Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Labirin

2 Maret 2022   07:33 Diperbarui: 2 Maret 2022   07:36 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari ini sebulan setelah kepergian Mbah Pardi. Dan seminggu lagi tiba Hari Raya Lebaran. Menjelang Lebaran, orang-orang di Kampung Ngaren memang gemar sekali menghabiskan uang. Yang semestinya di sepuluh hari terakhir Ramadan jamaah subuh semakin bertambah, yang ada justru semakin menghilang. Jika hari pasaran, orang-orang sibuk berjualan dan belanja di pasar. Dan jika bukan hari pasaran, bapak-bapaknya sudah mulai pergi mencari hasil hutan untuk dipanen.

        Jika sudah begitu, pasar sudah mirip festival. Kembang api, aneka roti dan kue, baju untuk berlebaran, sepatu dan sendal kulit, hiasan rumah, menjadi bintang idola ibu rumah tangga dan juga anak-anak di Kampung Ngaren. Puluhan orang bertawaf di sekitar barang dagangan, berdesak-desakan, sekaligus melihat wajah-wajah baru yang sebelumnya jarang terlihat di pasar: tetangga kampung, tetangga kecamatan, hingga tetangga kabupaten. Tak urung bertemu balen yang baru sehari semalam datang dari Jakarta untuk berlebaran.

Sugeng terlihat memakirkan motor 4 taknya di antara sepeda motor lain di depan pintu masuk pasar. Ia biasa mangkal di pagi buta untuk menunggu giliran mendapatkan penumpang. Ia masuk ke warung Yu Darsih untuk memesan secangkir kopi.

"Pisang goreng sudah mateng?"

"Wis, Geng," kata Yu Darsih.

 Sugeng mengaduk kopinya.

"Geng! Giliran satu!" Pujo memanggil Sugeng.

"Yo!"

"Yu, tutup dulu kopinya ya," kata Sugeng terburu-buru.

Sugeng menghidupkan sepeda motornya. Motor itu baru diambilnya lima hari lalu dari dealer. Begitu motor itu berpindah ke tangannya, sontak tangan Sugeng langsung gatal untuk "mengobrak-abriknya".

Mesin spedometernya sudah lepas dari posisi. Jok belakang dibuat lebih pendek. Semua stiker yang tertempel sudah berpindah ke tempat sampah. Knalpotnya sudah dibobok sehingga saat mesinnya hidup, sangat memekakkan telinga.

"Ke mana Yu?" tanya Sugeng.

"Arah Pandansari, bawah lapangan voli," kata Yu Marni.

Sugeng menembus kabut pagi disambut kloter para pedagang pasar yang berjalan kaki hendak menuju ke pasar. Sesekali Yu Marni menyapa sebagian mereka yang berpapasan dari atas jok sepeda motor.

Sepulang mengantar Yu Marni, Sugeng kembali ke pangkalan. Uang dari Yu Marni ia gunakan sebagian untuk membayar kopi dan beberapa sisir pisang goreng di warung Yu Darsih.

"Yu, isih ono anggur?"

"Piro, Geng?"

"Siji wae, Yu," kata Sugeng.

Sugeng sering membeli sebotol anggur ketan hitam di warung Yu Darsih. Kebiasaan meminum minuman keras itu dilakukannya sejak putus sekolah. Ia bahkan tersalip adiknya ketika SMP yang berselisih tiga tahun. Otaknya memang tidak seencer adiknya, Sukri. Ditambah tabiat keras dan suka melawan aturan membuat sekolahnya berantakan. Uang sekolah yang harusnya ia bayarkan ke sekolah, justru ia gunakan untuk membeli rokok. Di waktu yang lain, pagi ketika teman-temannya menuju sekolah untuk belajar, ia justru sering mangkir ke rumah Mbah Sukar, adik kandung Mbah Trimah, untuk tidur sampai jam sekolah usai.

Sugeng memasukkan botol anggur itu ke balik jaket kulitnya. Kembali ke pangkalan menunggu penumpang berikutnya. Akrab dengan sepeda motor membuat Sugeng dekat dengan para anggota geng motor. Di Kampung Ngaren, yang merupakan jalur penghubung dua provinsi, geng-geng motor itu sering bermunculan terutama ketika akhir pekan. Apalagi jika ada tontonan ndangdutan atau wayangan.

Merasa ingin menjadi bagian dari identitas, Sugeng meminta Darno untuk membuat tato di tubuhnya. Di bagian dada, Sugeng meminta dibuatkan dua nama mantan pacarnya. Di bagian punggung, Sugeng meminta dibuatkan tato naga. Dan yang paling membuat Sugeng sangat bangga adalah di bagian lengan kanannya, ia meminta Darno menggambarkan sebuah keris tujuh luk.

Hampir setiap rumah di Kampung Ngaren menyimpan benda pusaka tersebut. Termasuk Mbah Pardi. Mbah Pardi biasanya akan masuk ke dalam kamarnya setiap malam Jumat Kliwon. Menggunakan bantuan kursi jati, Mbah Pardi memungut sebuah benda berbungkus kain kafan dari atas lemari. Ada tiga bungkusan yang ia ambil. Keris pertama bernama Kanjeng Mahesa. Keris kedua bernama Pangeran Suto. Dan keris ketiga bernama Nyai Teluh.

Mbah Pardi meletakkan setiap keris itu di atas baki beralas kafan putih. Mbah Pardi kemudian mengeluarkan seperti rempah wangi dan memanjatkan doa yang lebih menyerupai mantra. Jika keris-keris itu dibawa ke tempat Mbah Sukro, keris-keris itu dapat bergerak sendiri sesuai dengan arahan Mbah Dirgo.

Keris tujuh luk itu diminta oleh Sugeng sebagai "penyatuan" terhadap alam gaib. Keris itu adalah benda pusaka yang diminta oleh Mbah Dirgo untuk disimpan di kediamannya. Di sebuah rumah di kaki Gunung Gajah. Sugeng menyerahkan keris itu sebagai syarat agar keinginannya menjadi polisi terwujud. Yang ironisnya, Sugeng justru malah merajah tubuhnya di mana-mana. Bisa jadi Sugeng sudah bosan dan tak sabar menunggu kabar diterimanya menjadi perwira.

        "Mbah, syaratnya apa biar jadi polisi?"

        "Puasa putih tujuh hari, mandi kembang malam Jumat Kliwon, dan pergi ke Suroloyo di tanggal 1 Suro," terang Mbah Dirgo.

        "Ke Suroloyo buat apa Mbah?"

        "Sama Mbah cari wangsit."

        "Kamu punya uang berapa, Le?"

        "Adanya segini, Mbah," terang Sugeng sambil menunjukkan beberapa lembar uang polymer berwarna biru kehijauan bergambar Bapak Pembangunan Indonesia. Sugeng meletakkan lembaran-lembaran itu di depan Mbah Dirgo, di samping kemenyan bakar yang baunya merasuk ke hidung.

Sugeng begitu berambisi untuk menjadi polisi. Baginya, sepertinya terlihat gagah bisa pulang kampung berseragam coklat dan bertopi dinas. Dari segi tradisi, orang-orang di Kampung Ngaren juga cenderung tanpa logika mengagungkan sosok polisi, menyamakan, bahkan melebihkannya ketimbang tutur agung Pak Kyai. Hanya dengan menyebut "Bapaknya Polisi", "Anaknya Polisi", urusan di Kampung bisa semudah membalikkan kedua telapak tangan.

        Mbah Trimah menggigit jadah terakhirnya. 

        Tidak sekali, Sugeng pergi menemui Mbah-mbah untuk meminta bantuan agar bisa menjadi polisi. Termasuk Mbah Dirgo. Kadang Sugeng juga menemui aparat polisi yang sering patroli ke kampung saat ada acara Agustusan atau hajatan kawinan. Saat para aparat polisi itu menanyakan berapa persekot uang yang Sugeng punya, Sugeng biasanya langsung mental. Ciut nyali. Dan akhirnya, Mbah Dirgo-lah senjata pamungkasnya.

        "Kreek ...!"

        Mbah Trimah membuka pintu rumahnya yang usianya hampir sama dengan dirinya. Suaminya, Mbah Pardi, dulu adalah seorang perangkat desa. Mbah Pardi dikenal sebagai orator ulung. Saat ada tamu dari kecamatan, atau Kabupaten, biasanya Pak Lurah akan meminta Mbah Pardi untuk menjadi pendampingnya. Mbah Pardi punya kelebihan mengenali karakter seseorang.

       Ada kalanya orang kecamatan itu datang untuk pura-pura melihat kondisi jalanan Kampung Ngaren. Kemudian orang kecamatan itu akan menggelar rapat besar mengundang perangkat-perangkat desa untuk menyampaikan impian-impiannya. Ada kalanya pula orang-orang kabupaten itu datang untuk mengisi sambutan di acara pengajian Mauludan di Kampung Ngaren.

        "Bapak-bapak, sebentar lagi ada pemilu, kita harus pintar dan pandai memilih pemimpin. Jangan asal pilih. Pilih yang bisa memberi manfaat untuk Kampung Kita. Nanti tolong pilih Pak Marsun ya Bapak-bapak. Pak Marsun sudah siapkan Rp50.000,00 untuk setiap KK."

        "Den, apakah uang itu dari Pak Marsun? Pak Marsun dapat uangnya dari mana?", tanya Mbah Pardi.

        Jika sudah seperti ini, Mbah Pardilah yang paling kritis. Para tamu atau pejabat itu akhirnya kadang pulang dengan sumpah serapah, sebagian lagi dengan senyuman. Kampung Ngaren memang dikenal sulit untuk "dimasuki" oleh para penguasa dan pemilik modal. Warga Kampung Ngaren sangat menghormati ulama mereka secara turun-temurun.

Mbah Trimah hanya bisa pasrah menuruti kemauan Sugeng. Tidak banyak yang bisa dilakukannya, terlebih dengan usianya yang renta, selain menuruti kemauan Sugeng. Hampir sepuluh kali Sugeng ganti motor hanya dalam hitungan kurang dari lima tahun. Masih mending kalau gantinya karena rusak. Sugeng ganti motor karena menuruti gengsi.

"Mbah, uang muka atau cash?" tanya Parji, petugas dealer yang menangani penjualan motor Sugeng. Parji sudah tahu persis jika motor itu tak akan bertahan lama di tangan Sugeng.

"Kalo uang muka berapa?" tanya Mbah Trimah.

"Empat, Mbah," tukas Parji.

Mbah Trimah mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah dari balik kembennya. Sementara Sugeng sudah nongkrong di samping motor yang akan dibawa oleh petugas dealer ke rumahnya.

Motor buat Sugeng sudah seperti jimat. Termasuk jimat pemikat. Tak cuma motor, Sugeng juga gemar mendekati para bunga desa. Bagaimana tidak? Setiap hari ia berkeliling Kampung Ngaren juga sampai ke kota Yogyakarta untuk mengantarkan penumpang. Di jalanan, sudah pasti banyak yang ia lihat, termasuk para bunga desa yang saat itu sedang menyapu halaman rumah, mengangkut barang dagangan, atau hendak sekolah ke kota.

Hingga suatu ketika bertemulah Sugeng dengan Wati, bunga desa asal Kampung Watu Blencong yang berselisih lima tahun lebih muda ketimbang Sugeng. Dengan pekerjaan sebagai tukang ojek yang penghasilannya kembang kempis, Sugeng meminta Mbah Trimah mengadakan pesta besar-besaran untuk acara pernikahannya: Dalang Mukri tiga malam suntuk.

"Sugeng minta diadakan wayangan," tegas Sugeng.

Untaian kalimat Sugeng itu sudah menjadi seperti sabdo pandhito ratu: perkataan yang tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa diralat, apalagi ditolak.

Mbah Trimah bahkan sampai mengundang aparat kecamatan, termasuk Pak Camat, di bangku khusus dengan sajian khusus: sop daging sapi. Pagi hari pertama, bertepatan dengan hari pasaran Pon, membuat jalan di depan rumah Sugeng tidak bisa dilalui kendaraan-kendaraan pedagang dari Sleman dan Bantul. Mereka harus memarkir colt dan truknya di sebelah timur pasar dan menyewa para kuli pasar untuk mengangkuti barang menerobos para penonton wayang yang khusyuk mengikuti goro-goro hingga pagi. Bukan hanya di pinggir jalanan, kebun-kebun di sekitar rumah Sugeng pun "disulap" menjadi warung-warung bakso, mi ayam, soto, dan kopi kagetan.

Saat dilamar Sugeng, Wati sebenarnya adalah janda satu anak yang ditinggal suaminya ke Kalimantan. Kabarnya, di Kalimantan sudah jadi orang sukses dan telah pindah kependudukan. Ia hanya mewariskan dua hadiah untuk Wati, surat cerai dan Asih yang baru menginjak usia tiga bulan.

Namun Wati adalah sosok yang tangguh dan sederhana. Ia menitipkan Asih ke ibunya untuk ditinggal pergi bekerja bergabung dengan perempuan-perempuan Kampung Tegalsari lainnya memetik daun teh di kawasan Perbukitan Menoreh. Wati akan berangkat sebelum subuh menuju perempatan Kampung Tegalsari, bersama yang lain, menunggu truk yang akan mengangkut mereka datang. Saat matahari terbit, Wati sudah mulai bekerja memanen daun teh milik Perkebunan PTP XII. Menjelang senja, Wati sudah tiba di rumah membawa kebutuhan harian dan oleh-oleh untuk Asih.

Di perkebunan itu Wati dibayar harian. Uang harian itu cukup untuk membantunya memenuhi kebutuhan harian, terutama untuk membesarkan Asih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun