Malam minggu, jalan dan jajan di sekitar Alun-alun Bekasi yang terletak di JL. Veteran sudah biasa bagi saya bersama Dik Mei. Yang luar biasa, ada hal yang membuat wawasan saya bertambah malam minggu ini. Ada hal yang membuat pikiran saya terbuka dan ada hal yang membuat saya harus saling mendengar serta didengar.
Perihal tersebut adalah sebuah diskusi yang bertajuk 'Sinergi Perpustakaan Jalanan Bekasi'. Perpusjal Riung Baca, yang bermarkas di Pendopo Alun-alun Bekasi, menuanrumahi lapakan buku malam ini, Sabtu (12/01). Turut hadir juga teman-teman dari Perpusjal Langit Tjerah, Perpusjal Atap Usang, Perpusjal Bekasi, TBM Rumah Pelangi Bekasi, dan beberapa komunitas lainnya.
Saya datang terlambat. Diskusi mengenai 'Peran Perpustakaan Dalam Sebuah Kota Urban' yang dipantik oleh Vrandes Setiawan (Langit Tjerah) sedang berjalan ketika saya datang. Agaknya suasana sudah memanas.
Saya segera duduk dan mencoba fokus pada diskusi. Saya melihat beberapa peserta yang hadir menyuarakan pandangannya dengan penuh energi yang menggelora. Semangat sekali.
Saat itu, Agi Gori (Langit Tjerah) menyuarakan keresahannya terhadap buku-buku yang belakangan ini di-sweeping (padahal yang melakukan sweeping juga tidak paham betul buku yang disitanya).
Menurutnya, bukan berarti kita membaca buku yang judulnya berbau PKI, lantas kita menjadi bagian dari partai terlarang itu. Apalagi, buku-buku yang disita tersebut memiliki ISBN dan ijin edar. Artinya, sebetulnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari buku itu.
![(Foto Agi Gori - Langit Tjerah: Dokumen Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/13/img-20190112-213344-1-5c3afbab6ddcae54c6138038.jpg?t=o&v=770)
Tanpa saya sadarai, ada seseorang (penumpang KRL) yang berdiri di samping saya melirik judul dari esai tersebut. Kemudian orang itu berkomentar, "Lagi baca buku PKI ya, Mas?" Saya diam. Tidak menjawab dan tetap melanjutkan bacaan.
Konsentrasi saya sama sekali tidak terganggu sampai... Ya, cuma sampai beberapa detik aja. Sampai seseorang yang tidak saya kenal itu mengeluarkan ponsel lalu memotret saya dengan gaya paparazinya. Sangat disayangkan, lampu kilatnya menyala. Suara shutter camera pun terdengar. Cekrek... Cekrek...
Sontak, saya terkejut. Karena aksinya saya langsung bereaksi, "Loh, apa-apaan ini. Kok foto-foto?"
"Oh. Enggak kok." Jawab orang itu kikuk. Berusaha mengeles layaknya pencopet yang tertangkap basah.
"Kenapa? Masih penasaran sama buku yang Situ anggap buku PKI ini?"
"Enggak, kok. Engak."
"Lantas, ngapain foto-foto?" Dengan senang hati saya menyodorkan buku ini ke orang tersebut sambil bilang, "Mau baca?"
"Loh, enggak gitu, Mas."
"Ambil. Baca aja. Silakan!"
"Maaf, Mas. Saya nggak suka baca."
Bajigur kurang asem. Nggak suka baca, tapi bisa-bisanya menuduh buku ini adalah buku PKI cuma berdasarkan ada kata "PKI" di judulnya. Ini kan nggak lucu.
Oke, kalem dulu. Saya nggak ngegas, kok. Sampai di sini, saya tidak akan menghakimi orang itu punya minat baca yang rendah. Terlebih lagi menghakimi bangsa yang warganetnya makin bijak bestari ini memiliki literasi yang rendah. Tidak. Saya bukan hakim. Tidak ada palu di tangan saya.
Saya tidak akan membahas perihal PKI. Saya juga tidak akan membahas kejadian sweeping buku. Tenang, jangan tegang.
Perilaku semacam ini yang biasa kita temui. Misalnya di dunia maya atau media sosial. Kerap kali saya menemui warganet yang asal berkomentar pada sebuah kiriman tanpa memahami lebih dalam konten kiriman tersebut. Ada juga warganet yang memberi caption/penjelasan tidak sesuai dengan isi artikel atau tulisannya. Tapi lebih mengena pada sebuah judul yang mengundang umpan klik itu.
Misalnya, seseorang berkomentar: "Makanya kalau rakyat mau mengadu jangan pergi. Di sekolah saya masih ada yang gajinya lebih kecil lagi." pada sebuah tautan berita yang berjudul "Ada Guru Swasta Yang Gajinya 300 Ribu, Jokowi: Saya Tidak Percaya". Padahal di dalam artikel tersebut menuliskan bahwa Jokowi sedang bertemu dengan guru-guru honorer yang didampingi oleh ketua PGSI.
Saya merasa di sinilah saya, kamu, kita, dan (khusus) teman-teman pegiat literasi lainnya untuk memainkan peran. Perilaku masyarakat yang hanya dengan membaca sebuah judul lalu dengan begitu sudah bisa mengambil kesimpulan isinya perlu kita arahakan untuk membaca juga isi dari sebuah judul, artikel, berita online, esai, dan tulisan-tulisan lainnya.
Dalam sinergi perpus jalanan kali ini agaknya kita harus lebih kuat lagi untuk bergerak agar terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam membaca. Jadi, warganet yang suka berkomentar dan membaca artikel hanya berdasarkan sebuah judul sudah tidak ada lagi karena bisa memahami kontennya.
Mengenai minat baca, saya pesimis dengan perilaku dari orang-orang yang saya temui di sekitar saya. Mungkin memang benar daya baca kita sangat rendah. Namun begitu bertemu dengan teman-teman semalam, rasa optimis mulai tumbuh. Pada akhir acara Vrandes Setiawan meminta satu kalimat untuk gerakan literasi kita. Dari saya: Tetap konsisten.
Tabik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI