[caption caption="Dua unit usaha Asia Pulp & Paper (APP), yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk meraih penghargaan Indonesia’s Most Admired Company (IMAC) untuk kategori paper (kertas) | liputan6.com"][/caption]Komitmen Asia Pulp & Paper Group (APP) dalam mendukung perlindungan dan restorasi satu juta hektar lahan di Indonesia, layak mendapatkan dukungan dan apresiasi, karena upaya restorasi hutan lahan merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon dunia.
Komitmen APP tersebut diumumkan pada acara Global Forest and Climate Change Programme yang diselenggarakan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) di ajang COP21 (Conference of Parties ke-21) di Paris, beberapa waktu yang lalu.
Dalam penjelasannya yang dikutib sinarhapan.co, Managing Director Sustainability APP, Aida Greeny ini menjadikan APP sebagai perusahaan swasta pertama dan satu-satunya yang komitmennya dalam perlidungan dan restorasi lahan yang approve (diterima) dalam Bonn Challenge.
Inisiatif global yang digagas Bonn Challenge, bertujuan merestorasi 150 juta hektar lahan terdegradasi pada tahun 2020 Â dan menjadi 350Â juta hektar di tahun 2030. Â Sampai dengan saat ini Bonn Challenge telah berhasil merestorasi lahan seluas 86.03 juta hektar atau sekitar 57 persen dari target.
Bonn Challenge berperan penting dalam menetapkan agenda bagi korporasi global, termasuk sektor swasta dan publik, untuk bekerja sama dalam melindungi dan merestorasi hutan di dunia, inilah menjadi tugas utama Bonn Challenge. Â Upaya yang dilaksanakan oleh Bonn Challenge hanya dapat berhasil jika para pemangku kepentingan bekerja sama untuk memastikan bahwa hutan di seluruh dunia dikelola dengan benar dan mendukung target-target perubahan iklim yang lebih luas.
Bonn Challenge sendiri diawasi oleh Kemitraan Global untuk Restorasi Lansekap Hutan  (Global Partnership on Forest Landscape Restoration), dengan International Union for Conservation of Nature (IUCN) memegang posisi sekretariat.  Bersama pemimpin 30 negara dan organisasi internasional,  APP turut menyusun inisiatif global untuk merestorasi hutan dunia dengan menggunakan pendekatan lansekap.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan siap berkontribusi dalam komitmen restorasi bentang alam skala nasional sebagai bagian dari Bonn Challenge. Pemerintah akan mengajak partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan kalangan bisnis.
Dalam kurun waktu lima tahun kedepan, Pemerintah Indonesia berencana merestorasi 2 juta hektare lahan gambut, Restorasi akan dilakukan oleh Badan Restorasi Ekosistem Gambut.
[caption caption="Kebarahan lahan yang terjadi pada musim kemarau tahun 2015 | kompas.com"]
Kenyataaan dan kejadian dilapangan, membuat rencana dan target yang  dibuat pemerintah menjadi semakin sulit dicapai, apalagi dengan adanya sikap mendua terhadap para pelaku perambah hutan dan pembakar lahan.  Beberapa hal berikut ini bisa menjadi hambatan serius, jika dibiarkan berlarut-larut :
- Perusahaan-perusahaan yang dijadikan mitra oleh pemerintah dalam skema REDD maupun penanggulangan kebakan lahan, ternyata perusahaan ini disinyalir terlimbat cukup dalam pada bencana asap pada bulan Juni-September tahun 2015.
- Adanya semacam keragu-raguan dari para penegak hukum untuk menjatuhkan sangsi yang sesuai dengan pelanggaran para perusak lingkungan. Â Hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
- Pemerintah tidak transparan dalam menentukan perusahaan yang diduga terlibat, merusak lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Lemahnya koordinasi antara kementrian dan departemen terkait, sehingga terlihat masing-masing kementrian dan departemen berjalan sendiri-sendiri.
- Masih terjadinya tebang pilih dalam penegakan hukum, terhadap para perusak lingkungan dan hutan.
Ini baru sebagian kecil dari begitu banyak masalah yang bisa menjadi batu sandungan pemerintah.
Sementara itu, komitmen APP sendiri bukan merupakan cerita baru, pada tanggal 05 Februari 2013, APP sudah menegaskan bahwa bahan baku pulp tidak lagi menggunakan bahan baku yang berasal dari alam semuanya dari hutan tanaman. Â Untuk menyiasatinya, APP bermitra dengan berbagai perusahaan yang memegang konsesi IUPHHK maupun yang memegang konsesi HTI.
[caption caption="Spanduk yang isinya meminta APP menghentikan deforestasi hutan | id-desain.com"]
Komitmen yang didengungkan oleh APP masih sebatas kampanye publik dan reklame perusahaan untuk menutupi citra yang terlanjur tercoreng moreng karena pengelolaan hutan yang tidak lestari. Â Ambisi APP menjadi perusahaan kertas tersebesar salah penyebab mengapa komitmen APP hanya terbatas pada komitmen saja.
Untuk diketahui, Â sekalipun APP sudah menyatakan akan melakukan restorasi dengan Bonn Challenge, tidak ada sangsi yang jelas jika APP gagal dan terlalu banyak alasan yang bisa digunakan untuk menutupi kegagal dibelakang hari. Â Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan perusahaan tersebut dalam merestorasi hutan, harus dipahami bahwa merestorasi wilayah seluah satu juta hektar bukanlah pekerjaan gampang.
Gambar sederhana saja, tidak ada satupun perusahaan (baik itu pemegang konsesi IUPHHK maupun HTI) yang memiliki lahan sampai satu juga hentar untuk satu perusahaan. Â Sebagai bahan perbandingan, Â Negara sampai dengan saat ini hanya baru berhasil :
- Merestorasi lahan tadus seluas kurang lebih 200.000 ha, dari 15.565.990 lahan tandus.
- Merestorasi degradasi hutan seluas 200.000 ha dari 6.235.0000 luas hutan yang sudah mengalami degradasi.
- Bahkan untuk daerah aliran sungai (DAS) dan pengendalian erosi masih belum terealiasi dari total wilayah 6.014.000 ha.
Adalah wajar jika saat ini APP berusaha membangun citra kelestarian yang baik. Â Namun, APP harus bekerja sangat keras dan sudah berkali-kali APP maupun Sinar Mas diterpa isu yang tidak sedap dan kebanyakan terkait dengan aspek lingkungan dan kelestarian.
World Wide Fund for Nature (WWF),  dalam laporannya yang bertajuk SMG/APP Deforestation and Deadly Human-Tiger Conflict,  menilai bahwa APP telah gagal melaksanakan komitmen ekologisnya dalam beberapa kasus, misalnya APP gagal melindungi hutan yang ditunjuk sebagai suaka harimau, APP juga dinalai gagal mempertahankan keuntuhan wilayah yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value (HCV)) bahkan WWF juga menilai,   bahwa kawasan hutan yang dipromosikan sebagai bagian dari Giam Siak Kecil-Bukit Batu UNESCO Man and Biosphere Reserve, gagal dikelola oleh APP.
WWF, secara gamblang menggambarkan terjadinya konflik antara harimau dan manusia yang mengakibatkan jatuhnya korban nyawa antara tahun 1997 sampai 2009, terjadi didekat wilayah terjadinya deforestasi  hutan yang konsesinya dikuasai oleh pemasok bahan baku ke APP.  Dari laporan WWF,  telah terjadi 245 konflik, yang mengakibatkan kematian bagi 27 orang dan delapan ekor harimau.
Pada tanggal 4 Mei 2012, Koalisi Bersama Anti Mafia Hutan, menyebutkan dalam siaran persnya, adanya 12 pejabat publik termasuk Gubernur Riau dan mantan Menteri Kehutanan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi karena dugaan keterlibatan dalam kasus penebangan hutan di Riau.
Bahkan baru-baru ini, toko Online RedMart menarik semua komoditi kertas produk Asia Pulp & Paper (APP), setelah Badan Lingkungan Hidup Nasional (NEA) Singapura menyatakan akan memulai penyelidikan pada perusahaan yang diduga membakar hutan di Indonesia.  Penarikan itu termasuk kertas tisu merk Paseo dan NICE. RedMart mengatakan penarikan berkaitan dengan investigasi NEA.Â
Dan masih banyak kasus-kasus lain, bahwakan yang kasus kehilangan nyawa karyawannya sendiri karena tidak kekerasan. Â Melihat latar belakang yang carut marut, bukanlah sesuatu yang aneh jika komitmen APP hanya sebatas komitmen yang belum tentu terealiasi.
Kenyataan dan bayang-bayang buruk yang membayangi APP mau tidak mau akan mempengaruhi target realisasi pemerintah dalam mengurangi emisi karbon. Â Karena selain pemerintah dalam hal ini Kementrian LingkunganHidup dan Kehutanan, pihak swasta menjadi mitra tersebar pemerintah dalam melaksanakan pembangunan hutan yang sudah terlanjur rusak.
Gagalnya pemerintah menerapkan sanksi pidana secara maksimal kepada pelaku kejahatan lingkungan akan membuat perusahaan yang selama ini masih memanfaatkan kelemahan kontrol pemerintah dan rendahnya hukuman oleh aparat hukum memiliki waktu untuk terus menerus melakukan upaya yang sama.
Mengapa hal ini bisa terjadi? kesalahan didepan mata dan terang benderang saja masih bisa lolos dari jerat hukum? karena penegak hukum dan terhukum sudah tidak ada bedanya lagi. Â Penegak hukum membengkokkan hukum demi"sesuatu" sementara terhukum membengkokkan hukum karena memberi "sesuatu". Klop sudah dan hutan masih akan terus merasa sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan.Â
Sumber :
- Sinarharapan.co
- REDD+ Readiness Preparation Proposal (R-PP), pada bulan mei 2009, Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), menerbitkan laporan yang berkaitan dengan Kondisi Hutan Indonesia dan Emisi Karbon.
- REDD+ Strategy, pada bulan Juni 2012
- National Climate Strategies & Plans, 2nd Nasional Comunications
- Emission Reductions Program Idea Note (ER-PIN),
- Presidential Regulation 61: National Action Plan for GHG Emissions Reductions (RAN-GRK) (2011)
- Forest Investment Program (FIP)Global Environment Facility (GEF)wn
- Lembaran Fakta yang diterbirkan oleh Walhi, JIkalahari dan WBH dan Publikasi APP
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H