"Alotnya" mengajak orang-orang untuk membaca buku adalah situasi yang sering saya hadapi. Selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa (walau baru dua semester), telah mempertemukan saya dengan tantangan berupa sulitnya membangkitkan kesadaran "pentingnya membaca". Jangankan di lingkungan prodi atau fakultas, bahkan mengajak teman di sirkel tongkrongan saja capenya setengah-mati.
Bukan hanya budaya membaca buku yang sulit untuk dibangkitakan, di sisi lain, "gairah beorganisasi" menghadapi hal yang sama. Untuk membujuk teman agar aktif di organisasi kemahasiswaan, terkadang kita harus memasang ekspresi seperti pengemis terlebih dahulu. Padahal "membaca" dan "beorganisasi" identik dengan budaya intelektual yang tidak tergantikan.
Dua kesulitan di atas ternyata tidak hanya diafirmasi oleh pengalaman saya yang sempit. Berdasarkan data PISA (Program for International Student Assessment) 2022, Indonesia berada pada peringkat 10 terbawah dalam kategori literasi membaca. Indonesia kini menempati peringkat 70 dari 80 negara dengan skor literasi membaca hanya sebesar 359. Dengan ini, masyarakat Indonesia berhasil menyandang status sebagai masyarakat rendah literasi.
Di samping itu, data yang ditunjukan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), partisipasi pemuda untuk organisasi berada di angka 5,86 di tahun 2015, di tahun 2018 mencapai 6,36, dan tahun 2021 mencapai 4,84. Angka ini menunjukan bahwa partisipasi pemuda dalam organisasi relatif kecil dan belum ada kenaikan yang signifikan. Entah di tahun-tahun setelahnya akan ada penurunan lagi atau malah kebalikannya.
Tentunya keresahan terhadap minimnya minat baca dan beorganisasi tidak hanya dirasakan oleh saya seorang. Wacana-wacana yang menekankan pentingnya "budaya membaca" telah membanjiri sosial media saat ini. Ada banyak kajian yang kemudian mengaitkan dua masalah ini dengan berbagai kausal (penyebab).Â
Semisal, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaitkan persoalan rendahnya minat baca dengan fasilitas yang kurang memadai dan juga kurikulum yang kurang mendukung iklim membaca. Ada juga yang mengkaitkan masalah beorganisasi dengan kondisi kultural seperti Digital Native, Remaja Jompo, perkembangan teknologi, Gen Z, dan lain sebagainya.
Bagi saya, dua persoalan di atas berkaitan dengan hal yang lebih Universal. Secara tidak langsung, minimnya minat baca dan beorganisasi adalah fenomena sosial yang saling berkaitan dan sama-sama dibentuk oleh suatu pola, yakni pola yang diciptakan oleh modernitas. Dalam hal ini, Ada baiknya jika kita menganalisis fenomena ini dengan "Liquid Modernity", sebuah teori yang dikemukakan oleh Zygmunt Bauman.
Modernitas: Padat dan Cair
Zygmunt Bauman merupakan sosiolog asal Polandia dan seorang teoritis kritis, lahir pada tanggal 19 November 1925. Bauman menekuni bidang Sosiologi dan berhasil menjadi salah-satu tokoh sosiolog yang paling berpengaruh di Eropa. Pada tahun 1968, ia mendapat gelar professor sosiologi dari Universitas Warsawa Polandia dan sempat mengajar di sana.
Bauman banyak mencurahkan pemikirannya dalam mengamati gejala-gejala yang timbul dari masyarakat modern. Menurutnya, Manusia modern adalah perencana dan perancang yang tidak hanya memiliki pandangan mengenai bagaimana dunia mesti dipahami, tetapi juga penguasa berbagai alat untuk mencapai pemahaman itu.Â
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan akal budi menjadi 'dewa-dewa' baru (Bauman, Toward A Critical Sociology, 1979). Manusia modern memiliki rasionalitas yang membuatnya mampu memaksimalkan fungsi, baik dari pengetahuan atau teknologi, demi kepentingan yang ingin diraihnya.
 Rasionalitas menuntun manusia modern pada dimensi-dimensi transfaran, jelas, dan pasti. Untuk itu, modernitas melahirkan standar metoldologis dan bahkan menanamkan bentuk orientasi kehidupan secara universal. Kita bisa melihat bagaimana institusi-institusi modern di seluruh dunia menetapkan standar yang sama, misalkan standar nilai yang ditentukan oleh sekolah atau universitas (Institusi pendidikan), standar ijazah dalam mencari pekerjaan dan lain sebagainya.
Standar yang dibentuk oleh modernitas dalam istilah Zizekian disebut sebagai "the big other" (bisa dalam bentuk negara, ideologi, logika moral, Lembaga-lembaga dasar dalam masyarakat). Individu merefleksikan tindakannya dalam sorot pengaruh 'super ego' yang menandai meresapnya peran struktur.
Ketika peran struktur dengan standarnya masih dapat berpengaruh terhadap individu, maka membentuk pola kebiasaan dan sosiabilitas kelompok akan menjadi mudah. Itulah yang disebut sebagai "Modernitas Padat", dimana setiap individu secara umum memiliki kebiasaan, prioritas, dan kepentingan yang hampir sama. Hal ini membuat individu bertindak berdasarkan orientasi kelompok.
Sedangkan yang dimaksud dengan "Liquid Modernity" atau "Modernitas Cair" lebih merujuk kepada situasi pascamodernisme. Situasi pasca-modern memberikan dinamika baru yang cukup memberikan dampak pada kehidupan masyarakat. Ada dua hal yang membuat pasca-modern menciptakan Modernitas Cair, Pertama yakni kekecewaan, dan kedua adalah percepatan. (Bauman, Liquid Modernity, 2005)
Kekecewaan merujuk kepada kondisi dimana standar-standar yang ditentukan oleh struktur tidak memberikan kepastian lagi. Awalnya, standar metodologis dan orientasi lembaga modern secara optimis dipercayai memberikan hasil yang baik dan pasti. Misalkan, dulu ijazah sekolah masih bisa membantu seseorang mendapatkan perkerjaan yang layak, sehingga orang-orang menganggap bahwa sekolah dan kuliah adalah proses yang mesti dilalui demi karir yang baik. Namun saat ini, ijazah terkadang tidak menjamin pekerjaan dan kuliah tidak menjamin belajar.
Ketidak-pastian ini menjadi sebuah pertimbangan remaja-remaja saat ini dalam mendedikasikan dirinya pada suatu kebiasaan yang ditawarkan lembaga besar. Ketidak-pastian berarti tidak adanya bentuk pasti (cair).Â
Bagi teman-teman segenerasi saya, membaca buku belum tentu menjamin mereka mendapatkan pengetahuan yang baik dan berguna secara pragmatis. Justru yang lebih menjamin saat ini adalah mengembangkan skil-skil yang lebih praktis. Kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi dipercaya memberikan kepastian dalam hal apapun. (Bauman, 2005)
Termasuk juga kepercayaan generasi saya dalam mendedikasikan diri pada kegiatan organisasi. Oleh karena struktur lembaga telah gagal menjamin hasil, generasi saat ini kehilangan apa yang disebut di atas sebagai "The Big Other" atau "super ego".Â
Kemudian yang terjadi adalah atomisasi yang melahirkan individualisme. Anggapannya, dari pada mempercayai struktur besar atau organisasi lebih baik mendasari segala kegiatan berdasarkan kebutuhan masing-masing (kepentingan sendiri). Kepercayaan terhadap "super ego" diganti dengan fenomena "keterpusatan-aku".
Selanjutnya, pasca-modern juga membentuk dunia yang berjalan begitu cepat. Teknologi digital menimbulkan apa yang disebut oleh Bauman sebagai "Kebaruan yang permanen".Â
Distribusi informasi misalkan, logika pemberitaan saat ini membuat kita mendera kita dalam percepatan dan spasialitas. Apa yang kita baca hari ini segera kita lupakan di hari esok, karena berita terus berubah dan membuat kebaruan yang permanen. Akibatnya, sulit sekali menanamkan kebiasaan membaca suatu buku secara konsisten. Apalagi sebuah buku yang memiliki bobot subtansial yang kompleks.
Di sisi lain, cepatnya informasi dan "keterpusatan-aku" menggiring masyarakat untuk mengikuti inovasi yang bersifat privat. Maksudnya, ketimbang menganut kepentingan bersama dalam sebuah lembaga besar atau organisasi, tindakan mereka lebih cenderung didorong oleh keinginan sendiri (swa-kepentingan). Dari pada repot-repot ngurusin keinginan banyak orang dalam organisai, lebih baik utamakan kepentingan sendiri.
Belum lagi kepentingan orang-orang dalam Liquid Life itu terus berubah-ubah. Oleh karena itu, sulit mengorganisir orang-orang berdasarkan kepentingan masing-masing yang bisa saja berubah setiap saat. Untuk itu, generasi saat ini lebih memilih untuk bertindak secara pribadi dari pada mengorganisir kepentingan banyak orang yang bikin REPOT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H