Napasnya terengah-engah. Sepasang tangan rentanya menggedor-gedor pintu rumah Legiman.
“Mbah, Mbah,” Legiman terlihat berlari dari dalam rumah.
“Si Sugeng, Man! Mlayu ke Tegalgede! Susulen, Man!”
Tanpa pikir panjang Legiman langsung angkat kaki mengejar Sugeng. Udin, tukang kredit keliling yang menjadi langganan Mbah Trimah yang saat itu baru saja nongol langsung menyandarkan sepeda motor GL100-nya ikut mengejar Sugeng. Ia tak pedulikan lagi kunci kontak yang masih menancap di lubang kunci sepeda motornya.
“Arah pundi, Mbah?”
“Tegalgede, Din”
Sugeng terus berlari menembus semak-semak. Kakinya sudah akrab dengan bebatuan dan kerikil di sepanjang perjalanan menuju Tegalgede. Ia melintasi sisi timur pemakaman umum, hanya berjarak tak lebih dari sepuluh meter, di sisi atas pemakaman dekat kamboja, jasad Wati dikuburkan.
Setelah menyeberangi jalan utama desa, Sugeng sudah masuk ke kawasan Tegalgede. Tak berapa lama, Legiman dan Udin pun menyusul. Setiba di tengah hutan, keduanya mendapati Sugeng sudah berada di sebuah dahan pohon nangka. Tangan sebelah tangannya terlihat menggenggam tali tambang dan sebatang arit ia selipkan di belakang celananya.
“Mudun Geng!” pinta Legiman.
Sugeng tak bergeming. Ia terus menalikan tali mati tambang itu dan melingkarkan ke lehernya.
“Geng, ingat Asih Geng!” teriak Legiman kali ini dengan nada agak tinggi.