Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Distopia Identitas dan Disrupsi Teknologi

19 Januari 2018   18:41 Diperbarui: 19 Januari 2018   20:42 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat pembaruan itu penting, pola identitas semacam ini dapat berpengaruh positif dan bahkan deliberatif saat konteks perjuangannya ada dalam ranah persamaan hak, penghapusan penindasan, inovasi kebijakan, bukan dalam konteks balas dendam dan merisak budaya tertentu secara fundamental.

Pola pikir macam ini yang akan memunculkan pemikiran 'We are what we are not'. Definisi selalu bergantung pada negasi, dan siapapun yang pada akhirnya menjadi kelas penguasa, akan mengulangi dan mengalami hal yang sama terus-menerus.

Dialektika berbasis negasi seperti ini akan menghasilkan oposisi biner dalam identitas politik. Hal inilah yang sedang kita saksikan di Indonesia. Tiap kali ada dukungan atau simpati terhadap pemerintahan atau Jokowi sebagai Presiden, pihak tersebut akan dicap Kecebong, Jokower, Ahoker dan lainnya. Begitupun sebaliknya, jika ada nada kritik ataupun protes terhadap kebijakan atau sosok Jokowi, langsung dicap Kecoak, datarian, onta cabul dan lainnya.

Pada akhirnya, situasi politik semacam ini jika dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan chaos dalam masyarakat. Ketika konflik yang seharusnya vertikal malah menjadi horizontal, kekuasaan akan menemui dua pilihan; runtuh atau mengambil jalan opresi untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Dua pilihan ini diniscayakan oleh konflik tak berujung antar pihak-pihak yang mengusung fanatisme dan fundamentalisme berlebihan terhadap kelompoknya. Tidak akan ada pembangunan berkelanjutan, penguasa baru akan berusaha menonjolkan image-nya sendiri dan meng-klaim hasil-hasil pemerintahan terdahulu sebagai miliknya.

Metode komunikasi yang prosedural mutlak diperlukan. Seperti yang dikemukakan Habermas; Konsensus baru bisa dianggap tercapai apabila ada pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif, dan hal ini bisa tercapai melalui komunikasi yang menyesuaikan bahasa, kepentingan dan latar belakang tiap-tiap subjek dalam ruang publik. Rasio komunikatif selalu berhubungan dengan tindakan sosial.

Perbedaan pendapat dapat diselesaikan melalui argumentasi reflektif antar-subjek. Komunikasi macam ini akan menghasilkan diskursus mengenai klaim-klaim mana yang bisa dianggap sahih secara universal dan partikular. 

Pendekatan 'Pragmatisme Universal' Habermasian fokus pada konteks makna dalam komunikasi. Acuannya adalah norma, latar belakang dan kepentingan tiap-tiap identitas yang ada di ruang publik.

Pola komunikasi macam ini akan meminimalisir konflik. Namun, mustahil tercapai selama ego tiap-tiap subjek masih terkungkung dalam satu pola kebudayaan tertentu.

Sumber:

Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun