Ujang dan rekannya mendapat pembinaan dari program pemberdayaan masyarakat sebuah perusahaan HTI, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Ia mengisahkan tertarik usaha madu hutan ini berawal dari keluarganya yang sering mengambil madu, namun hanya untuk konsumsi sehari-hari. Kemudian ia sempat berpikir untuk mengelola madu agar bisa dipanen dalam jumlah besar dan berkelanjutan.
"Dulu itu namanya panen kanibal, untuk mengambil madu semua sarang dibabat habis, anak-anaknya juga ikut mati, sarang dikorbankan," tutu Ujang.
Setelah itu, mereka baru bisa panen madu empat bulan ke depan. Itupun jika lebah bersarang kembali. Barulah sejak bergabung menjadi mitra bina RAPP di tahun 2014, Ujang mulai mengerti dengan sistem panen madu lestari. Sehingga panen dapat dilakukan setiap bulan.
Untuk mendapatkan madu hutan sialang, perlu kesabaran dan mengikuti adat istiadat serta budaya masyarakat setempat. Seperti di Kelurahan Pelalawan, Riau, Ujang dan rekan harus memanen madu pada malam hari. Tak jarang, unsur-unsur mistik pun menemani setiap perjuangan memperoleh madunya. Belum lagi resiko-resiko besar yang harus dihadapi ketika memanjat pohon.
“Tidak bisa sembarangan, bahkan bicara kita juga harus sopan, tidak takabur apalagi bicara kotor, bisa-bisa kita malah dapat bala,” tukasnya.
Jika waktu panen tiba, maka Ujang dan rekannya berangkat ke lokasi sekitar pukul 20.30 WIB. Melewati perjalanan darat dan sungai, ditambah jalan kaki menelusuri hutan sekitar 1-2 kilometer di malam hari, akhirnya Ujang sampai di pohon sialang sekitar pukul 22.00 WIB.
“Sampai di sana kita tidak langsung manjat, tapi kita bacakan dulu lagu syaratnya dan memukul pohon sialang, jika terdengar bunyi seperti mengaum, barulah kita naik,” jelas Ujang.
Namun, jika pohon tidak mengeluarkan bunyi saat dipukul hingga tiga kali, Ujang dan rekannya harus membatalkan rencana untuk memanjat. Sebab, jika dipaksakan maka akan beresiko bagi pemanjat, seperti terjadi angin kencang di atas hingga kemunculan ‘sang datuk’ (harimau) yang dipercaya sebagai penjaga wilayah di sana.
“Ketika mengambil madu, kita harus memberi jatah kepada ‘datuk’ berupa satu santang madu, yang dilempar dari atas oleh pemanjat,” tuturnya.
Memperkuat Ketangguhan Masyarakat
Usai berkunjung ke RMA, kami kemudian bertemu dengan Manajer CD RAPP, Binahidra Logiardi. Beni sapaan akrabnya menjelaskan program Rumah Madu Andalan ini dapat berkontribusi kepada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terutama pada nomor 1, 4, 8, dan 9.
“Jadi kita membantu pelatihan dan pendampingan masyarakat sehingga dapat memanfaatkan potensi lokal untuk meningkatkan pendapatan atau mata pencaharian yang berkelanjutan. Diharapkan jiwa kewirausahaan masyarakat tumbuh, serta tetap mampu bertahan dalam keadaan krisis, seperti kondisi COVID-19 saat ini.” pungkasnya.