Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sugeng

2 Maret 2022   05:15 Diperbarui: 2 Maret 2022   05:20 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tiba-tiba Sugeng menatap nanar ke arah bawah. Ia terdiam sejenak. Legiman pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

“Kemarikan aritnya, Geng,” ucap pelan Legiman.

Legiman pun meminta Sugeng segera turun dari pohon. Udin yang dari tadi hanya melongo karena ketakutan kini hanya terdiam membisu dan mencoba untuk membantu Legiman membawakan arit yang tadi dibawa Sugeng.

Sugeng mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Ia mengingat anak semata wayangnya, Asih, yang baru tumbuh dalam belaian Mbah Trimah. Kelopak mata Asih membuyarkan semua emosi tak terkendali dalam dirinya. Ia pulang ke rumah dipapah Legiman dan diikuti Udin di belakangnya.

Bukan kali ini saja Sugeng melakukan hal seperti itu. Setiap permintaan apa pun yang diinginkannya dan tidak dituruti oleh Mbah Trimah, maka Sugeng langsung menyertainya dengan ancaman. Sebagian cuma sebatas lisan, namun lebih banyak disertai dengan tindakan: lemari ambrol, tembok jebol, piring terbang, atau jendela rumah penyok.

Sugeng seperti lupa atau malah justru tidak sadar kalau dirinya saat ini adalah seorang bapak bagi Asih. Yang seharusnya memberikan didikan, menjadi penunjuk jalan, syukur lagi menjadi contoh yang dibanggakan.

Mbah Trimah menanti cemas kepulangan Sugeng. Matanya tak lagi berkaca-kaca tetap sudah sembam. Bukan hanya di saat-saat menndebarkan seperti ini air matanya tumpah. Tetapi lebih utamanya ketika berzikir di pengujung malam.

Dulu, ketika Asih masih hidup, beban pikirannya masih dapat ia bagikan. Hanya dengan bercerita kepada Asih, dengan sesekali sambil dipijit Asih, pikirannya merasa lebih tenang. Ada yang menghiburnya dan mau mendengarkan keluh kesahnya.

Asih pula yang menemaninya merawat Mbah Pardi selama berbulan-bulan di pembaringan di rumah. Asih yang menyiapkan sarapan Mbah Pardi, Asih yang mencuci kain pesing Mbah Pardi, Asih pula yang bergantian dengan Mbah Trimah mengelap badan Mbah Pardi.

Hampir setiap malam Mbah Pardi selalu mengulang-ulang istigfar selama di pembaringan.

“Astagfirullah … astagfirullah,” demikian berulang-ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun