Akibatnya, tidak sedikit orang yang mendadak ustadz, menjadi pengkhutbah atau penceramah dadakan, lalu memiliki jama'ah atau pengikut yang kemudian mengkultuskannya sebagai 'alim 'ulama, ustadz dan lain sebagainya.Â
Padahal, background keagamaan mereka bukan berasal dari lingkungan pondok-pesantren, sekolah-sekolah keagamaan. Mereka hanya memperoleh ilmu keagamaan melalui teknologi, bukan melalui proses yang panjang di lembaga keagamaan. Namun mereka kerap diberi ruang untuk tampil memberikan tausyiah atau fatwa keagamaan secara personal.Â
Contoh konkretnya adalah terkait dengan upaya pemerintah dalam menangani Covid-19. Kelompok agamawan yang konservatif cenderung mengedepankan nalar keagamaan dalam menghadapi Covid-19 tanpa memperhatikan nalar kemanusiaan dan keselamatan jiwa.Â
Hal ini dapat mempengaruhi kelompok mereka dalam menyikapi pandemi. Akibatnya, mereka mengabaikan protokol kesehatan dalam pencegahan penularan Covid-19.Â
Sebaliknya, agawan yang berakal sehat dan dalam keilmuannya berdasarkan latar pengetahuan keagamaan yang komprehensif pasti akan memperhatikan dan mengutamakan nalar kesehatan dan kemanusiaan.Â
Sehingga himbauan yang disampaikan kepada jama'ahnya dapat mencerahkan akal dan pikiran mereka, sehingga tidak ada lagi paradoks atau pertentangan antara nalar keagamaan dengan nalar kesehatan serta kemanusiaan di tengah situasi bangsa ini menghadapi pandemi.
Disrupsi Keagamaan dan Post-Truth Society
Ketika masyarakat masih di level 2.0 dan 3.0 atau 1.0, transmisi pengetahuan mengharuskan adanya perjumpaan secara personal dan berhadapan secara fisik baik di dalam kelas atau ruang belajar mengajar. Tradisi ini dalam lingkungan pondok pesantren dikenal dengan istilah Talaqqi. Hadirnya revolusi industri 4.0 mengubah tradisi tersebut.Â
Otoritas pengetahuan keagamaan yang berasal dari guru tergantikan oleh internet yang mampu menampung data dalam ukuran gigantik. Pergeseran berikutnya yang perlu dipikirkan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Tom Nichols dalam The Death of Expertise, yaitu keahlian yang telah melekat pada diri seseorang yang telah diperoleh melalui proses yang Panjang nan melelahkan, tergantikan oleh internet dan banyak orang yang mengaku sebagai ahli, baik ahli agama, ahli kesehatan, pakar sejarah dan lain-lain.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa beragam informasi, termasuk informasi keagamaan dengan begitu mudahnya diperoleh melalui ujung jari. Benar atau tidak informasi yang diperoleh, itu urusan belakangan.Â
Hal inilah yang membuat banyak orang terpapar informasi yang bohong (hoax). Menariknya, informasi tersebut diterima sebagai suatu kebenaran. Realitas inilah yang disebut dengan post-truth society (masyarakat pasca kebenaran).