Mohon tunggu...
Ali Wasi
Ali Wasi Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

Seorang ASN dari Tahun 2015 s.d. sekarang, yang semula gemar menulis cerita fiksi menjadi rutin menulis analisis informasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Menggenggam Dunia (7) Kelebihan Rahmat

2 Mei 2024   08:41 Diperbarui: 2 Mei 2024   08:56 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini merupakan hari yang bersejarah untuk Rahmat. Ia harus membiasakan diri untuk mandi pagi dan berangkat sekolah layaknya anak-anak yang lain. Segala yang dibawa untuk menuju sekolah, telah ia siapkan kemarin malam.

Pagi ini, aku membuatkan nasi goreng dan dua gelas teh untuk sarapan pagi kami. Terlihat muka bersemangat yang ia pancarkan dengan menggunakan seragam merah putih, sepatu sekolah, dan tas yang serba baru. Aku senang melihat Rahmat telah kembali bersemangat.

"Hari ini, kamu harus jaga sikap dengan guru ya. Gak boleh nakal, dan raih prestasi sebisamu di sekolah." Pesanku layaknya orangtuanya.

"Insya Allah, ya Kak." Jawab ia polos.

Setelah selesai makan, ia dijemput oleh Saiful dan  teman-temannya untuk bersama menuju sekolah. Rahmat dengan cepat memegang tanganku dan menempelkan pada wajahnya. Ia meminta salam dariku, aku tersenyum. Rahmat mengucapkan salam untukku dan kubalas dengan salam juga.

Aku mengikuti Rahmat hingga depan rumah, ada Saiful yang menyapaku dengan ramah.

"Pagi, Mas Arkan." Salam ia penuh kehangatan.

"Iya pagi, hati-hati ya. Kalian belajar yang benar, biar bisa menjadi orang pintar mengalahkan Albert Einsten dan Issac Newton." Ucapku menyemangati mereka.

Aku mengira mereka akan tambah semangat, tetapi mereka malah kebingungan.

"Kak, Isak sama Albet itu siapa?" polos Saiful.

"Mungkin nama asli kepala desa dengan nama pak lurah, Pul." Jawab Rahmat lugu.

Aku tertawa geli mendengar mereka. Aku jelaskan pada mereka tentang nama yang kumaksud dan memiliki kepintaran serta kecerdasan otak, diakhiri dengan tantangan pada anak-anak agar seperti mereka.

"Wah hebat sekali, Issac sama si Albert." Ungkap Saiful.

"Ya sudah kalian sekarang berangkat sekolah, nanti malah telat lalu dimarahin guru." Sahutku.

"Wah kalau Saiful sering banget dimarahin guru, soalnya dia sering banget ngentut di kelas. Hahaha." Timpal temannya yang berbadan gemuk.

"Yah Ento buka aib, ya sudah deh Kak Arkan. Kita berangkat dulu." Sahut Saiful.

"Assalamualaikum." Serempak anak-anak.

"Waalaikumsalam." Jawabku.

***

Dalam waktu sembilan hari tinggal di desa, aku menemukan pengalaman terindah yang tak akan pernah kulupakan. Perlahan tapi pasti, satu per satu aku mulai akrab dengan para tetangga di sekitar rumah sewaan ini. Rasanya ingin selamanya tinggal di sini.

Tetapi aku adalah seorang lulusan kedokteran. Tujuanku untuk berhijrah di desa hanya untuk menenangkan diri sementara waktu.

Keinginan untuk membiayai Rahmat hingga kuliah akan tetap kujalani, tetapi untuk tinggal bersama selamanya di desa ini merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin, sebab pekerjaan dokter hanya ada di kota.

Andai saja, bila Rahmat menyetujui ajakanku untuk tinggal di kota. Aku pasti akan menjaga dan merawat Rahmat hingga dewasa.

Pagi ini, aku fokus untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Membersihkan rumah dan memasak yang kubisa untuk makan siang kami.

Dalam waktu tiga jam, semua pekerjaan rumah telah kuselesaikan. Aku melepas lelah dan merebahkan diri pada kasur. Rasanya tubuhku seperti dipijat saat berbaring, nyaman dan membuatku ingin tertidur. Lelah tetapi menyenangkan, aku memikirkan semua yang terjadi padaku di desa ini, selama sembilan hari. Mulai dari berkenalan dengan tetangga, bertemu dengan anak tetangga yang dijuluki Bunga Desa yang bernama Ratih, melihat Rahmat seorang bocah berkulit putih ketika bermain bola dan terjatuh, hingga kubawa ia ke rumahnya dan bertemu dengan Ibu Sri. Perkenalan begitu singkat dengan Ibu Sri yang tak disangka pada sore harinya telah meninggalkan dunia dan seorang Rahmat.

Semua kupirkan, ada suka maupun duka, ada tawa maupun tangisan. Inilah hidup dan inilah kehidupanku.

***

Tok tok tok. Tok tok tok.

Aku terbangun dan mendengar suara ketukan pintu rumah. Waktu menunjukan pukul sebelas siang. Tak mungkin Rahmat, sebab ia pulang pukul duabelas siang

Aku berpikir mungkin tamu yang datang berkunjung. Dengan lekas aku merapihkan diri dan membuka pintu rumah.

Saat kubuka pintu, terlihat bapak berdasi yang membawa tas hitam di tangannya, seperti penampilan seorang guru. Dia bersama Rahmat yang berada dibelakangnya. Aku bingung, apa yang telah dilakukan oleh Rahmat. Apakah ia melakukan suatu pelanggaran di sekolah?

"Selamat siang. Apakah benar ini kakak dari Rahmat?" tanya bapak itu kepadaku.

"Selamat siang juga. Ada apa ya, Pak? Apakah Rahmat telah melakukan suatu pelanggaran?" tanyaku.

"Bisakah saya berbicara hal penting kepada anda, mengenai Rahmat?" pinta bapak itu.

"Oh, bisa. Mari Pak, silahkan duduk."

Aku mempersilahkan bapak itu duduk di kursi yang berada di teras rumah. Sedangkan Rahmat duduk disampingku. Pikiranku dipenuhi rasa penasaran, hal penting apa yang akan dikatakan oleh Bapak itu tentang Rahmat? Aku memulai perbincangan ini.

"Ada hal penting apa ya, Pak?" tanyaku

"Begini, sebenarnya saya ingin memberitahukan pada Mas, bahwa Rahmat ini sungguh seorang anak yang berpotensi luar biasa." Jelasnya.

Aku tak terkejut mendengar ungkapan bapak berdasi ini. Dari awal aku sudah menyadari kemampuan dan sifat yang Rahmat miliki, dalam menangani emosionalnya.

"Iya, saya menyadari hal itu." Ungkapku.

"Bukankah ini pertama kalinya Rahmat bersekolah?" tanya bapak itu.

"Sebelumnya ia hanya meraih ilmu agama di pengajian desa ini."

"Baik saya akan jelaskan. Hari ini, di sekolah diadakan seminar berupa pembelajaran materi dasar, dilanjutkan dengan tes penyaringan yang diujikan semua mapel pelajaran. Sebenarnya acara itu dikhususkan kepada kelas empat dan kelas lima untuk menyeleksi siswa teladan se-SD dari desa ini, yang akan menuju siswa teladan tingkat kota." Jelasnya.

"Lalu?" tanyaku masih belum paham maksud Bapak ini.

"Tes ini digelar untuk mencari siswa teladan mendampingi desa ini dan diujikan kepada tiga sekolah dasar yang ada di desa ini, ujian tersebut diadakan terbuka di lapangan tertutup. Jadi siapa saja yang mau mencoba, boleh mengikuti ujian tersebut. Dan yang membuat saya terkejut, Rahmat mengikuti ujian tersebut." Ungkap ia bernada tinggi.

"Lalu, apakah itu suatu pelanggaran? Bukankah itu terbuka untuk semua yang ingin mengikutinya?" tanyaku membalas ungkapan Bapak tersebut.

"Sama sekali bukan pelanggaran. Setelah ujian selesai dan hasil diperiksa, bahwa ia tuntas dengan nilai yang terbaik se-SD di desa ini. Sekaligus ia merebutkan penghargaan murid teladan tingkat SD se-desa tahun ini, yang akan diwakilkan ke tingkat Kota." Ucap ia bersemangat.

Kali ini aku sangat terkejut mendengar ucapan Bapak berdasi itu, mulutku termangap saking tak percaya mendengar berita yang menganehkan ini.

Tunggu, bukankah tadi aku tidur? Apakah ini mimpi?

Aku menampari pipiku dengan keras. Auw. Sakit sekali, ini bukan mimpi. Ini kenyataan.

"Bapak sedang tidak bercanda,kan?" selidikku.

"Buat apa saya menghabiskan waktu ini, untuk sekedar lelucon?" tegasnya tetapi dengan sedikit irama canda dari Bapak itu.

Rahmat terlihat senyum padaku, senyum anak-anak yang bila dilihat layaknya anak-anak biasa. Sungguh unik kepribadian Rahmat.

"Mamet, sekarang kamu jujur ya. Tadi kamu mengerjakan itu nyontek, asal-asalan, atau kamu bersungguh-sungguh dengan kemampuan kamu?" tanyaku perlahan agar Rahmat tak tersinggung.

"Kak Arkan, Mamet mengerjakan soal itu setauku. Mamet tau jawaban ujian itu, karena belajar tadi malam dengan buku yang Kakak belikan, saat di toko buku kemarin." Jelas Rahmat.

"Semua buku sudah kamu baca dalam waktu semalam?" tanyaku dengan mimik heran.

Rahmat membalas pertanyaanku dengan senyuman polos dan anggukan kepala. Sungguh suatu hal yang nyata, walaupun sangat jarang aku temukan anak seperti Rahmat.

"Pak Rudi, makasih telah mengantarkan Rahmat pulang." Ucap Rahmat kepada Bapak berdasi yang bernama Pak Rudi.

"Sama-sama, Nak." Balas Pak Rudi tersenyum pada Rahmat.

"Lalu kapan Rahmat bisa mengikuti lomba tingkat Kota tersebut?" tanyaku pada Pak Rudi.

"Kemungkinan lomba itu diadakan tiga minggu lagi, jadi masih ada persiapan untuk Rahmat belajar sungguh-sungguh dan dapat tembus ke tingkat provinsi. Itu harapan kami." Jelas Pak Rudi.

"Semoga saja, Pak." Singkatku.

"Dan bila, Rahmat bisa menjuarai tingkat provinsi, ia akan diikut sertakan pada kejuaraan murid berprestasi tingkat SD se-Indonesia." Papar Pak Rudi bersemangat.

Ucapan Pak Rudi membuatku semakin bersemangat untuk memberi pendidikan yang terbaik pada Rahmat. Aku mengelus rambut Rahmat yang halus, dengan perasaan bangga padanya.

Dibandingkan saat aku berusia delapan tahun, aku adalah bocah ingusan yang masih manja pada kedua orangtua. Belajar dengan bimbingan orang tua. Tetapi apa yang dilakukan Rahmat, merupakan anugerah. Dia dapat belajar sendiri, tanpa didampingi oleh orang tua, apalagi kemarin ia belajar tanpa didampingi olehku.

Rahmat memang haus ilmu. Saat kesempatan untuk dapat bersekolah, ia gunakan sebaik mungkin untuk menimba ilmu. Berbeda sekali dengan anak-anak kota yang menyandang nama sebagai pelajar. Mereka malah memilih nongkrong untuk membolos dipinggir jalan. Sifat dan perilaku mereka layaknya preman yang tak menghargai hidup ini.  Padahal orang tua mereka telah membiayai sekolah, tetapi jasa itu dibalas dengan membolosnya dari sekolah.

"Oh ya, satu lagi Mas." ucap Pak Rudi.

"Ada apa Pak?"

"Saya selaku wakil kepala sekolah di SD tersebut, dapat mengajukan Rahmat untuk dapat langsung duduk di bangku kelas empat SD. Sebab syarat yang akan diikut sertakan adalah kelas empat atau kelas lima SD.Lagipula usia Rahmat pantas untuk duduk di bangku kelas empat SD." Jelas Pak Rudi.

Seorang Rahmat yang masih polos dan lugu dalam sekejap telah mengambil kepercayaan guru di SD-nya. Kemampuan anak kecil memang tak boleh diremehkan. Inilah kelebihan Rahmat yang termasuk luar biasa seusia dia.

"Tampaknya sudah panjang lebar saya jelaskan. Saya permisi pulang dulu. Selamat siang, Mas." Pamit Pak Rudi.

"Selamat siang, Pak." Balasku.

Terlihat Rahmat yang mengacungkan jempol tangan kanannya padaku sembari dengan hiasan senyum yang merekah pada wajahnya.

"Sipp, bocah." Balasku akrab sambil merangkul Rahmat, seorang bocah penuh kejutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun