“Mbah, niki jadahipun, didahar.”
“Iya, Nduk, kamu sudah mandi?”
“Sampun, Mbah.”
“Bapak ... wis?”
Asih hanya terdiam. Wajahnya tertunduk sambil menggeser letak poci yang baru saja dibawanya. Kain baju atasnya tampak basah. Mbah Trimah melihat bekas luka yang ada di pelipis kiri Asih. Mbah Trimah memahami persis arti gerak tubuh Asih.
“Sing sabar ya, Nduk.”
“Nggih, Mbah.”
“Genduk pergi dulu ya, Mbah.”
“Klambimu, Nduk.”
Mbah Trimah memandang lekat-lekat gerak Asih. Asih kemudian meraih punggung jemari tangan Mbah Trimah, mendekatkannya ke kedua bibirnya dan menciumnya. Asih lalu beringsut pergi masuk ke dalam rumah untuk mengganti bajunya.
Bagi Mbah Trimah, Asih tampak lebih dewasa dibandingkan dengan teman sebaya seusia di kampungnya. Ia lahir saat ibunya masih dalam perjalanan menuju Puskesmas Panti Waluyo. Seperti ibunya, Asih tumbuh mewarisi kesabaran, kasih sayang, dan semangat pantang menyerah ibunya. Menjadi sebuah berkah saat ibunya memberi nama yang terbaik untuknya.