“Niki jarike Wati Mbah?”
Pemakaman Wati berlangsung dalam keadaan dibalut kesedihan. Orang-orang kampung terharu akan kesantunannya terhadap sesama. Namun yang membuat mereka merasa sedih terlebih dengan keberadaan Asih yang masih berusia tiga tahun. Asih satu-satunya anak yang dilahirkan dari rahim suci Wati.
Hanya selang lima hari setelah pemakaman, Sugeng menemui Mbah Trimah.
“Aku mau ganti motor,” kata Sugeng.
“Kowe mbok eling sama istrimu to, Le, seminggu juga belum ada, tanahnya juga belum kering,” kata Mbah Trimah.
Sugeng langsung memalingkan muka pergi. Dengan raut muka kesal ia pergi ke kandang kambing. Mengambil seutas tambang yang sudah disiapkannya dan sebatang arit tajam.
“Geng!” Mbah Trimah yang melihat hal itu mencoba untuk mengingatkan Sugeng. Namun Sugeng tak menggubrisnya. Ia terus berjalan terburu-buru dan perlahan menghilang di semak-semak hendak menuju hutan.
Mbah Trimah berteriak histeris.
“Man! Mann! Gimaann … Sugengg!”
Ia berteriak memanggil Legiman, menantu Mbah Tugiran.
“Mann! Gimaann …!”