Mohon tunggu...
Aliya Rahmawati Nur Izuri
Aliya Rahmawati Nur Izuri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi, FIS UNJ

Sunrise.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Quarter Life Crisis pada Pemuda Millennial

28 April 2020   21:24 Diperbarui: 29 April 2020   23:17 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Aliya Rahmawati Nur Izuri

(Mahasiswa Sosiologi, FIS UNJ)

Quarter life crisis merupakan hal yang lumrah dan kerap diperbincangkan bagi mereka yang memasuki usia 20 tahun. Sering kali dirasakan oleh para pemuda ketika mulai memasuki kehidupan yang sebenarnya. Quarter life crisis kian terasa ketika dengan mudahnya kita dapat melihat kehidupan orang lain serta segala pencapaian yang telah diraihnya. Namun sebenarnya, mengapa quarter life crisis dapat dirasakan oleh pemuda khususnya pada generasi millennial saat ini?

Tapi sebelumnya, kita akan pahami siapa yang disebut pemuda?

Siapa yang disebut generasi millenial?

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2009 tentang Kepemudaan, dalam pasal 1 dipaparkan bahwa pemuda adalah warga Negara yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Adapun beberapa hal yang berkaitan dengan kepemudaan antara lain yaitu potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda. 

Sedangkan generasi millennial atau yang juga dikenal dengan generasi Y, merupakan orang-orang yang lahir pada tahun yang berkisar antara 1980 sampai tahun 2000-an. Dimana saat ini generasi millennial berada pada rentang usia 17 hingga 37 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemuda saat ini termasuk pada generasi millennial. Adapun ciri khas yang mencolok pada generasi millennial yaitu eratnya pada dunia teknologi dan internet. 

Kehidupan generasi millennial tidak dapat lepas dan sangat lekat dengan pengaruh gawai dan media sosial. Hal itu disebabkan kemunculan dan perkembangan gawai dan media sosial secara pesat berada pada generasi ini. Sehingga generasi Y memiliki banyak perbedaan terkait gaya hidup jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya yaitu generasi baby boomers dan generasi X. 

Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka penggunaan media sosial di Indonesia. Dimana generasi milenial menguasai penggunaan media sosial di Indonesia sebesar 66 persen. Sehingga berarti dari 150 juta pengguna media sosial di Indonesia, sebesar 99 juga orang di antaranya adalah kaum milenial.

Lalu, bagaimana penggunaan media sosial dapat mempengaruhi munculnya quarter life crisis?

Bagaimana quarter life crisis yang dirasakan oleh pemuda?

Ketika seorang pemuda mulai memasuki usia 20 tahun tentu mulai terbersit pertanyaan-pertanyaan diri tentang bagaimana ia akan menjalani kehidupan ke depannya. Seseorang sudah tidak lagi disebut remaja, sudah tidak lagi di bawah tanggung jawab orang tua. Namun kini ia mulai menjajaki masa pendewasaan dan belajar untuk dapat berdiri di atas kakinya sendiri. 

Ketakutan-ketakutan akan kegagalan serta mimpi yang tak menjadi kenyataan terus membayangi mereka. Hal tersebut juga diperparah dengan tingginya tuntutan baik dari keluarga maupun lingkungan masyarakat. Sehingga segala harapan yang digantungkan padanya seolah menjadi beban dalam menapaki langkah ke depannya.

Hal tersebut merupakan contoh penggambaran dari fenomena quarter life crisis yang kerap dialami oleh pemuda. Sebuah fase hidup dimana kita seringkali merasa ragu, cemas, bingung, serta mulai mempertanyakan langkah dan tujuan hidup. Kondisi tersebut membuat kita harus berpikir lebih dalam ketika menjalani kehidupan, sebab kita merasa terdapat hal yang harus diubah dan diperbaiki dalam diri. Namun di sisi lain kita pun dihadapkan pada rasa takut dalam mengambil langkah dan keputusan untuk mengubah dan memperbaiki diri tersebut.

Individu yang di dalam melewati tahapan perkembangannya tidak mampu merespons dengan baik berbagai personalan yang dihadapi, diprediksi akan mengalami berbagai masalah psikologis, merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian dan mengalami krisis emosional atau yang biasa disebut dengan quarter-life crisis (Robbins dan Wilner, 2001; Atwood & Schotlz, 2008). Menurut Fischer (2008) quarter life crisis adalah perasan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. Nash dan Murray (2010) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi ketika mengalami quarter life crisis adalah masalah terkait mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitasnya, serta kehidupan pekerjaan dan karier.

Ketika usia telah memasuki 20 tahun tentu telah banyak mimpi-mimpi dan harapan yang telah kita susun. Target-target telah dibuat seraya berusaha menggapainya satu persatu. Namun baru disadari, nyatanya beberapa hal tidak sejalan dan sulit untuk dipertahankan. Meskipun sulit bukan berarti tidak mungkin. 

Tentu dibutuhkan pertimbangan jika ingin terus berusaha meraihnya. Hal tersebut seperti rencana yang telah dibuat setelah kita lulus kuliah untuk dapat membuat suatu usaha. Namun nyatanya hal tersebut tidak dapat dilakukan karena suatu keterbatasan maupun tuntutan lain dari lingkungan. 

Selain itu, juga tentang mimpi-mimpi dalam memiliki suatu hal. Misalnya, harapan untuk memiliki kendaraan pada usia 23 tahun, memiliki rumah pada usia 25 tahun. Timbul kecemasan dalam memikirkan apakah mimpi-mimpi tersebut dapat terwujud seperti yang telah diharapkan.

Setelah menyelesaikan studi S1 tentu pemuda kembali dihadapkan pada pilihan. Yaitu untuk melanjutkan studi S2, atau memilih bekerja, atau melakukan keduanya. Pilihan tersebut tentu harus diambil dengan pertimbangan. Tidak hanya memikirkan tentang diri sendiri, apa yang dilakukan oleh pemuda juga serta merta dilakukan untuk menyenangkan dan membanggakan keluarga. Sehingga pilihan tersebut juga harus diambil dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan keluarga. Sebab keluarga tentu memiliki harapan dan tuntutan terhadap pemuda, yaitu anaknya.

Memasuki usia 20 tahun, pemuda mulai membenahi dan mencari identitas diri yang sebenarnya. Termasuk pada kepercayaan dan spiritualitas. Pemuda mulai bertanya-tanya tentang langkah yang telah dijalaninya selama ini. Dimana hal tersebut cenderung atas ajaran keluarga yang telah turun temurun. Namun seiring berjalannya waktu. pemuda telah belajar dan bertemu banyak hal yang dapat mempengaruhi pola pikirnya. Pemuda dapat mempertanyakan jati dirinya, sehingga jika pemuda tidak berpegang teguh pada apa yang telah ia anut, bukan tidak mungkin akan terjadi pergolakan batin pada dirinya. Sehingga lingkungan dapat membuatnya berhadapan pada perubahan besar.

Salah satu tujuan dari rangkaian pendidikan yang telah kita jalani yaitu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Adapun kehidupan yang baik dapat diraih dengan pekerjaan dan karier yang mapan, lancar, dan sesuai dengan apa yang kita minati. Sehingga diharapkan dapat membawa kesuksesan dan meningkatkan taraf hidup. Namun pada fase quarter life crisis, pekerjaan dan pencapaian seolah menjadi beban terberat yang dirasakan pemuda. Muncul pertanyaan dan keraguan atas hidup yang tengah dijalani. Mulai membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Bertanya-tanya tentang apakah pilihan pekerjaan yang dimiliki memang sudah tepat. Apakah lebih baik memilih pekerjaan dengan jenjang karir yang pasti alih-alih mengikuti passion diri. Atau justru sebaliknya, apakah bekerja dengan mengikuti passion diri lebih baik dibanding pekerjaan yang sudah dijalani. Hal tersebut merupakan kecemasan dan keraguan yang kerap dirasakan oleh pemuda.

Tak hanya itu, permasalahan terkait percintaan juga kerap dirasakan pada fase quarter life crisis. Timbulnya keraguan pada pasangan karena memikirkan apakah dia adalah jodoh yang sebenarnya. Kecemasan karena merasa belum menemukan pasangan yang cocok dan sesuai untuk dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Serta mulai membandingkan kisah percintaan diri dengan orang lain yang dirasa jauh lebih baik. Bahkan beberapa diantaranya sudah berani untuk berkomitmen ke jenjang pernikahan. Hal tersebut diperparah dengan adanya pertanyaan yang dilontarkan orang sekitar seperti, "Kamu kapan nikah?", "Kamu kapan nyusul dia?" hingga "Kok masih sendiri aja?".

Lalu bagaimana pemicu quarter life crisis pada generasi millennial?

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa generasi millennial merupakan generasi yang erat dengan penggunaan gawai dan media sosial. Di era globalisasi tentu telah banyak platform media sosial yang bermunculan dimana penggunanya dapat mengunggah apapun yang diinginkannya. Platform media sosial yang cukup banyak digunakan yaitu seperti youtube, instagram, facebook dan twitter. Media sosial tersebut kerap kali digunakan untuk membagikan dan menyampaikan hal-hal yang menarik bagi penggunanya, baik kegiatan yang tengah dilakukan, maupun pencapaian yang dimiliki. Antara lain seperti bercerita tentang pekerjaan, foto bersama pasangan, maupun pencapaian lain seperti saat dapat berlibur, dapat membeli sesuatu, dan lain-lain. Meskipun tidak ada maksud bagi penggunanya kecuali hanya untuk sekedar tempat bercerita, namun lain halnya bagi mereka yang melihatnya karena seolah makin merasa tertuntut.

Media sosial telah sangat memicu munculnya quarter life crisis karena tanpa sadar kita akan membandingkan hidup yang tengah kita jalani dengan hidup yang telah dimiliki orang lain. Kita akan mulai merasa tidak percaya diri dengan yang tengah dijalani, mulai merasa kurang atas apa yang dimiliki. Serta bertanya-tanya "Kapan saya seperti itu?", "Apakah saya bisa seperti dia?". "Mengapa saya tidak begitu?", "Kok hidup dia lebih mudah?," "Kok dia bisa memiliki itu?" dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menjurus pada rasa kekhawatiran diri. Kita yang tengah merasa ragu dan bingung dalam menjalani hidup dan mengambil langkah, kian ragu melihat segala pencapaian yang dimiliki orang lain melalui media sosial. Sehingga muncul rasa rendah diri yang membuat kita merasa tertinggal dan berpikir bahwa kita bukan siapa-siapa dibanding mereka.

Secara tidak sadar, media sosial telah memberikan toksik bagi diri pemuda karena akan cenderung menimbulkan pikiran dan perasaan yang memperkeruh saat berada pada fase quarter life crisis. Hal tersebut disebabkan media sosial banyak menyajikan segala jenis unggahan pengguna media sosial lain. Kita akan merasa hidup mereka jauh lebih baik, hidup mereka terasa lebih mudah, dan apa yang mereka jalani terlihat lebih menyenangkan. Alam bawah sadar kita akan membandingkan pencapaian yang telah mereka miliki dengan pencapaian yang telah kita miliki, dan itu bukanlah hal yang baik. Mengingat bahwa sebenarnya setiap orang memiliki alurnya masing-masing dalam menjalani hidup.

Kita merasa rendah diri sebab kita hanya melihat bagian permukaan mereka yang terlihat indah. Kita tidak mengetahui bagaimana kisah dan perjuangan dibaliknya untuk sampai di titik itu. Tentu mereka dihadapkan pada pilihan dan kecemasan yang telah berhasil mereka lalui. Kita pun harus menanamkan dalam diri bahwa tidak ada perjuangan yang instan. Serta belum tentu apa yang terlihat bagus di luar juga terlihat bagus di dalam.

Meskipun kita menyadari bahwa hidup bukanlah kompetisi, nyatanya ketakutan yang dirasakan pemuda atas perbedaan memang benar dirasakan adanya. Perasaan cemas memikirkan hidup yang seolah belum berada pada titik yang diharapkan. Maupun rasa bingung atas pencapaian yang dimiliki apakah memang sudah sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu juga terdapat keraguan lain dalam mempertimbangkan untuk bersikap idealis maupun realistis. Sebagai pemuda tentu terdapat karakter idealis yang memiliki prinsip kuat dan berkeinginan kokoh. Namun nyatanya, di sisi lain pemuda juga harus bersikap realistis dengan melihat kondisi yang ada. Pemuda tidak dapat serta merta mengikuti arus lingkungan yang berpegang teguh pada prinsip idealis dengan mengikuti passion namun tidak mempertimbangkan kondisi sehingga mengabaikan kenyataan yang ada.

Lalu bagaimana pemuda millennial harus bersikap menghadapi quarter life crisis?

Berhenti membandingkan pencapaian diri dan orang lain. Mungkin terdengar klise, namun itu adalah langkah penting yang harus dilakukan. Harus selalu diingat bahwa setiap orang memiliki langkahnya masing-masing dalam mencapai sesuatu. Kita juga tidak mengetahui bagaimana perjuangan yang telah dilaluinya. Saat kita melihat seseorang berada jauh di depan kita bukan berarti kita tidak dapat menyusulnya. Toh hidup bukan tentang kompetisi, bukan? Jadi tidak ada kata terlambat dalam meraih kesuksesan seperti apa yang telah diharapkan. Sebab yang terpenting adalah bagaimana kita terus berjuang dan menghargai proses yang telah kita lewati. Sabar, dan biarkan pengalaman menjadi pembelajaran dalam mewujudkan harapan yang telah diimpikan.

Berhenti mengikuti standar sosial masyarakat. Ketakutan dan kecemasan yang kita rasakan pada fase quarter life crisis tentu diperparah dengan adanya standar sosial yang dibuat masyarakat. Seperti mengenai standar usia pernikahan maupun jumlah pendapatan. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa rendah diri sebab dirasa belum mampu mencapai standar yang dibuat oleh masyarakat. Sehingga muncul kecemasan dalam diri yang mengatakan, "Oh harusnya seperti itu ya", "Kok saya belum seperti itu ya". Untuk itu berhentilah mengikuti standar sosial masyarakat. Sebab dapat meningkatkan rasa cemas dan menurunkan rasa percaya diri. Untuk itu tetaplah fokus pada apa yang dikerjakan tanpa menggubris apa yang orang katakan. Tutup telinga terhadap cibiran sekitar dan jangan biarkan lingkungan mengendalikan hidupmu.

Kontrol penggunaan media sosial. Bagi generasi millennial, penggunaan media sosial dengan intensitas yang cukup tinggi dapat memberburuk fase quarter life crisis. Dimana kita disajikan segala pencapaian yang dimiliki orang lain sehingga tanpa sadar akan membandingkannya dan berujung pada rasa takut dan bingung atas apa yang telah dilakukan. Dengan sejenak menutup media sosial tentu akan memberikan dampak yang baik bagi pikiran dan perasaan. Untuk itu mulai kontrolah penggunaan media sosial demi kebaikan diri kita sendiri.

Ketahui prioritas dan kenali potensi. Dengan mengetahui dan memahami potensi yang dimiliki serta prioritas yang dituju, tentu akan membantu pemuda dalam menghadapi fase quarter life crisis. Sehingga dapat mengurangi keraguan yang dirasakan dan tahu apa yang harus dilakukan. Adanya prioritas menjadi tuntunan dalam mengambil langkah menjalani kehidupan untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itu penting agar kita dapat mengenali diri dengan baik. Sehingga kita tahu pilihan yang harus kita ambil dari beragam pilihan yang ada. Serta tetap dapat berada di jalan yang tepat dalam mewujudkan harapan sesuai yang telah direncanakan. Meskipun harus realistis, pemuda juga harus memiliki sikap idealis yang terus berprinsip dan berkeinginan kokoh atas mimpi yang telah dibuatnya.

Berada di lingkungan yang positif. Lingkungan yang positif tentu akan sangat membantu pemuda dalam menghadapi fase quarter life crisis. Pemuda yang berada pada fase ini sangat membutuhkan dukungan yang diberikan oleh orang sekitar. Kehidupan sosial pemuda tidak terlepas dari pengaruh keluarga dan teman sebaya. Diharapkan orang-orang di lingkungan sekitar dapat membantu dalam memberikan rasa tenang dan memberikan keyakinan bagi pemuda ketika menghadapi kecemasan dan keraguan dalam memasuki kehidupan yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan berada di lingkungan yang sehat dapat memberikan keyakinan dan mengurangi tingkat kecemasan yang dirasakan pemuda.

Perkuat religiusitas. Pemuda yang memiliki pedoman kuat cenderung akan memiliki daya tahan yang baik ketika dihadapkan pada suatu masalah. Pemuda dengan tingkat religiusitas yang tinggi dianggap lebih tangguh dan mampu mengendalikan diri ketika mengalami keraguan dan kecemasan atas suatu hal yang tidak mampu dikendalikannya. Hal tersebut disebabkan, dalam pedomannya diajarkan bahwa segala yang terjadi sudah menjadi kehendak-Nya. Sehingga pemuda dapat lebih berserah diri atas apa yang dihadapinya.

Jadi harus diingat, bahwa quarter life crisis merupakan fase yang lazim dirasakan pemuda. Terlebih pemuda millennial yang disebabkan oleh tingginya intensitas penggunaan media sosial. Namun, perlu ditanamkan dalam diri bahwa perbedaan pencapaian dengan orang lain adalah hal yang wajar. Setiap orang memiliki ritme perjalanan hidupnya masing-masing. Yakinkan bahwa semua kecemasan dan keraguan yang tengah dirasakan akan mampu dilewati dengan baik. Tetap fokus pada tujuan dalam mewujudkan rangkaian mimpi dan harapan. Selalu semangat dalam menjalani hidup dan tetap menjadi pemuda millennial yang bahagia dan pantang menyerah!

Refrensi :

Kemenpora. http://kemenpora.go.id/news/UU_40_2009.pdf. (Diakses 27 April 2020)

Fathan Faris. 2019. Peran Dan Tantangan Pemuda "Di Era Generasi Millenial" https://pustakabergerak.id/artikel/peran-dan-tantangan-pemuda-di-era-generasi-millenial. (Diakses 27 April 2020)

Alfiesyahrianta Habibie, Nandy Agustin Syakarofath dan Zainul Anwar. 2019. Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC) pada Mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology. 5(2): 130

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun