Mohon tunggu...
Allysha Della Agustina
Allysha Della Agustina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Konflik dan Solusi Terkait Permasalahan Muslim Minoritas Ahmadiyah di Indonesia

14 Juli 2024   23:19 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:19 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : The New York Times (Pinterest) 

Konflik dan Isu Kekerasan yang Dialami Ahmadiyyah

Mungkin kita sudah banyak mendengar konflik dan isu kekerasan terhadap kaum minoritas. Konflik dan isu kekerasan terhadap kaum minoritas  merupakan masalah yang kompleks dan berlarut-larut, melibatkan berbagai kelompok minoritas yang berbeda, baik dari segi agama, etnis, maupun orientasi seksual. Di indonesia sendiri, Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait tindakan deskriminasi ras dan etnik sepanjang tahun 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada tahun 2016. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus tersebut juga jarang terselesaikan dengan baik.

Salah satu contoh kasus deskriminasi adalah yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Kasus-kasus yang dialami oleh Ahmadiyah disebabkan oleh beberapa faktor, contohnya seperti adanya dugaan bahwa ajaran Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Hal ini memicu ketegangan dan intoleransi diantara masyarakat. Adanya dorongan dari kelompok-kelompok tertentu yang menolak keberadaan Ahmadiyah sebagai bagian dari komunitas Muslim di Indonesia juga menjadi penyebab konflik tersebut semakin berlarut-larut. Ditambah lagi, fatwa yang dikeluarkan MUI tentang ahmadiyah adalah ajaran yang sesat dan keluarnya SKB tiga menteri yang memerintahkan Ahmadiyah untuk hentikan kegiatan semakin membuat buruk pandangan masyarakat terhadap jemaat Ahmadiyah.

Ahmadiyah pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1925 di Tapaktuan. Kemudian menyebar ke Sumatera Barat pada tahun 1926, tepatnya di Padang, lalu ke Solok dan wilayah lainnya di Sumatera Barat. Aliran Ahmadiyah yang berkembang di Padang adalah Ahmadiyah Qadian atau JAI. Awal perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Ahmadiyah terjadi sekitar tahun 1935 sampai 1943. Ahmadiyah dibilang aliran yang sesat, anggota yang terdapat didalam komunitas tersebut dilempari batu, ternaknya dicuri hingga ada yang dibunuh. Ahmadiyah kembali mendapat pertentangan dengan adanya putusan MUI pada tahun 2005 yang mengatakan bahwa barang siapa yang mengikuti Ahmadiyah berarti sesat. Pada tahun 2008, masyarakat minta walikota Padang untuk menutup seluruh kegiatan Ahmadiyah. Seolah mendukung putusan MUI, tahun 2011, Gubernur Sumatra Barat membuat peraturan dengan melarang seluruh kegiatan yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah.

Jemaat Ahmadiyah yang ada di Padang cenderung diam dalam merespon tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan masyarakat disekitarnya. Mereka tidak membalas kekerasan tersebut, namun melakukan perlawanan secara diam- diam. Jemaat Ahmadiyah lebih memilih bertahan untuk mempertahankan eksistensi di tengah-tengah masyarakat yang menentangnya. Perlawanan yang dilakukan seperti, tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang mempererat hubungan sesama anggota, melakukan dakwah dengan penayangan TV melalui MTA (Muslim Televission Ahmadiyah) dan mereka melakukan penyebaran ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menulis buku dan majalah.

Kasus yang sama juga dialami oleh jemaat Ahmadiyah yang ada di Surabaya dan Lombok. Sama seperti di Padang, aliran Ahmadiyah yang berkembang di dua daerah tersebut adalah aliran Ahmadiyah Qadian (JAI), yang menganggap bahwa Mirza Ghulam adalah nabi. Di Surabaya sendiri pernah beberapa kali terjadi demo ke Masjid An-Nur yang merupakan pusat Ahmadiyah di Surabaya. Akibatnya, papan nama masjid dan papan nama bertuliskan Jamaah Ahmadiyah dilepas yang semula ada di di Jalan Baliwerti Surabaya. Tidak hanya itu, aktivitas dakwah merekapun terhambat dan bahkan  beberapa aktivitas mereka vakum karena adanya fatwa NU dan Pergub Jawa Timur Tahun 2011.

Jemaat Ahmadiyah di Lombok lebih memprihatinkan lagi jika dibandingkan dengan Jamaat Ahmadiyah Surabaya. Jemaat Ahmadiyah yang terletak di Desa Gegerung kecamatan Lombok Barat NTB diusir dari kampung halaman mereka. Setelah mengungsi di Asrama Transito Mataram, mereka tidak dapat melakukan aktivitas sebagaimana warga negara lain. Sebut saja hak sipil mereka, seperti hak catatan sipil terhadap anak-anak mereka yang baru lahir tidak dengan mudah diberikan. Dengan berbagai alasan, pemerintah Lombok Barat sebagai daerah asal mereka sebelum di usir, dan pemerintah Kota Mataram sebagai tempat mereka mengungsi saling tuding mengenai catatan kependudukan dan cartatan sipil warga Jamaat Ahmadiyah. Kekerasan lain yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Lombok ialah tidak adanya jaminan keamanan dari pihak kepolisian jika mereka kembali ke rumah mereka di Desa Gegerung Kecamatan Lombok Barat NTB. Kejadian tahun 2010 misalnya, setelah mereka mengungsi empat tahun, mereka mencoba untuk kembali ke rumah mereka, namun hal ini ditolak oleh masyarakat setempat untuk kembali tinggal di rumah yang mereka miliki.

Selain contoh-contoh yang tertulis di atas, tentu saja masih banyak kasus diskriminatif hingga kekerasan yang di alami oleh jemaat Ahmadiyah. Hal tersebut mununjukan bahwa kekerasan terhadap kaum minoritas khususnya jemaat Ahmadiyah telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan tersebut tentu tidak terlepas dari rangkaian peristiwa penolakan terhadap mereka yang berujung pada pengusiran, hingga pembunuhan. Kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah merupakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Jemaat Ahmadiyah dalam beberapa kasus tidak pernah melakukan perlawanan secara langsung dalam bentuk perlawanan fisik dengan orang yang menyerang dan mengusir mereka, seperti yang terjadi di Padang, Surabaya dan Lombok, NTB. Yang mereka lakukan hanya bertahan dan tetap pada keyakinan, meskipun mereka mendapat tekanan dalam artian tindakan diskriminatif hingga kekerasan oleh berbagai pihak masyarakat.

 

Kesimpulan

Jemaat Ahmadiyah sejak awal masuknya di Indonesia sebenarnya sudah mengalami tindakan diskriminatif. Kasus-kasusnya dimulai sekitar tahun 1935. Banyak faktor yang menyebabkan konflik-konflik yang dialami jemaat Ahmadiyah. Jika dilihat dari sisi keagamaan atau kacamata Islam, keyakinan yang dianut oleh jemaat Ahmadiyah memang bisa dibilang melenceng atau sesat. Keyakinan mereka yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam adalah nabi, telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun tetap saja, pernyataan ini tidak bisa dijadikan alasan bagi masyarakat untuk melakukan tindakan diskriminatif hingga kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun