialami jemaat Ahmadiyah. Jika dilihat dari sisi keagamaan atau kacamata Islam, keyakinan yang dianut oleh jemaat Ahmadiyah memang bisa dibilang melenceng atau sesat. Keyakinan mereka yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam adalah nabi, telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun tetap saja, pernyataan ini tidak bisa dijadikan alasan bagi masyarakat untuk melakukan tindakan diskriminatif hingga kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.

Faktor lain yang menyebabkan banyak tindakan diskriminatif yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah adalah keluarnya putusan SKB tiga menteri tentang larangan terhadap jemaat Ahmadiyah untuk melakukan kegiatannya dan fatwa MUI yang mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan barang siapa yang mengikutinya adalah murtad. Fatwa yang dikeluarkan MUI tentang jemaat Ahmadiyah dianggap sakral dan kebenaran oleh masyarakat. Adanya 2 putusan tersebut membuat tegangnya hubungan antara masyarakat non Ahmadiyah dan jemaat Ahmadiyah. Akibatnya, oknum masyarakat yang melakukan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah semakin berpikir bahwa tindakan yang dilakukannya adalah benar.

Disisi lain, tanpa melihat dengan kacamata agama Islam, jemaat Ahmadiyah merupakan organisasi yang sah dan diakui pemerintah, bahkan mereka memiliki badan hukum sendiri. Dengan begitu, seharusnya mereka mendapatkan hak-hak dan perlindungan yang jelas. Namun apa yang menimpa mereka sangatlah berbanding terbalik. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, SKB tiga mentri, ditambah peraturan yang dikeluarkan beberapa pemerintah daerah tentang larangan kegiatan Ahmadiyah memicu konflik yang terjadi antara masyarakat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Pelaku kekerasan juga sangat jarang diproses secara hukum, segingga para pelaku tidak merasa jera dan konflik ini terjadi secara terus menerus.

Indonesia sebagai negara hukum, menjamin hak-hak dan perlindungan terhadap seluruh masyarakatnya. Pemerintah seharusnya dapat menjamin keamanan, keadilan hingga perlindungan kepada seluruh masyarakat tanpa memandang bulu. Ahmadiyah -diluar ajarannya yang menyimpang- masih berstatus warga negara Indonesia, yang berhak mendapat keadilan serta perlindungan dari pemerintah. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah adanya perlindungan langsung oleh pemerintah Yogyakarta terhadap jemaat Ahmadiyah Lahore yang ada di daerah tersebut. Perbedaan keyakinan yang dianut oleh Ahmadiyah Qadian (JAI) dan Ahmadiyah Lahore (GAI), mungkin berpengaruh dengan apa yang masyarakat lakukan terhadap mereka. Kasus diskriminasi hingga kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah memang kebanyakan dialami oleh Ahmadiyah Qadian (JAI). Namun tetap saja, konflik yang terjadi tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah tetap harus melindungi setiap masyarakatnya. Penyimpangan dalam memahami agama Islam, dapat dibenahi dengan melakukan dialog antaragama dan antarumat. Hal tersebut dapat dijadikan upaya untuk menjembatani perbedaan dan membangun toleransi dalam menjaga kerukunan dan keamanan di masyarakat sehingga dapat menciptakan lingkungan yang damai tanpa kekerasan.

 

REFERENSI/SUMBER

 Wikipedia. Ahmadiyah di Indonesia. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah_di_Indonesia.

Hanif Gusman. Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia. Tirto.id. 14 Agustus 2020. https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXpD.

Weldatil Husni. 2006. Pandangan Ulama Sumatra Barat terhadap Ahmadiyah. Padang : Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. http://scholar.unand.ac.id/55539/2/BAB%20I.pdf.

Abdul Gaffar. Oktober 2013. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dalam Perspektif Kekerasan Negara: Dua Kasus Dari Surabaya Jawa Timur dan Lombok NTB. Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No. 2, ISSN: 2089-0192. https://jurnalfisip.uinsa.ac.id/index.php/JSI/article/download/41/39.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun