"Kenapa? Masih penasaran sama buku yang Situ anggap buku PKI ini?"
"Enggak, kok. Engak."
"Lantas, ngapain foto-foto?" Dengan senang hati saya menyodorkan buku ini ke orang tersebut sambil bilang, "Mau baca?"
"Loh, enggak gitu, Mas."
"Ambil. Baca aja. Silakan!"
"Maaf, Mas. Saya nggak suka baca."
Bajigur kurang asem. Nggak suka baca, tapi bisa-bisanya menuduh buku ini adalah buku PKI cuma berdasarkan ada kata "PKI" di judulnya. Ini kan nggak lucu.
Oke, kalem dulu. Saya nggak ngegas, kok. Sampai di sini, saya tidak akan menghakimi orang itu punya minat baca yang rendah. Terlebih lagi menghakimi bangsa yang warganetnya makin bijak bestari ini memiliki literasi yang rendah. Tidak. Saya bukan hakim. Tidak ada palu di tangan saya.
Saya tidak akan membahas perihal PKI. Saya juga tidak akan membahas kejadian sweeping buku. Tenang, jangan tegang.
Perilaku semacam ini yang biasa kita temui. Misalnya di dunia maya atau media sosial. Kerap kali saya menemui warganet yang asal berkomentar pada sebuah kiriman tanpa memahami lebih dalam konten kiriman tersebut. Ada juga warganet yang memberi caption/penjelasan tidak sesuai dengan isi artikel atau tulisannya. Tapi lebih mengena pada sebuah judul yang mengundang umpan klik itu.
Misalnya, seseorang berkomentar: "Makanya kalau rakyat mau mengadu jangan pergi. Di sekolah saya masih ada yang gajinya lebih kecil lagi." pada sebuah tautan berita yang berjudul "Ada Guru Swasta Yang Gajinya 300 Ribu, Jokowi: Saya Tidak Percaya". Padahal di dalam artikel tersebut menuliskan bahwa Jokowi sedang bertemu dengan guru-guru honorer yang didampingi oleh ketua PGSI.