Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Distopia Identitas dan Disrupsi Teknologi

19 Januari 2018   18:41 Diperbarui: 19 Januari 2018   20:42 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia dan identitas selalu beriringan, apapun tendensinya. Habitat dan lingkup hidup manusia mengharuskan adanya identitas yang dikenali sebagai bentuk rekognisi dan identifikasi subjek dalam lingkungannya. 

Relasi intersubjektif menjadi lebih mudah saat identitas dikenali sebagai sarana komunikasi, bukan alasan berkomunikasi. Subjek yang beridentitas mengandaikan dirinya ter-representasikan di ruang publik dalam pola tertentu.

Pola interaksi yang buruk akan menyebabkan subjek berasumsi bahwa dirinya dinilai secara stigma-stigma dan stereotipe negatif tertentu dalam masyarakat. Saat subjek berasumsi terhadap identitas lain, maka segregasi bahkan konflik tidak dapat dihindari. Inilah Distopia yang sedang kita hadapi saat ini.

Relasi dan komunikasi selalu mengalami distorsi dan disrupsi, hal ini tidak dapat dielakkan seiring dengan berkembangnya teknologi. Teknologi menciptakan simulasi, realitas semu, hiper-realitas dan situasi-situasi lain yang mereduksi dimensi eksistensial manusia sebagai subjek dalam ruang publik. Teknologi memang sebuah keniscayaan, dari ilmu dan teknik sudah terkandung 'tujuan universal' yang didasari oleh kepentingan kelas dan situasi sejarah.

Teknologi tidak dapat dipisahkan dari term 'aparatur kekuasaan'. Kekuasaan -- termasuk dalam kategori kepentingan kelas selalu mengambil inisiatif untuk menguasai ilmu pengetahuan dan akses-akses terhadap teknologi yang digunakan dalam masyarakat. Fungsi Surveillanceatau pengawasan mutlak diperlukan dalam sebuah sistem kekuasaan. 

Sejarah pun menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada akhirnya digunakan untuk reproduksi ideologi kelas penguasa dalam sebuah tatanan masyarakat.

Kaitan antara teknologi dan kekuasaan berawal dari kritik Herbert Marcuse terhadap Max Weber terkait rasionalisasi dalam ruang publik. Max Weber beranggapan rasionalisasi berawal dari perhitungan pengusaha kapitalistis dan buruh industri terhadap implikasi-implikasi tertentu dalam sebuah tatanan masyarakat. 

Marcuse mengkritik Weber bahwa sebenarnya apa yang disebut rasionalisasi tersebut sama sekali tidak mengandung rasionalitas. Bagi Marcuse, rasionalisasi adalah pelembagaan kekuasaan melalui penyusunan strategi, apakah teknologi yang dipilih akan sesuai dengan tujuan yang hendak diciptakan dalam situasi tertentu.

Tujuan, ideologi dan susupan politis sudah built-in dengan teknologi, bukan muncul belakangan. Perencanaan dan simulasi sosial tertentu sudah tertanam sebelum sebuah teknologi diciptakan dan diaplikasikan dalam masyarakat.  

Kekuatan dan kekuasaan sekarang dilandasi oleh kemajuan teknologi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ironis memang, disamping segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan, teknologi menyimpan hasrat dan ambisi kekuasaan yang ter-legitimasikan.

Gejala ini dapat dilihat dari bertambahnya campur tangan negara atas nama kestabilan sistem dan  bertambahnya dependensi antara penelitian dan teknik, yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan produksi utama ideologi. 

Distopia dalam lingkup disrupsi teknologi yang lebih advance dapat kita temui dalam beberapa film layar lebar The Maze Runner, The Hunger Games, Divergent hingga film serial seperti Black Mirror.

Black Mirror dalam tiap episodenya menampilkan ancaman dan kemungkinan-kemungkinan buruk dari teknologi yang kini sedang berkembang pesat. Uniknya, teknologi-teknologi yang dikritik dalam film ini berkutat seputar Artificial Intelligence, Surveillance Cameradan Augmented Reality berupa Social Media  yang belakangan ini sedang marak dikembangkan.

Konflik terjadi seputar manusia dan teknologi. Tokoh dalam film akan mengalami putus asa dan amarah yang luar biasa terhadap suatu teknologi. Film ini menggambarkan problematika eksistensial dan komunal akan selalu menyertakan teknologi sebagai pemicunya. Gambaran film tersebut memang dapat dikaitkan dengan beberapa fenomena terkini.

Beberapa waktu lalu, humanoid bernama Sophia yang dikembangkan Hanson Robotics sempat menjadi pusat perhatian. Humanoid yang dilengkapi Artificial Intelligence terbaru ini mengungkapkan akan menghancurkan umat manusia. 

Meski ada anggapan bahwa itu adalah selera humornya yang juga ditanamkan dalam chip otaknya, hal ini tentu mengundang pertanyaan; apakah disrupsi teknologi memang benar-benar nyata?

Melalui rangkaian narasi dalam film-film tersebut, dapat kita lihat peran disrupsi teknologi dalam persoalan identitas subjek politik. Faktor diktatorisme, otoritarianisme dan fasisme selalu built-in dengan penggunaan teknologi untuk keperluan Surveillance dan spionase gerak-gerik 'kalangan tertentu' yang diidentifikasikan melalui kacamata penguasa.

Jauh sebelum karya-karya film tersebut, George Orwell pernah menarasikan distopia dalam novel 1984. Novel yang bercerita tentang pengawasan dan fasisme sebuah partai ini menunjukkan bagaimana kekuasaan melalui seperangkat teknologi dan ilmu pengetahuan mengejewantahkan kepentingannya dalam ruang publik. 

Pengawasan dan penggiringan opini 'buruk' terhadap suatu identitas selalu menjadi senjata utama kelas penguasa untuk melanggengkan hegemoni dan dominasinya.

Lebih lanjut, Amartya Sen mengemukakan teori menarik soal 'identitas tertentu' dan penggiringan opini buruk terhadap identitas tertentu. Identitas-identitas ini akan bertransformasi menjadi identitas reaktif yang semakin menegaskan distingsinya dalam ruang publik. 

Kita ambil contoh identitas kaum agamis radikal atau anti kolonial yang selalu mendefinisikan kelompoknya berdasarkan negasi terhadap identitas tertentu (dalam konteks ini 'Barat/Utara) yang akan berakhir pada fundamentalisme.

Pandangan semacam ini akan justru menunjukkan kebergantungan penuh pada pihak asing -- dalam bentuk yang negatif dan kontradiktif. Dialektika pikiran yang terkotak tersebut bisa mengakibatkan persepsi diri yang sangat bias, reaktif dan parasitik. 

Semangat pembaruan itu penting, pola identitas semacam ini dapat berpengaruh positif dan bahkan deliberatif saat konteks perjuangannya ada dalam ranah persamaan hak, penghapusan penindasan, inovasi kebijakan, bukan dalam konteks balas dendam dan merisak budaya tertentu secara fundamental.

Pola pikir macam ini yang akan memunculkan pemikiran 'We are what we are not'. Definisi selalu bergantung pada negasi, dan siapapun yang pada akhirnya menjadi kelas penguasa, akan mengulangi dan mengalami hal yang sama terus-menerus.

Dialektika berbasis negasi seperti ini akan menghasilkan oposisi biner dalam identitas politik. Hal inilah yang sedang kita saksikan di Indonesia. Tiap kali ada dukungan atau simpati terhadap pemerintahan atau Jokowi sebagai Presiden, pihak tersebut akan dicap Kecebong, Jokower, Ahoker dan lainnya. Begitupun sebaliknya, jika ada nada kritik ataupun protes terhadap kebijakan atau sosok Jokowi, langsung dicap Kecoak, datarian, onta cabul dan lainnya.

Pada akhirnya, situasi politik semacam ini jika dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan chaos dalam masyarakat. Ketika konflik yang seharusnya vertikal malah menjadi horizontal, kekuasaan akan menemui dua pilihan; runtuh atau mengambil jalan opresi untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Dua pilihan ini diniscayakan oleh konflik tak berujung antar pihak-pihak yang mengusung fanatisme dan fundamentalisme berlebihan terhadap kelompoknya. Tidak akan ada pembangunan berkelanjutan, penguasa baru akan berusaha menonjolkan image-nya sendiri dan meng-klaim hasil-hasil pemerintahan terdahulu sebagai miliknya.

Metode komunikasi yang prosedural mutlak diperlukan. Seperti yang dikemukakan Habermas; Konsensus baru bisa dianggap tercapai apabila ada pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif, dan hal ini bisa tercapai melalui komunikasi yang menyesuaikan bahasa, kepentingan dan latar belakang tiap-tiap subjek dalam ruang publik. Rasio komunikatif selalu berhubungan dengan tindakan sosial.

Perbedaan pendapat dapat diselesaikan melalui argumentasi reflektif antar-subjek. Komunikasi macam ini akan menghasilkan diskursus mengenai klaim-klaim mana yang bisa dianggap sahih secara universal dan partikular. 

Pendekatan 'Pragmatisme Universal' Habermasian fokus pada konteks makna dalam komunikasi. Acuannya adalah norma, latar belakang dan kepentingan tiap-tiap identitas yang ada di ruang publik.

Pola komunikasi macam ini akan meminimalisir konflik. Namun, mustahil tercapai selama ego tiap-tiap subjek masih terkungkung dalam satu pola kebudayaan tertentu.

Sumber:

Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi

Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas

Budi F. Hardiman, Demokrasi Deliberatif.

(Pertama kali tayang di akun medium saya, @alkindihasibuan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun