Faktor lain yang menyebabkan banyak tindakan diskriminatif yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah adalah keluarnya putusan SKB tiga menteri tentang larangan terhadap jemaat Ahmadiyah untuk melakukan kegiatannya dan fatwa MUI yang mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan barang siapa yang mengikutinya adalah murtad. Fatwa yang dikeluarkan MUI tentang jemaat Ahmadiyah dianggap sakral dan kebenaran oleh masyarakat. Adanya 2 putusan tersebut membuat tegangnya hubungan antara masyarakat non Ahmadiyah dan jemaat Ahmadiyah. Akibatnya, oknum masyarakat yang melakukan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah semakin berpikir bahwa tindakan yang dilakukannya adalah benar.
Disisi lain, tanpa melihat dengan kacamata agama Islam, jemaat Ahmadiyah merupakan organisasi yang sah dan diakui pemerintah, bahkan mereka memiliki badan hukum sendiri. Dengan begitu, seharusnya mereka mendapatkan hak-hak dan perlindungan yang jelas. Namun apa yang menimpa mereka sangatlah berbanding terbalik. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, SKB tiga mentri, ditambah peraturan yang dikeluarkan beberapa pemerintah daerah tentang larangan kegiatan Ahmadiyah memicu konflik yang terjadi antara masyarakat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Pelaku kekerasan juga sangat jarang diproses secara hukum, segingga para pelaku tidak merasa jera dan konflik ini terjadi secara terus menerus.
Indonesia sebagai negara hukum, menjamin hak-hak dan perlindungan terhadap seluruh masyarakatnya. Pemerintah seharusnya dapat menjamin keamanan, keadilan hingga perlindungan kepada seluruh masyarakat tanpa memandang bulu. Ahmadiyah -diluar ajarannya yang menyimpang- masih berstatus warga negara Indonesia, yang berhak mendapat keadilan serta perlindungan dari pemerintah. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah adanya perlindungan langsung oleh pemerintah Yogyakarta terhadap jemaat Ahmadiyah Lahore yang ada di daerah tersebut. Perbedaan keyakinan yang dianut oleh Ahmadiyah Qadian (JAI) dan Ahmadiyah Lahore (GAI), mungkin berpengaruh dengan apa yang masyarakat lakukan terhadap mereka. Kasus diskriminasi hingga kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah memang kebanyakan dialami oleh Ahmadiyah Qadian (JAI). Namun tetap saja, konflik yang terjadi tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah tetap harus melindungi setiap masyarakatnya. Penyimpangan dalam memahami agama Islam, dapat dibenahi dengan melakukan dialog antaragama dan antarumat. Hal tersebut dapat dijadikan upaya untuk menjembatani perbedaan dan membangun toleransi dalam menjaga kerukunan dan keamanan di masyarakat sehingga dapat menciptakan lingkungan yang damai tanpa kekerasan.
Â
REFERENSI/SUMBER
 Wikipedia. Ahmadiyah di Indonesia. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah_di_Indonesia.
Hanif Gusman. Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia. Tirto.id. 14 Agustus 2020. https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXpD.
Weldatil Husni. 2006. Pandangan Ulama Sumatra Barat terhadap Ahmadiyah. Padang : Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. http://scholar.unand.ac.id/55539/2/BAB%20I.pdf.
Abdul Gaffar. Oktober 2013. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dalam Perspektif Kekerasan Negara: Dua Kasus Dari Surabaya Jawa Timur dan Lombok NTB. Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No. 2, ISSN: 2089-0192. https://jurnalfisip.uinsa.ac.id/index.php/JSI/article/download/41/39.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H