Distopia dalam lingkup disrupsi teknologi yang lebih advance dapat kita temui dalam beberapa film layar lebar The Maze Runner, The Hunger Games, Divergent hingga film serial seperti Black Mirror.
Black Mirror dalam tiap episodenya menampilkan ancaman dan kemungkinan-kemungkinan buruk dari teknologi yang kini sedang berkembang pesat. Uniknya, teknologi-teknologi yang dikritik dalam film ini berkutat seputar Artificial Intelligence, Surveillance Cameradan Augmented Reality berupa Social Media  yang belakangan ini sedang marak dikembangkan.
Konflik terjadi seputar manusia dan teknologi. Tokoh dalam film akan mengalami putus asa dan amarah yang luar biasa terhadap suatu teknologi. Film ini menggambarkan problematika eksistensial dan komunal akan selalu menyertakan teknologi sebagai pemicunya. Gambaran film tersebut memang dapat dikaitkan dengan beberapa fenomena terkini.
Beberapa waktu lalu, humanoid bernama Sophia yang dikembangkan Hanson Robotics sempat menjadi pusat perhatian. Humanoid yang dilengkapi Artificial Intelligence terbaru ini mengungkapkan akan menghancurkan umat manusia.Â
Meski ada anggapan bahwa itu adalah selera humornya yang juga ditanamkan dalam chip otaknya, hal ini tentu mengundang pertanyaan; apakah disrupsi teknologi memang benar-benar nyata?
Melalui rangkaian narasi dalam film-film tersebut, dapat kita lihat peran disrupsi teknologi dalam persoalan identitas subjek politik. Faktor diktatorisme, otoritarianisme dan fasisme selalu built-in dengan penggunaan teknologi untuk keperluan Surveillance dan spionase gerak-gerik 'kalangan tertentu' yang diidentifikasikan melalui kacamata penguasa.
Jauh sebelum karya-karya film tersebut, George Orwell pernah menarasikan distopia dalam novel 1984. Novel yang bercerita tentang pengawasan dan fasisme sebuah partai ini menunjukkan bagaimana kekuasaan melalui seperangkat teknologi dan ilmu pengetahuan mengejewantahkan kepentingannya dalam ruang publik.Â
Pengawasan dan penggiringan opini 'buruk' terhadap suatu identitas selalu menjadi senjata utama kelas penguasa untuk melanggengkan hegemoni dan dominasinya.
Lebih lanjut, Amartya Sen mengemukakan teori menarik soal 'identitas tertentu' dan penggiringan opini buruk terhadap identitas tertentu. Identitas-identitas ini akan bertransformasi menjadi identitas reaktif yang semakin menegaskan distingsinya dalam ruang publik.Â
Kita ambil contoh identitas kaum agamis radikal atau anti kolonial yang selalu mendefinisikan kelompoknya berdasarkan negasi terhadap identitas tertentu (dalam konteks ini 'Barat/Utara) yang akan berakhir pada fundamentalisme.
Pandangan semacam ini akan justru menunjukkan kebergantungan penuh pada pihak asing -- dalam bentuk yang negatif dan kontradiktif. Dialektika pikiran yang terkotak tersebut bisa mengakibatkan persepsi diri yang sangat bias, reaktif dan parasitik.Â