Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Keamanan Laut Nasional: Kembali pada Kearifan Lokal, Belajar dari Starbucks

6 Juli 2023   01:22 Diperbarui: 6 Juli 2023   01:46 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah peradaban bahari yang seyogianya mulai kita perkenalkan, pahamkan, dan jalankan. Apa pun bentuk perbedaan; ras, suku, golongan, tradisi, cara, teknologi, bahkan keyakinan, hadir untuk mempertegas persamaan dan bukan untuk mempertajam perbedaan.

Budaya bahari, sebagaimana yang diamanatkan oleh beliau ini, kemudian menjadi semacam penerang, bahwa (strategi) keamanan kelautan kita pada akhirnya hanya bersinggungan dengan dua hal. Pertama, cara kita memahami dan merangkul perbedaan yang ada di dalam sistem kemaritiman nasional. Ini ibaratkan pendekatan parsial yang memandang sisi maritim dari sisi detail. Kedua, cara kita memahami dan merangkul perbedaan yang ada di dalam sistem kemaritiman internasional, dengan salah satu komponennya adalah sistem kemaritiman nusantara. Dan ini ibaratkan pendekatan komprehensif yang memandang sisi maritim dari skala yang lebih luas dan menyeluruh.

Kembali pada Kearifan Lokal, Belajar dari Starbucks

Mari kita mulai dengan pendekatan parsial. Namun mungkin kita tidak akan membahas tentang laut yang begitu luas baik dari sisi teritorial maupun keanekaragaman ekosistem di dalamnya, tetapi sungai.

Saya teringat kembali pada masa-masa ketika dulu masih berusia menjelang remaja. Saya tinggal di Desa Pandanrejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa yang dikenal sebagai sentra pembibitan nasional kambing ettawa ini adalah sebuah desa yang memiliki ketinggian 820 di atas permukaan laut dan menjadi salah satu bagian dari kawasan Perbukitan Menoreh yang membentang dari utara di Kabupaten Magelang ke selatan di Kabupaten Purworejo. Dengan ketinggian tersebut, setiap menjelang senja, hawa dinginnya mulai terasa menyentuh tubuh. Terlebih jika malam apalagi dinihari tiba.

Saat lulus sekolah dasar, saya melanjutkan pendidikan ke Kota Purworejo. Jarak yang harus ditempuh dari rumah menuju kota adalah sejauh 21 kilometer, hampir 40 kali lipat lebih jauh dibandingkan dengan jarak dari rumah ke sekolah sebelumnya. Almarhum ayah saya, biasanya membangunkan saya pukul 2 pagi, bahkan ayam jantan pun barangkali masih terlelap bersama mimpinya. Di saat ayah saya menjerang air untuk saya mandi, saya biasanya ikut nimbrung dengan menghangatkan badan di dekat tungku perapian. Untuk diketahui, bagi warga kampung pembeda antara mereka yang sering dan mereka yang jarang menghangatkan badan di perapian, dapat terlihat dari bagian betis depan mereka. Mereka yang sering menghangatkan badan di dekat tungku perapian, biasanya bagian betis depannya seperti pecah dan bergaris-garis.

Menjelang pukul 3 pagi, saya biasanya sudah selesai mandi, berseragam sekolah, menyantap "sarapan pagi", menyelempangkan tas, membuka pintu rumah, lalu berdiri di depan rumah untuk menunggu mobil pickup yang hendak menjemput atau mengantarkan para pedagang yang hendak menuju ke kota. Bisa dibayangkan, di dalam mobil pickup itu saya biasanya ditemani aneka pisang mentah, nangka, kapulaga, cengkih, kelapa, apa pun sumber daya alam yang bisa ditukarkan menjadi uang oleh para pedagang setibanya mereka nanti di kota.

Kisah kemudian berlanjut ketika musim penghujan tiba. Mobil pickup ini harus melewati Jembatan Liwung --- masyarakat Purworejo lazim menyebut dengan Buh Liwung, sepanjang 120 meter yang membentang di atas Sungai Bogowonto, Kabupaten Purworejo.

Sekilas kembali ke er akolonial dan juga dikaitkan dengan tema keamanan laut nasional ini, Jembatan Liwung ini juga menyimpan sisi heroik. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali melakukan Agresi Militer II di wilayah Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Satu tahun kemudian, agresi ini menyentuh wilayah Kabupaten Purworejo. Jembatan Liwung ini adalah penghubung antara wilayah Purworejo, di Jawa Tengah dan wilayah Kulon Progo, di Yogyakarta. Untuk itulah, TNI berusaha untuk menghambat laju agresi Belanda ini dengan berusaha melakukan pengeboman Jembatan Liwung.

Usaha pertama dilakukan oleh Kompi Soebiandono yang terdiri atas Seksi Letda Kemis, Letda Legiman, dan Letda Soeparman. Mereka menuju sasaran melewati Bulus, Kalinongko, dan Baledono. Namun, sesampainya di lokasi, jembatan ini dijaga oleh anjing-anjing NICA. Akibat kurangnya persenjataan, pasukan TNI mundur dan dipecah menjadi dua kelompok, sebagian menuju Cangkrep dan sebagian lain menuju Tambakrejo. Serangan terus berlanjut hingga sore harinya yang mengakibatkan pasukan TNI harus mundur sampai ke Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing.

Sebagai tindak lanjut dari kegagalan aksi pertama ini, dilakukan usaha kedua pada pertengahan Februari 1949 oleh tiga Tentara Genie Pelajar yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka bertiga mendatangi KODIM Kaligesing dengan maksud melakukan survei Jembatan Liwung. Setelah survei, mereka menyiapkan bumbung-bumbung dari bambu petung yang berdiameter 14 sentimeter dengan panjang ruas 70 sentimeter untuk dirakit menjadi bom bumbung. Pada malam harinya, dibantu oleh 12 kawan-kawan mereka, mulai memasang bom di jembatan. Dan tepat tengah malam dengan kabel penyulut sepanjang 40 meter, bom-bom berhasil diledakkan dan jembatan pun berhasil terputus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun