Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Fraud Analyst Is Standing On The Front Lines

30 Juni 2022   02:05 Diperbarui: 30 Juni 2022   02:10 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran sangat berharga dari seorang Sam bahwa kita saat ini adalah produk dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Sam sangat menyukai hal-hal "tak kasatmata". Nyaris apa pun yang ia lihat, dengar, alami, memancing naluri Sam untuk selalu mencari tahu hal-hal yang bagi kebanyakan orang belum diketahui. 

Hingga kemudian mengantarkan Sam saat ini menjadi sang Sherlock Holmes di salah satu big unicorn industri e-commerce di Indonesia. Berikut kutipan wawancara dengan Samrisyad Fadhlurrahman,  

Tentang fraud.

Secara sederhana, fraud bisa diartikan sebagai detektif transaksi keuangan, atau lebih gampang lagi satpam (digital) keuangan. Di mana pun terdapat transaksi keuangan apalagi ditambah oportunitas, cashback misalnya, selalu berpotensi memunculkan fraud; yakni keinginan untuk bertindak curang. 

Di Islam pun hal ini sebenarnya sudah diprediksikan; kisah kaum Madyan di masa Nabi Syuaib yang suka menumpuk harta dan mengurangi timbangan, bahkan mengganti dengan barang palsu atau peringatan tegas Khalifah Umar kepada para penimbun harta yang nyata-nyata akan memengaruhi stabilitas keuangan negara. Pernyataan sang khalifah ini bukan asal. 

Kerugian nominal yang disebabkan oleh transaksi ilegal semacam ini bagi pihak perusahaan sangatlah besar.

Nah, fraud di sini kurang lebih juga bersentuhan dengan para penimbun harta ini, yang salah satunya berbentuk vaucer. Demi mendapat keuntungan banyak, akhirnya mereka rela melakukan segala cara termasuk dengan membuat akun-akun palsu hingga bekerja sama dalam model sindikat demi mendapatkan keuntungan. 

Sehingga di saat yang bersamaan, dalam kondisi seperti itulah mereka sesungguhnya telah melakukan steal atau pencurian terhadap hak-hak orang lain.  

Coba saja bayangkan, jika untuk satu model vaucer dengan keuntungan nominal Rp20.000,00 saja misalnya, lalu mereka mengalikan dengan 20 transaksi fiktif yang mereka lakukan, bisa dihitung keuntungan mereka untuk satu kali kasus transaksi fiktif tersebut; Rp200.000,00.

Kita tahu, hanya untuk satu ecommerce saja, ada puluhan dan mungkin ratusan vaucer yang ditawarkan. Itu baru satu e-commerce, belum yang lain. Nah, yang juga kasihan adalah para pemula bisnis yang belum paham tentang hal ini sehingga akhirnya mereka juga ikut tertipu.


Adakah indikator ketika sebuah transaksi dinyatakan janggal? Langkah apa yang dilakukan?

Ungkapan sederhana yang perlu selalu diingat adalah setiap aksi kejahatan senantiasa meninggalkan jejak atau tidak akan pernah ada kejahatan yang sempurna. Setiap aksi fraud ini selalu meninggalkan pola; misalnya sama alamat pengirimannya, sama nama pengirimnya, atau perilaku pengiriman barangnya. Untuk itu, kita juga sudah siapkan sebuah sistem yang memang dirancang untuk mendeteksi kejahatan-kejahatan keuangan semacam ini.

Saat kita menemukan adanya indikasi kecurangan, kita mengumpulkan data untuk bukti. Lalu kita menghubungi terduga untuk meminta klarifikasi tentang hal tersebut. Jika memang benar, kita awalnya akan memberikan teguran dan one time chance. 

Kita berikan satu kesempatan lagi untuk memperbaiki. Namun jika kemudian diulang lagi, kita pasti akan menutup akun sang pelaku ini sehingga ia tidak bisa lagi bertransaksi di ecommerce yang kita miliki.

Apa saran agar menjadi konsumen cerdas?

Do not be impulsive shopper. Belanja juga harus pakai logika. Jangan karena bagus iklannya, atau lucu tampilannya, lalu kita belanja tanpa mempertimbangkan sisi utilitas. Jika ingin mendapat keuntungan lebih, jadilah pelanggan yang royal atau silakan untuk memanfaatkan kesempatan semacam cashback, vaucer, give away, atau marketing promo lainnya, tentu hanya untuk kepentingan pribadi. Fair play.

Kecakapan apa yang perlu dimiliki oleh seorang fraud analyst?

Saya sendiri punya background international business management. Berarti mesti paham tentang how business works. Di kantor pun saya memiliki tim dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, kebanyakan dari hukum dan information technology (IT). 

Pemahaman tentang bisnis harus, namun yang utama juga adalah diimbangi dengan analytic thinking; kemampuan berpikir analitis dan kritis. Analitis berarti punya bekal big data dan kritis berarti selalu mau untuk belajar dan bertumbuh.

Kritis ini penting karena tidak semua kasus selalu tuntas berbekal standard operational procedure (SOP). Pengalaman, intuisi, juga ketelitian menjadi modal penting menjadi seorang fraud analyst. Ketelitian ini penting karena saya sendiri pernah mengalaminya. 

Saya secara tidak sengaja pernah membekukan seller account yang notabene sudah berpenghasilan di atas Rp500 juta. That's my fault. Saya dipanggil sama atasan, diminta memberikan penjelasan, dan sekarang alhamdulillah I am turning back on.

Tentang pengalaman, dulu saat kecil saya memang suka mencari tahu hal-hal baru, baik dengan melalui menonton film, membuka-buka komik, mencari informasi di internet, atau mengalami langsung. Saya menyukai film Sherlock Holmes atau film-film besutan Christopher Nolan. 

O ya miniseri HBO Band of Brothers juga. Kasus ledakan reaktor Chernobyl. Rata-rata memang hal-hal berbau investigatif. 

Alhamdulillah juga, orang tua saya mendidik saya agar lebih dekat dengan Islam sehingga saya memiliki panduan dalam cara hidup. In case, kenapa sekolah membuat peraturan? Intinya agar memudahkan warga sekolah. Sama seperti Allah mengapa membuat peraturan melalui agama Islam. Intinya juga sama agar hidup lebih mudah dijalani.  

Karier investigatif?

Fraud analyst ini sebenarnya bagian dari risk management. Jadi senantiasa mengiringi setiap industri bisnis di mana pun berada. Yang membedakan adalah tingkat kompleksitasnya. Jika di warung kaki lima, kasusnya mungkin sesederhana si penjual mengakali timbangan. Namun untuk level unicorn big commerce, kasusnya digital minded. Butuh kecakapan solutif yang minimal setara dengan level problem yang ada. 

Saya berpesan untuk para digital user. Internet itu mirip kardus. Semua barang bisa masuk; mulai dari yang baik hingga yang buruk, mulai yang original sampai yang merek palsu, mulai dari yang santun hingga tak bernorma.

 User harus punya filter untuk memilah mana fakta mana opini, mana yang menang benar dan mana yang dibuat seolah-olah benar. Telitilah sebelum melakukan transaksi dan belilah barang dengan mempertimbangkan sisi manfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun