Mohon tunggu...
Allysha Della Agustina
Allysha Della Agustina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Konflik dan Solusi Terkait Permasalahan Muslim Minoritas Ahmadiyah di Indonesia

14 Juli 2024   23:19 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : The New York Times (Pinterest) 

Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keberagaman, baik itu budaya, suku, ras maupun agama. Keberagaman ini menjadi ciri khas dan kekayaan bangsa Indonesia. Meskipun memiliki agama yang beragam, hanya ada enam agama yang diakui di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Di Indonesia, banyak ragam paham keislaman, baik yang dipengaruhi oleh ideologi, pemahaman terhadap fiqih, penafsiran al-qur'an dan hadist, perbedaan madzhab, tokoh-tokoh pelajar atau ilmuan yang belajar di luar negeri dan membawa paham agamanya masuk ke Indonesia, maupun bentuk manhaj atau paham agama yang lain. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya berbagai ormas Islam yang memiliki paham agama yang berbeda. Setiap ormas merujuk pada sumber yang sama, yakni al-qur'an dan hadist, namun cara menafsirkannya berbeda-beda, dimana penafsiran atau pemahaman tersebut menyebabkan perbedaan dalam melakukan beberapa praktik keagamaan setiap ormas.

Konflik dan isu kekerasan terkait agama terbilang sering terjadi di Indonesia, salah satunya yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, seperti turunnya fatwa MUI dan SKB tiga mentri yang menyatakan bahwa ajaran ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Fatwa MUI tersebut dianggap sakral dan menjadi sebuah kebenaran, sehingga mengubah pola pikir atau perspektif dan perilaku masyarakat terhadap jemaat Ahmadiyyah. Pada akhirnya, jemaat Ahmadiyyah mengalami tindakan diskriminasi dan cenderung diasingkan di lingkungan masyarakat. Tulisan ini akan membahas beberapa konflik dan isu terkait jemat Ahmadiyah di Indonesia, serta solusi dan sikap masyarakat yang mungkin seharusnya diambil dalam konflik tersebut. 

Mengenal Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India, pada akhir abad ke-19. Mirza Ghulam Ahmad mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi dan Mesias yang dijanjikan dalam Islam. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 dan berkembang melalui dakwah serta aktivitas keagamaan. Ahmadiyah di Indonesia terdiri dari Jamaah Muslim Ahmadiyah dan Gerakan Ahmadiyah Lahore. Jamaah Muslim Ahmadiyah di Indonesia dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan Gerakan Ahmadiyah Lahore dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Jamaah Muslim Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 dan Gerakan Ahmadiyah Lahore pada tahun 1924. Kedua organisasi tersebut resmi berdiri di Indonesia dan berbadan hukum.

Sejarah Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia dimulai pada tahun 1925, pada masa penjajahan Belanda di kepulauan Indonesia, kurang lebih dua dekade sebelum Revolusi Indonesia. Namun, kontak dengan orang-orang Indonesia dan Muslim Ahmadi di India dimulai beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 1922, untuk melanjutkan studi agamanya, tiga santri Indonesia, Abubakar bin Oejoep, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan, berencana untuk melakukan perjalanan ke lembaga-lembaga Islam di Mesir, namun guru mereka menyarankan mereka untuk melakukan perjalanan ke India, yang menurut mereka semakin menjadi pusat pemikiran Islam.

Selain itu, pada bulan Oktober 1920, Khwaja Kamal-ud-Din, pemimpin kelompok sempalan Gerakan Ahmadiyah Lahore melakukan tur ke Asia Tenggara di mana ia berhasil berhasil mendapatkan kepercayaan di antara beberapa Muslim Indonesia. Ketiga santri tersebut memutuskan untuk berbaiat di tangan Khalifah Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad dan memilih untuk melanjutkan studi mereka di Qadian. Atas undangan, 23 santri lainnya dari Pesantren Sumatera Thawalib, tiba di Qadian untuk melanjutkan studi Islam dan setelah mempelajari ajaran Ahmadiyah, mereka juga masuk ke gerakan Ahmadiyah.

Pada tahun 1924, khalifah melakukan tur ke Timur Tengah dan Eropa. Mengetahui hal ini, sejumlah santri Indonesia, ketika masih belajar di Qadian, menginginkan agar khalifah mereka juga mengunjungi Timur, khususnya kepulauan Indonesia. Khalifah, meyakinkan mereka bahwa dia sendiri tidak akan dapat mengunjungi Indonesia tetapi akan segera mengirim perwakilan ke wilayah tersebut. Pada tahun 1925, di bawah arahan khalifah, Rahmat Ali, seorang misionaris gerakan Ahmadiyah tiba di Tapaktuan, Aceh, provinsi utara Pulau Sumatera. Hal ini merupakan awal mula perkembangan Ahmadiyyah di Indonesia.

 Ahmadiyyah memiliki kepercayaan bahwa adanya nabi baru setelah nabi Muhammad SAW, cara mereka menafsirkan istilah "khataman nabiyyin" berbeda dengan penafsiran yang biasa dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim di Indonesia, khususnya ahlusunnah waljama'ah. Ahmadiyyah mempercayai bahwa nabi Isa telah wafat, dan Imam Mahdi telah datang, yaitu dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yang disebabkan oleh perdebatan internal dalam memahami ajaran-ajaran Mirza Gulam Ahmad dan klaim tentang kenabian baru. Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadian (yang kemudian menjadi JAI) dan Ahmadiyah Lahore (yang kemudian menjadi GAI), perpecahan terjadi ketika pemilihan khalifah Ahmadiyah ke dua Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad pada tahun 1914.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), berkembang di beberapa daerah di Jawa Barat, khususnya Bogor dan Sukabumi, di Jawa Tengah dan Timur, seperti Solo, Yogyakarta dan Surabaya, serta beberapa daerah di Sumatra, terutama Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Pada tahun 1928, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) mulai didirikan di Yogyakarta oleh para anggota yang lebih condong kepada paham Ahmadiyah Lahore. Pendiri utama GAI di Indonesia adalah R. Muhammad Ali. Seiring berjalannya waktu, GAI mulai berkembang, terutama di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.  

Ada sedikit perbedaan dalam keyakinan antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). JAI mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang diutus oleh Allah untuk memperbaharui ajaran Islam dan membawa wahyu baru, meskipun mereka tetap menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang membawa syariat. Berbeda dengan JAI, GAI menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) dan bukan nabi. Mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus untuk memperbaharui dan memperbaiki ajaran Islam, tetapi tidak membawa wahyu baru dan tidak menambah kenabian setelah Nabi Muhammad. Perbedaan keyakinn ini, berpengaruh terhadap pandangan dan prilaku masyarakat terhadap masing-masing golongan Ahmadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun