"Ke mana Yu?" tanya Sugeng.
"Arah Pandansari, bawah lapangan voli," kata Yu Marni.
Sugeng menembus kabut pagi disambut kloter para pedagang pasar yang berjalan kaki hendak menuju ke pasar. Sesekali Yu Marni menyapa sebagian mereka yang berpapasan dari atas jok sepeda motor.
Sepulang mengantar Yu Marni, Sugeng kembali ke pangkalan. Uang dari Yu Marni ia gunakan sebagian untuk membayar kopi dan beberapa sisir pisang goreng di warung Yu Darsih.
"Yu, isih ono anggur?"
"Piro, Geng?"
"Siji wae, Yu," kata Sugeng.
Sugeng sering membeli sebotol anggur ketan hitam di warung Yu Darsih. Kebiasaan meminum minuman keras itu dilakukannya sejak putus sekolah. Ia bahkan tersalip adiknya ketika SMP yang berselisih tiga tahun. Otaknya memang tidak seencer adiknya, Sukri. Ditambah tabiat keras dan suka melawan aturan membuat sekolahnya berantakan. Uang sekolah yang harusnya ia bayarkan ke sekolah, justru ia gunakan untuk membeli rokok. Di waktu yang lain, pagi ketika teman-temannya menuju sekolah untuk belajar, ia justru sering mangkir ke rumah Mbah Sukar, adik kandung Mbah Trimah, untuk tidur sampai jam sekolah usai.
Sugeng memasukkan botol anggur itu ke balik jaket kulitnya. Kembali ke pangkalan menunggu penumpang berikutnya. Akrab dengan sepeda motor membuat Sugeng dekat dengan para anggota geng motor. Di Kampung Ngaren, yang merupakan jalur penghubung dua provinsi, geng-geng motor itu sering bermunculan terutama ketika akhir pekan. Apalagi jika ada tontonan ndangdutan atau wayangan.
Merasa ingin menjadi bagian dari identitas, Sugeng meminta Darno untuk membuat tato di tubuhnya. Di bagian dada, Sugeng meminta dibuatkan dua nama mantan pacarnya. Di bagian punggung, Sugeng meminta dibuatkan tato naga. Dan yang paling membuat Sugeng sangat bangga adalah di bagian lengan kanannya, ia meminta Darno menggambarkan sebuah keris tujuh luk.
Hampir setiap rumah di Kampung Ngaren menyimpan benda pusaka tersebut. Termasuk Mbah Pardi. Mbah Pardi biasanya akan masuk ke dalam kamarnya setiap malam Jumat Kliwon. Menggunakan bantuan kursi jati, Mbah Pardi memungut sebuah benda berbungkus kain kafan dari atas lemari. Ada tiga bungkusan yang ia ambil. Keris pertama bernama Kanjeng Mahesa. Keris kedua bernama Pangeran Suto. Dan keris ketiga bernama Nyai Teluh.