Melihat pangsa pasar yang begitu besar, sebagian kalangan memanfaatkan situasi ini dan tidak ingin kehilangan kesempatan. Sistem Kapitalisme religius pun diterapkan. Artinya, dengan adanya fenomena tersebut maka setiap individu dibiarkan secara bebas berusaha tanpa adanya campur tangan orang lain.Â
Hal ini didorong oleh kepentingan secara personal sehingga dengan sendirinya, produksi akan sempurna dan meningkat. Praktik ini sejalan dengan teori invisible hand ( tangan-tangan ghaib) yang dikenalkan oleh Adam Smith.Â
Merujuk pada teori tersebut, akhirnya mereka berlomba-lomba memproduksi berbagai macam barang, pakaian muslim dan muslimah, serta produk kecantikan dengan label syar'i, guna menggaet para generasi millennial.Â
Selain itu, mereka juga turut andil dalam meramaikan fenomena hijrah. Hal ini seakan menggambarkan kepada kita bahwa, para kalangan tersebut, memainkan peran ganda.Â
Pertama, sebagai pelaku bisnis yang berorientasi profit dengan memanfaatkan pangsa pasar berbasis kelompok religius. Kedua, sebagai bagian dari kelompok religius tersebut yang kerap memberikan himbauan atau anjuran untuk mengamalkan sunnah dengan cara mengenakan  pakaian yang islami, jilbab yang syar'i serta produk-produk kecantikan. Seperti peribahasa, sambil menyelam minum air.
Bila ditelaah secara mendalam, hakikat hijrah bukan hanya sekadar komoditas simbolis, namun harus dipahami bahwa antara komoditas kesalehan simbolis dan otentisitas keberagamaan berjalan beriringan.Â
Sebab, jika hanya berfokus dengan simbol, maka kita akan terjebak pada ranah simbolis yang kerap menjudge orang yang berbeda simbol kesalehannya, sebagai orang yang keliru, golongan lain, sehingga menjadi bahan ajakan dan medan dakwah pelaku hijrah.Â
Sebaliknya, jika hanya fokus dengan otentisitas keberagamaan, maka akan melahirkan sifat menyepelekan simbol keagamaan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak penting.
Oleh karena itu, keduanya harus berjalan beriringan tanpa membedakan antara satu dengan yang lain. Belum tentu mereka yang saleh secara otentik, lebih baik dari mereka yang saleh secara simbolis, begitupun sebaliknya.Â
Poin terpenting dari pembahasan yang penulis kemukakan diawal adalah agar mengantisipasi ancaman disrupsi keberagamaan yang akan melahirkan ahli yang bukan ahlinya, bukan bidangnya, namun ketika berbicara atau memberikan sebuah informasi, khususnya dalam bidang keagamaan, seolah-olah itu adalah kebenaran yang mutlak tanpa bisa disanggah, padahal belum tentu demikian.Â
Parahnya, jika hal yang demikian direspon dengan positif oleh pengikutnya, dan menganggapnya juga kebenaran. Apabila telah masuk dalam ranah keagamaan yang sarat akan beragam makna, maka para penyampai agama yang bukan ahlinya kerap membuat simpatisannya menjadi bingung bagaimana membedakan antara makna yang benar dan tidak. Sebab mereka tidak dibekali keilmuan yang pasti serta literasi yang memadai, sehingga dengan mudahnya terpapar informasi yang belum tentu benar.Â