Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Keamanan Laut Nasional: Kembali pada Kearifan Lokal, Belajar dari Starbucks

6 Juli 2023   01:22 Diperbarui: 6 Juli 2023   01:46 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini kita kembali ke era sekitar '90-an, arus lalu lintas kendaraan yang melintasi Jembatan Liwung ini sempat terputus, bukan karena bom melainkan disebabkan tingginya debit air sungai dan derasnya curah hujan. Selama beberapa hari, masyarakat bahkan kendaraan bermotor yang hendak menyeberang baik dari desa ke kota ataupun sebaliknya harus menyeberang membelah derasnya arus sungai menggunakan perahu kayu yang terbuat dari kumpulan bambu yang lazim disebut dengan getek.

Satu demi satu, para penumpang ini naik ke atas getek, termasuk sepeda juga kendaraan bermotor. Nyaris tidak ada pegangan untuk dijadikan tumpuan, alih-alih atap untuk dijadikan tempat berteduh dari terik matahari. Para pengayuh getek ini hanya bermodalkan dua alat, yakni getek dan batang bambu panjang. Getek digunakan untuk mengangkut para penumpang sedangkan bambu panjang digunakan untuk menjadi sandaran atau tumpuan bambu ke dasar sungai. Setiap kali batang bambu ini dialihkan, maka getek pun ikut bergerak sesuai arah haluan. Hampir mirip fungsi seperti dayung hanya saja batang bambu ini sangat panjang sehingga bisa menyentuh permukaan dasar sungai.

Sementara itu di bibir sungai, kendaraan-kendaraan roda empat yang hendak menuju ke kota ataupun sebaliknya menuju ke desa, memiliki dua opsi. Pertama, memutar arah perjalanan melewati wilayah Somongari dan Bagelen yang menempuh jarak lebih jauh dari biasanya dan secara otomatis juga melipatgandakan isian bahan bakar. Atau kedua, berhenti dan parkir menunggu atau mengantarkan penumpang di salah satu sisi jembatan, baik di sisi timur ataupun barat jembatan, tanpa bisa melewati jembatan.

Pahami, bahwa (sebatang) bambu, telah mengambil peran dalam menjaga keamanan sungai skala regional dan bahkan skala internasional. Pada tataran regional, bambu telah menjalani peran dengan sangat baik dengan beralih rupa menjadi sebuah getek yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat terutama saat dilanda bencana banjir dan tanah longsor. Dan di skala internasional, bambu juga telah menjalani peran dengan sangat baik dengan beralih rupa menjadi sebuah bom bambu petung sehingga menghalangi terjadinya agresi kemiliteran internasional.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah keseluruhan strategi keamanan laut nasional harus kembali pada kearifan lokal. Bagi Anda yang sudah memahami filosofi-semantis yang disampaikan di awal tulisan ini tentu akan dengan lantang akan menjawab, "Tidak!" Dan memang demikian seharusnya bahwa kearifan lokal bukan sandaran absolut, namun kearifan lokal terbukti telah dan akan selalu memberikan peluang.

Sebagai penutup, kini dalam konteks yang lebih mendekat ke tema kemaritiman dengan subtema ancaman pencemaran lingkungan adalah keberadaan hulu sungai yang juga identik dengan moda perahu. Mari kita ambil sampel jukung. Perahu jukung adalah perahu tradisional yang berasal dari Kalimantan dengan memiliki ciri khas yang terletak pada proses pembuatannya yang menggunakan sistem pembakaran pada rongga batang kayu. Jukung yang terbuat dari batang pohon ini melalui proses dimekarkan dan dipanaskan dengan asap selama tujuh hari tujuh malam.

Secara pendekatan parsial-regional, dengan mengadopsi sistem teknologi terkini, jukung-jukung di Gili Lontar bisa ditanami dengan sistem kamera yang dapat mendeteksi penginderaan jarak dekat keberagaman biota laut (ocean wealth) di wilayah perairan Nusa Tenggara Barat. Sementara jukung-jukung di Pulau Pelangi juga bisa ditanami dengan sistem kamera yang dapat mendeteksi penginderaan jarak dekat keberlangsungan biota laut (ocean health) di wilayah perairan Kepulauan Seribu.

Kemudian secara pendekatan komprehensif-internasional, jukung-jukung yang beroperasi di kedua wilayah ini, baik di wilayah perairan Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Seribu, perlu diujicobakan di berbagai kondisi wilayah perairan yang berbeda, khususnya wilayah perairan internasional. Jika jukung-jukung ini mampu menjalani peran dengan baik dalam berbagai situasi dan kondisi yang berbeda, maka di sinilah standar keamanan hulu sungai sudah rampung ditegakkan.

Perhatian pada detail. Fokus pada mata rantai dari hulu ke hilir inilah yang nyata-nyata dijadikan sebagai landasan bisnis kedai kopi terkemuka asal Amerika, Starbucks.

Pertama pendekatan parsial. Saya lupa persisnya kapan saya memesan secangkir kopi karamel di salah satu kedai kopinya yang berada di lantai 5 Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Tetapi satu hal yang saya ingat dan lakukan adalah saya menyebut kata grande ketika saya memesan satu cup caramel macchiato. Tail, venti dan grande adalah leksem-leksem ikonik skala regional yang disematkan oleh sang CEO Howard Schultz pada setiap kedai kopi yang ia dirikan.

Kedua, pendekatan komprehensif. Ketika seorang Schultz memandang Starbucks dari sisi luar. Ketika seorang Schultz menempatkan satu perspektif Starbucks di antara kedai-kedai, khususnya kedai-kedai kopi internasional lainnya. Di Amerika, Starbucks memiliki salah satu kedai dengan serai yang tumbuh di atap miring. Sementara jendela besar memungkinkan orang yang berjalan melewati kedai untuk melihat ke interior yang memiliki meja dan kursi kayu serta sofa kulit yang nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun