Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Labirin

2 Maret 2022   07:33 Diperbarui: 2 Maret 2022   07:36 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbah Pardi meletakkan setiap keris itu di atas baki beralas kafan putih. Mbah Pardi kemudian mengeluarkan seperti rempah wangi dan memanjatkan doa yang lebih menyerupai mantra. Jika keris-keris itu dibawa ke tempat Mbah Sukro, keris-keris itu dapat bergerak sendiri sesuai dengan arahan Mbah Dirgo.

Keris tujuh luk itu diminta oleh Sugeng sebagai "penyatuan" terhadap alam gaib. Keris itu adalah benda pusaka yang diminta oleh Mbah Dirgo untuk disimpan di kediamannya. Di sebuah rumah di kaki Gunung Gajah. Sugeng menyerahkan keris itu sebagai syarat agar keinginannya menjadi polisi terwujud. Yang ironisnya, Sugeng justru malah merajah tubuhnya di mana-mana. Bisa jadi Sugeng sudah bosan dan tak sabar menunggu kabar diterimanya menjadi perwira.

        "Mbah, syaratnya apa biar jadi polisi?"

        "Puasa putih tujuh hari, mandi kembang malam Jumat Kliwon, dan pergi ke Suroloyo di tanggal 1 Suro," terang Mbah Dirgo.

        "Ke Suroloyo buat apa Mbah?"

        "Sama Mbah cari wangsit."

        "Kamu punya uang berapa, Le?"

        "Adanya segini, Mbah," terang Sugeng sambil menunjukkan beberapa lembar uang polymer berwarna biru kehijauan bergambar Bapak Pembangunan Indonesia. Sugeng meletakkan lembaran-lembaran itu di depan Mbah Dirgo, di samping kemenyan bakar yang baunya merasuk ke hidung.

Sugeng begitu berambisi untuk menjadi polisi. Baginya, sepertinya terlihat gagah bisa pulang kampung berseragam coklat dan bertopi dinas. Dari segi tradisi, orang-orang di Kampung Ngaren juga cenderung tanpa logika mengagungkan sosok polisi, menyamakan, bahkan melebihkannya ketimbang tutur agung Pak Kyai. Hanya dengan menyebut "Bapaknya Polisi", "Anaknya Polisi", urusan di Kampung bisa semudah membalikkan kedua telapak tangan.

        Mbah Trimah menggigit jadah terakhirnya. 

        Tidak sekali, Sugeng pergi menemui Mbah-mbah untuk meminta bantuan agar bisa menjadi polisi. Termasuk Mbah Dirgo. Kadang Sugeng juga menemui aparat polisi yang sering patroli ke kampung saat ada acara Agustusan atau hajatan kawinan. Saat para aparat polisi itu menanyakan berapa persekot uang yang Sugeng punya, Sugeng biasanya langsung mental. Ciut nyali. Dan akhirnya, Mbah Dirgo-lah senjata pamungkasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun