Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Labirin

2 Maret 2022   07:33 Diperbarui: 2 Maret 2022   07:36 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Motor buat Sugeng sudah seperti jimat. Termasuk jimat pemikat. Tak cuma motor, Sugeng juga gemar mendekati para bunga desa. Bagaimana tidak? Setiap hari ia berkeliling Kampung Ngaren juga sampai ke kota Yogyakarta untuk mengantarkan penumpang. Di jalanan, sudah pasti banyak yang ia lihat, termasuk para bunga desa yang saat itu sedang menyapu halaman rumah, mengangkut barang dagangan, atau hendak sekolah ke kota.

Hingga suatu ketika bertemulah Sugeng dengan Wati, bunga desa asal Kampung Watu Blencong yang berselisih lima tahun lebih muda ketimbang Sugeng. Dengan pekerjaan sebagai tukang ojek yang penghasilannya kembang kempis, Sugeng meminta Mbah Trimah mengadakan pesta besar-besaran untuk acara pernikahannya: Dalang Mukri tiga malam suntuk.

"Sugeng minta diadakan wayangan," tegas Sugeng.

Untaian kalimat Sugeng itu sudah menjadi seperti sabdo pandhito ratu: perkataan yang tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa diralat, apalagi ditolak.

Mbah Trimah bahkan sampai mengundang aparat kecamatan, termasuk Pak Camat, di bangku khusus dengan sajian khusus: sop daging sapi. Pagi hari pertama, bertepatan dengan hari pasaran Pon, membuat jalan di depan rumah Sugeng tidak bisa dilalui kendaraan-kendaraan pedagang dari Sleman dan Bantul. Mereka harus memarkir colt dan truknya di sebelah timur pasar dan menyewa para kuli pasar untuk mengangkuti barang menerobos para penonton wayang yang khusyuk mengikuti goro-goro hingga pagi. Bukan hanya di pinggir jalanan, kebun-kebun di sekitar rumah Sugeng pun "disulap" menjadi warung-warung bakso, mi ayam, soto, dan kopi kagetan.

Saat dilamar Sugeng, Wati sebenarnya adalah janda satu anak yang ditinggal suaminya ke Kalimantan. Kabarnya, di Kalimantan sudah jadi orang sukses dan telah pindah kependudukan. Ia hanya mewariskan dua hadiah untuk Wati, surat cerai dan Asih yang baru menginjak usia tiga bulan.

Namun Wati adalah sosok yang tangguh dan sederhana. Ia menitipkan Asih ke ibunya untuk ditinggal pergi bekerja bergabung dengan perempuan-perempuan Kampung Tegalsari lainnya memetik daun teh di kawasan Perbukitan Menoreh. Wati akan berangkat sebelum subuh menuju perempatan Kampung Tegalsari, bersama yang lain, menunggu truk yang akan mengangkut mereka datang. Saat matahari terbit, Wati sudah mulai bekerja memanen daun teh milik Perkebunan PTP XII. Menjelang senja, Wati sudah tiba di rumah membawa kebutuhan harian dan oleh-oleh untuk Asih.

Di perkebunan itu Wati dibayar harian. Uang harian itu cukup untuk membantunya memenuhi kebutuhan harian, terutama untuk membesarkan Asih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun