"Serius?"
"Iya serius."
"Sama aku serius?"
Aku memberanikan diri untuk mengatakan kalimat itu meskipun hanya berupa text dan balasannya cukup lama. Mungkin berpikir, jawaban apa yang cocok dan tidak menyakitiku.
"Hahaha enggak usah bingung jawabnya gimana, Mas. Aku cuma bercanda kok, tenang aja."
Padahal aku ingin sekali membaca jawabannya.
"Aku cuma ingin fokus bekerja, membahagiakan orang tua dan punya rumah sendiri. Aku nggak mau terlalu mikirin hal kayak gitu."
"Iya aku tau."
"Jujur, aku sudah mati rasa."
Deg. Ini jawaban dari semua pertanyaan yang selalu bermunculan di kepalaku. Hanya dalam satu tarikan napas semuanya sudah jelas. Dia memang hanya mengucapkan dari mulut, bukan dari hati. Aku mencoba menerima kenyataan. Jatuh, bersusah payah untuk bangkit lagi, diterbangkan lagi kemudian dijatuhkan oleh orang yang sama. Kuucapkan sumpah serapah pada diri sendiri. Bodoh sekali aku ini, mudah percaya dengan seseorang yang sudah jelas tidak akan pernah kembali. Bodoh sekali, kenapa harus menanggapinya dengan hati bukan dengan otak.
Kenapa begitu mudah terkecoh dengan ucapannya yang semu? Kenapa mudah sekali tergoda dengan rayuannya? Sedangkan dengan laki-laki lain mataku terasa gelap dan buta. Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa Tuhan harus mempertemukan aku dengannya? Manusia macam apa dia yang berani-beraninya tinggal di bumi?