“Mbah, menawi Asih dos pundi Mbah?”
“Yo apik, Nduk.”
“Wati ingin Asih nanti bisa jadi orang baik buat orang lain. Bisa memberikan kasih dan sayangnya untuk siapa pun. Tidak mengharap imbalan atau pujian.”
Mbah Trimah kembali tersedu. Lamunannya beralih ke sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, pagi buta. Tetes air hujan masih lengket di atas permukaan tanah-tanah liat kecokelatan. Laba-laba tampak masih terkantuk di sarangnya. Wati, hendak mengambil palawija dan talas di hutan. Dengan menggendong sekarung mendil, Wati mulai melangkah melibas alang-alang dan gulma di sepanjang jalan menuju hutan Tegalgede.
Wati melewati kebun Wo Tulus. Biasanya pagi itu Wo Tulus sudah terlihat menyiangi tebaran rempah daun kering di kebunnya. Dan saat kembali melintas sepulang dari hutan, biasanya akan terlihat Wo Tulus sudah bersiap atau sedang menggendong rerumputan untuk dijadikan pakan kambing-kambing peliharaannya.
Saat menjelang hutan Tegalgede, permukaan jalan masih licin. Wati berjalan pelan-pelan menyusuri perkebunan singkong sebelum kemudian sampai di dekat tebing. Di sisi kanan tebing, dengan lebar jalan tak lebih dari setengah meter, terbentang jurang tanpa pembatas jalan. Sedangkan di sisi kiri atas tebing, sebuah batu besar nan tajam tepat di atas kepala. Wati harus merundukkan tubuhnya dan menapakkan telapak kakinya perlahan agar tidak terpeleset ataupun terkena pipih batu jalanan.
Nahas, saat kaki kanannya terayun, permukaan jalan yang ada di bawahnya tiba-tiba bergerak. Membelah. Wati mencoba mencari tempat untuk bergantung. Permukaan batu besar itu begitu tajam. Masih ada sisi yang longgar di bagian tengah atasnya. Namun tak mampu ia raih dengan badannya yang mungil. Ditambah beban di punggungnya. Perlahan, tanah itu mulai luruh bergerak ke arah bawah.
“Gruduk….!”
Wati hanya bisa pasrah. Tubuhnya terhanyut, bersama gendongan di punggungnya yang terlepas, ia menuruni dinding jurang bersama tanah liat dan bebatuan. Sebelum kemudian terguling dan terkubur tanah di jurang yang dalam.
“Mbah … Mbah … Mbah!”, Wo Tulus berteriak mencari Mbah Trimah.
“Ono opo Wo?”