Mohon tunggu...
Julia corinne
Julia corinne Mohon Tunggu... -

Sekolah di Kanaan sudah biasa dicap tomboy fangurlfic.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Fan-fiksi: The Fault In Our Stars [bagian I]

7 Maret 2016   22:27 Diperbarui: 7 Maret 2016   22:48 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Fan-fiksi: The Fault In Our Stars [bagian I]"][/caption]Hari ini adalah hari ke-100 sejak Augustus Waters meninggal.

Aku memandangi makam Gus yang kini gundukan tanahnya sudah rata dan ditumbuhi rumput muda. Di atas batu nisan itu tertulis Disini berbaring Augustus Waters. Kata-kata itu terus terngiang di dalam otakku bagai peringatan, dan peringatan itu membuatku sedih dari waktu ke waktu.

Aku tetap meyakinkan diri sendiri bahwa Gus selamanya tetap hidup di hatiku, diantara orang yang mencintainya. Kadang aku juga bertanya-tanya apakah Gus melihatku dari surga, seperti, melihatku membaca KLB, atau pergi ke mall bersama Kaitlyn, atau mungkin juga bermain Kontra dengan Isaac.

“Entah kenapa aku merasa bersyukur masih buta seratus hari yang lalu.” Kata Isaac, ia sudah memiliki mata robotnya sekarang. Isaac memegang bahuku.

“Karena aku tidak ingin melihat peti berisikan Gus yang kaku dimasukan ke dalam tanah.” Air mataku mulai menetes tapi aku segera menghapusnya.

“Maaf Hazel,” kata Isaac menurunkan tangannya dari bahuku.

“Tidak apa-apa, Isaac,”

Tadinya aku berniat untuk meletakan sebungkus Marlboro Lights disamping makam Gus, tapi alih-alih menaruhnya aku malah menyayangkan kenangan itu.

Mom datang ke arah kami berdua.

“Matahari hampir terbenam, aku tidak ingin bilang ini, tapi sebaiknya kita pulang.” Mom benar. Aku hanya menurut dan melihat makam Gus untuk sepersekian detik lagi sambil berbisik: Aku akan kembali nanti.

“Mau kubawakan kereta oksigenmu?” tanya Isaac.

“Oh tidak perlu.”

Isaac sudah bisa melihat. Walaupun ia pernah berkata ia bakal mengusir semua ilmuwan yang menawarkan mata robot, akhirnya ia menerima juga. Well, sebenarnya sih itu semua karena aku yang jadi menyebalkan sejak Gus meninggal.

Okay, begini. Gus, Isaac dan aku bagai tiga serangkai. Setelah Gus meninggal, bermain Kontra bersama Isaac semakin membuatku tersadar kalau Gus pergi dari kami. Aku juga menghindari Kelompok Pendukung, aku tidak ingin mendengar nama Augustus Waters masuk daftar panjang orang mati.

Aku hanya tidak bisa menerimanya.

“Kau baik-baik saja Hazel?” tanya Mom, matanya bertemu dengan mataku di cermin tengah.

“Em, mungkin,” jawabku, dan itu tidak sepenuhnya salah. Karena sejak Gus meninggal, aku merasa setengah diriku runtuh.

“Oh Hazel, kita bisa membatalkan makan malam dengan keluarga Waters,” desah Mom dari bangku kemudi. Keluarga Waters berarti ayah dan ibu Gus, Julie, dan Martha, kakak perempuan lainnya yang paling jarang kelihatan.

“Tidak.. jangan Mom, aku tidak ingin membatalkannya. Kita sudah pernah membatalkannya sekali, dan jangan batalkan lagi.”

Di peringatan ke-40 hari meninggalnya Gus ayahku terpaksa membatalkan makan malam karena dalam perjalanan pulang paru-paruku mendadak sesak dan kemudian aku harus menginap tiga hari di ICU. Rasanya masih terasa seperti mimpi kalau Gus benar-benar sudah tiada.

“Ibumu ingin kau mendapatkan yang terbaik, Hazel,” sambung Isaac.

“Selama kau baik-baik saja dengan itu, aku tidak ada masalah.” Jawab Mom, kali ini aku tahu kalau Mom senyum dari otot-otot disekitar matanya.

Mom menurunkan Isaac tepat di depan rumahnya, Isaac keluar dari mobil dan muncul di jendela kacaku, rasanya ini pertama kali aku melihat wajah Isaac tanpa mengenakan kacamata hitam.

“Kau mau tahu apa yang kuyakini, Hazel?”

“Apa?” jawabku.

“Aku yakin Gus tahu kalau kita akan terus tetap menyayanginya. Kau ingat apa ketakutannya di bumi kan?”

Aku berdehem, “Em, yah, ia takut dilupakan.”

Isaac mengangguk, “selama kita menyayangi Gus, kita akan terus memilikinya di dalam hati. Sampai jumpa di acara makan malam nanti—terima kasih atas tumpangannya Mrs. Lancaster!” kata Isaac berusaha untuk tetap ceria.

“Bukan masalah!” jawab Mom.

Sesampainya di rumah aku menyeret kereta oksigenku dan berjalan menuju kamar, Mom terus-terusan menanyakan apa yang terjadi padaku—WELL BUKANKAH SUDAH JELAS?!—Tapi kubilang padanya untuk jangan khawatir.

Aku berbaring di tempat tidur, kemudian Mom memasangkanku pada BiPAP. Menurut perhitunganku, masih ada dua jam lagi sebelum makan malam.

Well, sudah terpasang,” kata Mom.

“Terima kasih Mom,” jawabku dengan suara seadanya.

 “Akan kubangunkan nanti,” Mom mengecup dahiku dan memberikan Blue ke pelukanku, “oke, selamat tidur.” Mom tersenyum.

“Bye.”

*) ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun